Masa Depan Pesantren Salaf

Masa Depan Pesantren Salaf

Oleh: Robith Qoshidi Muhyiddin, Lc

Para kiai pada jaman dulu tidak mau mendirikan sekolah formal di pesantren. Ini adalah taktik untuk melawan politik devide et empera (pecah belah) yang dilakukan penjajah Belanda. Pada tahun 1800-an kaum penjajah merasa sangat terusik dengan sepak terjang pesantren. Sebab, pesantren dan kiainya sering menyuguhkan mimpi buruk bagi kelangsungan hidup penjajah. Kiprah perjuangan kaum sarungan ini diulas dengan jelas oleh sejarawan Indonesia ternama Sartono Kartodirdjo dalam disertasinya “The Peaseant’s Revolt of Banten in 1888”.

(Baca Juga: Aswaja Sebagai Kritik Sosial)

Semangat juang para kiai yang begitu membara, membuat masyarakat semakin berani untuk turut serta mengusir penjajah. Kaum penjajah pun berpikir keras untuk mengikis semangat perjuangan kemerdekaan yang disebarkan oleh para kiai dan santri. Caranya adalah memisahkan pesantren dari masyarakat. Tapi Belanda mengalami kesulitan karena pesantren adalah satu-satunya lembaga pendidikan untuk pribumi di masa itu.

Snouck Hurgronje, penasehat pemerintah jajahan, merekomendasikan pendirian “sekolah tipe Barat“ untuk menanamkan budaya Barat sekaligus memperkuat pengaruh Belanda. Harry J. Benda memaparkan, maksud terselubung dari pendirian sekolah umum untuk pribumi pada awal tahun 1900-an adalah untuk menghabisi pengaruh pesantren dan tokoh agama. Nah, sekolah-sekolah Belanda tersebut merupakan cikal bakal sekolah formal yang berdiri sekarang ini.

Sejak awal, pesantren “mengendus” niat jahat Belanda dalam pendirian sekolah untuk pribumi di bawah jargon kebijakan “politik etis”. Jargon manis itu tidak membuat para kiai tertipu. Mayoritas pesantren pada waktu itu dengan tegas menolak sekolah Belanda. Reaksi tersebut menjadi pilihan untuk menangkis upaya penjajah yang memecah belah antara pesantren dan masayarakat.

Tidak cukup sampai di situ, ada alasan paling prinsip dari sikap non kooperatif pesantren terhadap sekolah Belanda. Yaitu, upaya melindungi agama Islam dan budaya bangsa Indonesia. Sekolah Belanda tidak menjamin berlangsungnya pembelajaran agama Islam bagi anak didiknya. Bagaimana nasib akidah kaum muslimin Indonesia di masa datang? Lebih jauh lagi, apakah semua disiplin ilmu yang diajarkan sesuai dengan ajaran Islam?

Jadi, jikalau pelajar hanya belajar dari bangku sekolah Belanda tanpa mengikuti madrasah diniyah ataupun belajar nilai-nilai keislaman secara informal, maka konskuensinya bisa ditebak. Budaya Barat, materialisme, hedonisme, sekulerisme, kenakalan remaja akan menjadi akidah dan syariah para pelajar Indonesia. Kesimpulannya, penolakan para kiai adalah bagian dari perang politik, perang budaya, dan perang ideologi.

Namun seperti yang penulis ungkapkan di depan, sikap para kiai adalah taktik bukan prinsip. Maka, taktik dan strategi akan mengalami perubahan sesuai kondisi sosial politik. Penolakan para kiai terhadap sekolah ala Belanda mulai mengendur di saat Indonesia merdeka dan KH Wahid Hasyim menjabat menteri agama. Sebagai founding fathers bangsa Indonesia, beliau dengan sigap menyerap aspirasi umat Islam dan pesantren yang merupakan komponen utama bangsa ini. Beliau dengan cepat membidani peraturan mengenai penyelenggaraan pengajaran agama di sekolah umum, mendirikan pendidikan guru agama negeri, dan perguruan tinggi agama Islam negeri.

Walhasil jaman sekarang, kekhawatiran tentang tidak adanya pendidikan agama di sekolah formal sudah tidak relevan lagi. Apalagi hampir seluruh pesantren yang memiliki sekolah formal menambah pelajaran agama di luar jam sekolah. Bahkan pelopor-pelopor pendirian sekolah formal di lingkungan pesantren adalah pesantren besar yang menjadi rujukan. Seperti Pesantren Tebu Ireng, Nurul Jadid, Sukorejo, Banyuanyar Madura, Bata-Bata Madura, Buntet Cirebon.

Meskipun begitu, masih ada yang tidak menghendaki berdirinya sekolah formal di pesantrennya. Belakangan pesantren tipe ini lebih populer disebut pesantren salaf. Salaf artinya mempertahankan sistem pendidikan yang turun temurun dipakai di pesantren, tanpa memperdulikan ijazah resmi dari pemerintah. Menurut hemat penulis, hal itu bukan pilihan yang jelek, malahan memperkaya model pendidikan yang dikembangkan pesantren pada jaman kontemporer. Seperti pesantren Sidogiri Pasuruan dan Tempurejo Jember.

Pertanyaannya, apa alasan menolak sekolah formal pada jaman sekarang? Sudah bisa dipastikan alasannya tidak bersifat politis lagi. Karena penjajah sudah angkat kaki dari Indonesia. Ditambah lagi pesantren sudah memiliki wakil-wakil politik yang menduduki jabatan strategis dalam sistem perpolitikan Indonesia, baik dalam ranah ekskutif, legislatif dan yudikatif. Sedikit banyak mereka pasti memperjuangkan aspirasi pesantren dan umat Islam.
Kunci jawabannya adalah rasa percaya diri dan keinginan untuk mandiri. Rasa percaya diri timbul dari keberhasilan pendidikan pesantren selama berabad-abad. Khususnya dalam pendidikan karakter, pesantren memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi dalam mendidik etika murid-muridnya.

Bahkan dalam kehidupan sosial, pesantren mampu menjawab kebutuhan masyarakat akan lulusan yang berkarakter daripada sekedar lulusan pandai secara intelektual namun memiliki akhlak yang buruk, seperti korupsi dan sikap anti sosial. Beberapa peneliti pendidikan terang-terangan menyebutkan bahwa sekolah ala Barat bersifat egoistik dan individual. Prestasi individu lebih diutamakan dari pendidikan moral. Tapi kenyataannya, pendidikan moral bukan metode eksklusif milik pesantren salaf. Pesantren yang memiliki sekolah formal juga konsen terhadap pembentukan akhlaq santri.

Kelebihan yang paling menonjol dari pesantren salaf justru kemandirian dalam ekonomi. Pesantren salaf tidak tergantung pada ijazah yang digunakan untuk melamar pekerjaan. Kalau dipikir secara mendalam, bisa disimpulkan bahwa sekolah formal yang mengutamakan ijazah hanya akan mencetak lulusan yang berorientasi sebagai pegawai, bukan pemilik perusahaan. Padahal secara ekonomi orang paling kaya justru pengusaha bukan pegawai. Kabar baiknya, Robert Kiyosaki pakar ekonomi kontemporer menyebutkan bahwa banyak orang terkaya di dunia justru merupakan anak-anak yang putus sekolah, seperti Bill Gates pendiri perusahaan Microsoft dan Steve Jobs pendiri perusahaan Apple.

Pesantren Sidogiri membuktikan bahwa karena tidak memiliki ijazah formal justru membuka peluang besar untuk berwirausaha. Sidogiri dengan ke-salaf-annya mampu mendirikan banyak minimarket dan usaha perbankan BMT (Baitul Mal wa Tamwil). Sikap berdikari dalam ekonomi seperti yang dicontohkan Pesantren Sidogiri adalah ajaran yang masih relevan sampai sekarang.

Keinginan untuk mandiri adalah alasan pesantren menolak “didikte” secara total. Tapi juga tidak berarti stagnan dan tidak bergerak. Di bidang sistem dan kurikulum pendidikan, beberapa pesantren salaf memang menolak untuk menyelenggarakan sekolah formal, tapi jaman globalisasi mendorong pesantren salaf untuk mengajarkan bahasa Inggris agar para santrinya mampu meningkatkan daya saing internasional. Tidak berhenti di situ, tradisi menulis artikel dan buku juga dikembangkan, sehingga muncullah percetakan buku milik pesantren salaf seperti Pustaka Sidogiri dan Lirboyo Press.

Di samping itu semua, andalan utama pesantren salaf adalah pembelajaran kitab kuning tingkat tinggi. Ketika wali santri jaman sekarang hanya menginginkan pendidikan agama yang sederhana dan aplikatif, maka pesantren yang mendirikan sekolah formal hanya fokus mempelajari kitab kuning dasar dan menengah. Banyaknya materi pelajaran umum dan agama juga menjadi kendala bagi santri untuk menguasai kitab kuning tingkat tinggi. Almarhum KH As’ad Syamsul Arifin, pengasuh pesantren Sukorejo, menawarkan konsep “Ma’had Aly” sebagai lembaga pendidikan alternatif yang mengambil spesialisasi kitab kuning tingkat tinggi di pesantren penyelenggara sekolah formal.

Kendalanya adalah semakin sedikit pengajar yang menguasai kitab kuning tingkat tinggi, di saat semua pesantren berbondong-bondong menyelenggarakan pendidikan formal. Inilah peluang terbesar pesantren salaf yang masih fokus pada pendidikan agama berbasis kitab kuning. Jika ditambah dengan skill komunikasi intelektual yang digodok dalam metode musyawarah, dan penguasaan bahasa Arab atau bahasa Inggris, plus skill menulis, maka lulusan pesantren salaf di masa datang akan tetap diperhitungkan dalam kancah pendidikan keagamaan.

(BACA JUGA: Aswaja Sebagai Kritik Sosial)

Robith Qoshidi Muhyiddin, Lc, Pengasuh Pondok Pesantren Nuris, Wakil Ketua LP Ma’arif PCNU Jember

*Tulisan ini dimuat dalam Majalah Pendis edisi 5 2015 dan website Pendidikan Islam – www.pendidikanislam.id

Related Post