Umar bin Khattab

 

dfdfd

Nama, Nasab dan Kelahirannya

Nama lengkapnya adalah Umar bin al-Khattab bin Nufail bin Abdul ‘Uzza bin Riyah bin Abdullah bin Qurth bin Razah bin ‘Adi bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib al-Qurasyi al-‘Adawi. Ibunya bernama Hantamah binti Hisyam bin al-Mughirah bin Abdullah bin Umar bin Makhzum. Nama kunyah-nya adalah Abu Hasfh, dia dijuluki al-Faruq yang berarti orang yang bisa memisahkan antara yang haq dan bathil. Dia dilahirkan 13 tahun setelah tahun gajah.

Umar memiliki garis keturunan yang terhormat di kalangan Quraisy. Oleh karena itu, wajar jika kemudian kelak Umar menjadi orang yang berpengaruh di samping karena kepribadiannya sendiri yang dikenal cerdas dan tegas.

Kisah Keislamannya

Umar terkenal sebagai orang yang berwatak keras dan bertubuh tegap. Sering kali pada awalnya, sebelum masuk Islam, kaum muslimin mendapatkan perlakukan kasar darinya. Namun demikian, sebenarnya di dalam hati Umar sering berkecamuk perasaan-perasaan yang berlawanan, antara pengagungannya terhadap ajaran nenek moyang dengan kekagumannya terhadap ketabahan kaum muslimin serta bisikan hatinya bahwa boleh jadi apa yang dibawa oleh Islam itu lebih mulia dan lebih baik.

Umar merasa bahwa Mekkah sudah menjadi sebuah kota dengan dua agama dan dua komunitas. Dia melihat dengan jelas bahwa yang menjadi penyebab keonaran ini hanya satu, yakni Muhammad, karena itu dia harus dilenyapkan. Akhirnya, Umar keluar dari rumahnya dengan membawa pedang. Begitu berangkat, ia bertemu dengan Nu’aim bin Abdullah, salah seorang dari kaumnya. Nu’aim telah masuk Islam namun ia merahasiakannya karena takut kepada Umar. Melihat ekspresi wajah Umar yang tampak murka, Nu’aim bertanya kepadanya ke mana ia hendak pergi. “Aku akan menemui Muhammad, membalas dendam terhadap orang yang telah memecah Quraisy menjadi dua golongan, dan aku akan membunuhnya,” kata Umar. Mendengar itu Nu’aim berusaha menghentikannya dan mengambil memilih suatu cara, meskipun cara itu mengkhianati rahasia para pengikut muslim yang menyembunyikan keislaman mereka seperti dirinya. “Hai Umar, mengapa engkau tidak pergi lebih dulu pada keluargamu dan membereskan mereka?” kata Nu’aim. “Ada apa dengan keluargaku?” Tanya Umar. “Saudara iparmu, Sa’id, dan Adikmu Fatimah telah menjadi pengikut Muhammad.”

Tanpa sepatah katapun, Umar kembali dan langsung menuju rumah saudara perempuannya itu. Di sana, ada seorang teman yang miskin, Khabbab, yang sering datang untuk membacakan al-Qur’an kepada Sa’id dan Fatimah. Mereka sedang membacakan surat Thaha yang baru saja diturunkan.  Ketika mereka mendengar suara Umar mendekat dan dengan marah memanggil nama Fatimah, Khabbab bersembunyi di pojok rumah dan Fatimah menyembunyikan lembaran itu di balik bajunya. Namun, Umar telah mendengar suara bacaan mereka. Umar lalu bertanya apa yang mereka baca. Mereka berusaha meyakinkannya bahwa ia tidak mendengar apa-apa. Umar menyangkal dan berkata bahwa mereka berdua telah menjadi pengikut Muhammad. Umar lalu menyerang Sa’id, ketika Fatimah melindunginya, Umar menampar adiknya itu hingga berdarah. Akhirnya, mereka mengakui dan menyuruh Umar untuk melakukan apa yang dia inginkan. Melihat keadaan adiknya dalam keadaan berdarah, timbul penyesalan dan rasa malu di hati Umar. Lalu dia meminta lembaran al-Qur’an tersebut. Namun Fatimah menolaknya seraya mengatakan bahwa Umar najis, dan al-Quran tidak boleh disentuh kecuali oleh orang-orang yang telah bersuci. Fatimah memerintahkan Umar untuk mandi jika ingin menyentuh mushaf tersebut dan Umar pun menurutinya.

Umar segera pergi dan membasuh dirinya, kemudian Fatimah menyerahkan lembaran-lembaran itu kepadanya. Lalu Umar mulai membacanya yang dimulai dengan kata Thaha. Setelah selesai membacanya, Umar berkata, “Betapa indah dan agungnya kata-kata ini!” Kemudian dia terus membaca sampai pada ayat, “Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang haq) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.” (QS. Thaha: 14). Umar lalu berkata, “Betapa indah dan mulianya ucapan ini. Tunjukkan padaku di mana Muhammad”.

Mendengar ucapan tersebut, Khabbab keluar dari tempat persembunyiannya, seraya berkata, “Bergembiralah wahai Umar, aku berharap Allah telah memilihmu sesuai doa Nabi yang ku dengar kemarin, “Ya Allah, jayakanlah Islam dengan salah satu dari dua orang, Umar bin Khattab atau Abu Jahal bin Hisyam”. Umar lalu berkata, “Hai Khabbab, di mana sekarang Muhammad berada? Aku ingin bertemu dengan dia dan aku akan masuk Islam.” Rasulullah SAW sekarang berada di sebuah rumah di kaki bukit Shafa”, jawab Khabbab.

Umar lalu menghunus pedangnya dan pergi menuju Shafa. Ia lalu mengetuk pintu dan mengatakan siapa dirinya. Sebelumnya, mereka telah diberi peringatan oleh Nu’aim sehingga kedatangannya tidaklah diharapkan. Namun mereka terkejut mendengar nada suaranya yang lembut. Salah seorang sahabat menuju pintu dan mengintip melalui sebuah celah dan kembali lagi dengan ketakutan. Ia melaporkan kepada Nabi bahwa Umar datang dengan menghunus pedangnya. Hamzah berkata, “Biarkan dia masuk, jika dia datang dengan masuk baik, kita akan membalasnya baik-baik. Jika ia bermaksud buruk kita akan membunuhnya dengan pedangnya sendiri!” Nabi setuju untuk menemuinya.

Rasulullah SAW menyambut Umar dengan memegang baju dan gagang pedangnya, lalu ditariknya dengan keras, seraya berkata, “Engkau wahai Umar, akankah engkau terus begini hingga kehinaan dan adzab Allah diturunakan kepadamu?” Umar menajwab, “Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang disembah selain Allah, dan Engkau adalah Rasulullah.” “Allahu Akbar,” seru Nabi. Mendengar ucapan tersebut. Para sahabat semuanya bergembira.

Umar di Masa Islam

Umar tidak menyembunyikan keislamannya. Ia bermaksud untuk mengumumkan kepada setiap orang terutama kepada mereka yang paling memusuhi Nabi. Ia lalu pergi menemui Abu Jahal dan mengetuk pintunya. Abu Jahal keluar dan berkata, “Selamat datang putra saudaraku, apa maksud kedatanganmu kemari?” Umar menjawab, “Aku datang untuk memberitahukan bahwa aku telah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.” “Tuhan melaknatmu.” Kata Abu Jahal. Abu Jahal kemudian membanting pintu di hadapan Umar.

Umar memeluk Islam dengan semangat yang sama seperti ketika dulu dia sangat memusuhi Islam. Umar setelah itu biasa shalat di depan Ka’bah dan mengajak muslim yang lain untuk shalat bersamanya. Ia dan Hamzah kadang datang bersama sekelompok kaum mukmin ke rumah suci itu, dan pada kesempatan itu para pemuka Quraisy akan pergi menyingkir. Bila mereka tetap berdiri dan membiarkan hal itu terjadi, martabat mereka akan hancur. Namun, jika mereka mencegahnya, mereka tahu bahwa Umar tidak akan tinggal diam. Ibn Mas’ud menceritakan bahwa kaum muslim tidak bisa melaksanakan shalat di Ka’bah sampai Umar masuk Islam. Ketika dia telah menyatakan keislamannya, orang Quraisy membiarkan kaum muslim shalat di Ka’bah, karena jika tidak, Umar pasti akan membunuh mereka.

Ketika Nabi saw memerintahkan shahabat untuk berhijrah ke Madinah, mereka melakukannya secara sembunyi-sembunyi, sedangkan Umar secara terang-terangan mengumumkan bahwa dia akan turut berhijrah ke Madinah. Konon, sebelum Umar berangkat, dia melakukan thawaf di Ka’bah, lalu shalat di maqam Ibrahim. Setelah itu dia berbicara dengan lantang di depan orang banyak, “Barangsiapa yang ingin diratapi ibunya, istrinya menjadi janda dan anaknya menjadi yatim, silahkan temui saya dibalik lembah itu”. Setelah hijrah, Umar senantiasa menemani Nabi saw dan turut dalam peperangan bersama beliau.

Pengangkatan Umar sebagai Khalifah

Ketika Khalifah Abu Bakar jatuh sakit dan merasa ajalnya akan segera datang, ia berkonsultasi dengan para sahabat mengenai khalifah sesudahnya. Ia berkata kepada mereka, “Aku sekarang telah menderita sakit seperti yang kalian lihat. Sepertinya ajalku akan segera datang. Oleh karena itu, angkatlah seseorang yang kalian cintai sebagai pemimpin kalian yang akan menggantikanku. Barangkali apabila kalian menentukan pemimpin pada saat aku masih hidup sekarang, kalian tidak akan berselisih pendapat nantinya setelah kematianku.”

Kemudian para sahabat bermusyawarah sesama mereka. Hasilnya, mereka menghadap Abu Bakar dan memintanya agar menetapkan seseorang yang ia kehendaki sebagai pemimpin mereka. Abu Bakar bertanya kepada mereka: “Jangan-jangan kalian akan berselisih setelah aku tentukan?” Mereka menjawab: “Tidak.” Ia berkata: “Kalau begitu, berjanjilah kalian kepada Allah untuk menerima keputusanku?” Mereka menjawab: “Ya.” Dia berkata: “Kalau begitu, berilah aku tenggat waktu untuk berpikir karena Allah, untuk kepentingan agama dan kaum Muslimin.” Kemudian Abu Bakar memanggil Utsman bin Affan dan meminta pendapatnya tentang siapa yang akan dijadikan penggantinya. Utsman mengusulkan nama Umar bin al-Khaththab Lalu Abu Bakar  memerintahkannya untuk menulis surat wasiat tentang Umar sebagai penggantinya. Setelah Abu Bakar meninggal, para sahabat menerima dan sepakat untuk membaiat Umar sebagai khalifah (Al-Hafizh Ibn al-Jauzi, Manaqib ‘Umar bin al-Khaththab, hal. 52).

Prestasi Umar dalam Kepemimpinannya

Umar dikenal dengan gaya hidupnya yang sederhana, alih-alih mengadopsi gaya hidup dan penampilan para penguasa di zaman itu, ia tetap hidup dengan sangat sederhana. Keberhasilan yang dicapai di masa pemerintahan Umar bin Khattab, banyak ditentukan oleh berbagai kebijakan dalam mengatur dan menerapkan sistem pemerintahannya. Kualitas pribadi dan seperangkat pendukung lainnya, tentu juga memiliki andil yang besar dalam pemerintahan Umar bin Khattab.

Pada masa Umar gelombang ekspansi (perluasan wilayah kekuasaan) banyak terjadi antaranya, ibu kota Syria, Damasykus jatuh pada tahun 635 M dan setahun kemudian setelah tentara Byzantium kalah dalam perang Yarmuk, seluruh daerah Syiria jatuh di bawah kekuasaan Islam dengan memakai Syiria sebagai basis, ekspansi diteruskan ke Mesir di bawah pimpinan ’Amr bin ‘Ash dan ke Irak di bawah pimpinan Sa’ad bin Abi Waqqash. Iskandaria, ibu kota Mesir, ditaklukkan pada tahun 641 M. Dengan demikian, Mesir jatuh di bawah kekuasaan Islam. Al-Qadisiyah, sebuah kota dekat Hirah di Iraq, jatuh pada 637 M. Dari sana serangan dilanjutkan ke ibu kota Persia, al-Mada’in yang jatuh pada tahun itu juga. Pada tahun 641 M, Mosul dapat dikuasai. Dengan demikian, pada masa kepemimpinan Umar, wilayah kekuasaan Islam telah meliputi jazirah Arab, Palestina, Syiria, sebagian besar kota Persia dan Mesir.

Islam benar-benar menjadi negara adikuasa ketika itu, Persia dan Byzantium juga ditaklukkan Umar. Kemampuan Umar melakukan ekspansi besar-besaran tersebut tentu tidak bisa lepas dari sistem militer yang tangguh sebagai basis pertahanan dan keamanan negara. Bersamaan dengan ekspansi tersebut, pusat kekuasaan Madinah mengalami perkembangan yang amat pesat. Umar berhasil membuat dasar-dasar bagi suatu pemerintahan yang handal untuk melayani tuntunan masyarakat baru yang berkembang. Umar memebentuk administrasi Negara, mendirikan dewan-dewan, membentuk lembaga keuangan, mengatur pendistribusian gaji & pemberian tunjangan, menciptakan tahun hijriah dan sebagainya. Di samping itu karena wilayah kekuasaan semakin luas, maka wilayah Islam dibagi menjadi unit-unit administratif yang diatur menjadi beberapa wilayah propinsi yaitu, Mekah, Madinah, Jasirah, Basrah, kufah, Palestina, dan Mesir.

Wafatnya

Umar menjadi khalifah selama 10 tahun. Pada usianya yang ke 63 tahun, beliau wafat setelah ditikam oleh seorang budak dari Persia bernama Abu Lu’lu’ah pada saat akan memimpin salat Shubuh. Pembunuhan ini konon dilatarbelakangi dendam pribadi Abu Lu’lu’ah terhadap Umar. Abu Lu’lu’ah merasa sakit hati atas kekalahan Persia, yang saat itu merupakan negara digdaya. Tiga hari setelah beliau ditikam oleh Abu Lu’lu’ah, beliau wafat pada hari Rabu, 25 Dzulhijjah 23 H/644 M. Beliau dimakamkan di samping kedua orang yang sangat dicintainya, Rasulullah saw dan shabatanya, Abu Bakar ra, setelah memperoleh izin dari ‘Aisyah rda.*(Abdullah Dardum)

Related Post