Cinta Itu Ibadah, Sayang!

Oleh: Armita Uswatun Hasanah

 

Hari itu adalah hari terindah dalam hidupku. Hari dimana ribuan bunga mengguyur tubuhku dengan aroma yang beraneka rasa. Tepatnya pada tanggal 28 September 2012 adalah acara pernikahanku dengan mas Tio, lelaki pilihanku diantara pelamar-pelamar lainnya.

“ Kini aku milikmu sepenuhnya, mas.” Seruku dalam sebuah bisikan lembut diatas pelaminan. Ia tersenyum, menatapku dengan cinta, lalu menggenggam tanganku dengan penuh kasih dan sayang yang tak terjangkau adanya. Akupun tersenyum, merasa bahwa akulah wanita termanis malam itu. Wanita paling beruntung dari sekian banyak wanita yang berada dalam acara pernikahanku.

“ Sayang. . . “ Ia merespon bisikanku.

“ Iya mas.” Jawabku.

“ Kau tau sayang, apa hakikat dari sebuah pernikahan?” tanya mas Tio sambil menatap mataku dalam-dalam.

“ Untuk bercinta, menebar kasih sayang, dan saling memperhatikan.” Jawabku dengan kebahagiaan yang menggebu.

“ Lalu?” tanyanya lagi.

“ Memiliki keturunan, mendidik, dan membimbing mereka agar menjadi orang yang baik.” Imbuhku.

“ Selain itu?” Ia kembali bertanya dengan sedikit mengangkat alis dan menyimpulkan bibirnya. Aku jelajahi fikiranku, namun tak kutemui hakikat pernikahan yang sesungguhnya. Akupun menggelengkan kepala dengan menyimpan beribu Tanya dalam benakku.

“ Sayang. . . Pernikahan itu adalah sarana kita beribadah kepada Allah. Dia menciptakan mu untukku sebagai teman hidupku dalam menghadapi sepak terjangnya kehidupan. Agar aku kuat dan mampu menjalaninya. Kitapun tercipta sebagai sepasang kekasih yang saling mengingatkan, menegur dikala khilaf, menasihati dikala salah, menghibur dikala susah, dan saling mendukung dalam kebaikan. Aku menikahimu bukan karena kau cantik, pintar, ataupun kaya. Tapi, karena aku yakin kaulah wanita yang mampu menjadikanku kuat dan bersemangat dalam beribadah kepada –Nya.” Jelasnya dengan penuh kelembutan yang membuat hatiku luluh tak karuan.

Tak terasa, mendengar tuturannya yang penuh keikhlasan. Air mataku menetes membasahi pipiku yang telah terbalut oleh kosmetik yang memalsukan keindahannya. Akupun tak sadar, kalau saat itu banyak mata memandang haru disekelilingku.

 

#          #          #

 

“ Assalamu’alaikum. Sayang. . .”

Perlahan kubuka mataku. Akupun tersenyum menatap wajah mas Tio yang berada sejengkal dari wajahku yang tak terbasahi air sedikit pun.

“ Wa’alaikum salam. cinta. . .” jawabku lirih.

“ Sudah waktunya sayang. Bangunlah, pintu rahmat–Nya telah dibuka lebar-lebar. Semua malaikat telah mengibaskan sayapnya. Kini giliran kita untuk menghadapnya.” Ajaknya dengan penuh cinta. Hatiku pun menerimanya dengan nikmat keagungan rasa, ia seolah merengkuhku dalam kehangatan. Ku kedipkan mataku, iapun tersenyum. Diusapnya keningku dengan tangannya yang dingin dan menciumnya dengan hikmat. Ia tampak segar dan wangi. Rupanya ia sudah mandi sepagi ini.

“ Jam berapa mas?” tanyaku.

“ Sudah jam 3 sayang.” Jawabnya pelan.

Akupun bergegas untuk bangun. Ku guyur tubuhku dengan air suci yang tertampung penuh di bak mandi. Ku gosok dengan sabun beraroma buah yang menggairahkan semangatku. Setelah mandi, kukenakan jubah putih pemberian mas Tio sebagai hadiah pernikahan kami. Ku semprotkan juga parfum pemberiannya, ku sisir rambutku, lalu ku kenakan mukenah yang menjadi mahar ijabnya saat itu. Lalu kemudian aku langsung memasuki musholla yang berada di samping kamarku. Ia menoleh ke belakang. . .

“ Sudah siap sayang . . .” tanyanya lembut

Aku tersenyum, ternyata ia menungguku sedari tadi.

“ Sudah mas.” Jawabku dengan senyuman yang sumringah

Malam itu kami pun bersama-sama menjalin cinta dengan sang Robbi, tuhan seru sekalian alam. Tubuhku gemetar, jantungku berdetak kencang, dan hatiku merasakan kenikmatan yang tiada duanya. Seperti ada kekuatan mistik yang membalut tubuhku.

Inikah nikmatnya beribadah? Bersitku dalam hati.

Kulihat mas Tio terbuai dalam sujudnya. Merajut butiran-butiran cinta yang tak terukur oleh masa. Rinaipun semakin deras mengguyur malamku. Rasa ini. . . ada kalanya begitu kuat menghardikku, mengajakku, jatuh terbenam dalam amuknya jibaku.

Oh, Tuhan. . . bagaimana hamba melemparkan diri?

Rasa ini terberdaya dalam ribuan pesona. Ingin kuturuti agar malamku menemukan berjuta warna.

“ Ya Allah. . . aku bersyukur kepada-Mu atas kenikmatan cinta yang kau anugrahkan kepadaku saat ini. Kenikmatan iman yang kau ajarkan melalui imamku saat ini. Dan kenikmatan rindu terhadap-Mu yang kau sandangkan dalam jiwaku. Dia memang tak sesempurna nabi Muhammad, dia tak setampan nabi Yusuf, diapun tak sekaya nabi Sulaiman, bahkan dia tak secerdas Sayyidina Ali. Tapi bagiku, dialah yang istimewa. Begitu juga denganku, aku tak sesempurna sayyidah Khodijah, aku tak secantik sayyidah Fatimah, akupun tak sekaya Ratu Balqids, bahkan akupun tak seberani Rabi’atul Adawiyah. Tapi, aku kan berusaha menjadi yang terbaik untuk-Mu ya Allah. Dan untuk suamiku tercinta”

Rinaipun kembali mengguyur kalbuku. Membasahi permadani yang terhampar bebas dalam diriku. Aku terperdaya dengan rasa ini, terpenjara dalam gelora cinta yang tak terkendali. Namun ia telah merengkuhku dengan iman dan memelukku dengan kesetiaan.

Andaikata, dulu aku tak menunggunya. Bagaimanakah kehidupanku saat ini? Bersitku dalam hati.

#          #          #

Sudah 3 tahun aku mencoba untuk bersabar.menanti sebuah janji yang ku jalin dengan seorang pemuda yang sudah membuatku luluh dengan ucapan bijaknya. Namun pergulatan hati ini sungguh tak karuan. Dalam penantianku banyak sekali kaum adam yang menemui orang tuaku, bahkan ada pula yang mengutarakan langsung dihadapanku. Dengan niatan ingin menyandingku sebagai istrinya. Namun hatiku tak tergerak sedikitpun, hanya rasa takut yang memenuhi rongga dadaku. Rasa takut mengecewakan orang lain.

“ Naira, kau masih menunggunya?” Tanya Anya, teman sekelasku di kampus.

“ Entahlah, aku hanya mencoba untuk setia. Hehe…” jawabku santai

“ Huhhh… Naira kamu ini polos banget sih. Mana ada cowok setia zaman sekarang?. Yang ada mereka mata keranjang semua!” jelas anya greget.

“ Emang lu bisa ngejamin? Gak semua kale’. Hahaha…”

“ Sulit dech bicara ma lu Nai. Apa salahnya sih lu nerima lamarannya mas Reza, dia kan Dosen, pinter, kaya lagi. Atau Ra Faiz, diakan punya pondokan tuh, dulunya kamu bercita-cita jadi Bu Nyai kan? Nah, inilah kesempatannya Nai. Orangnya juga cakep, alim, lemah lembut lagi.” Bujuk Anya dengan semangatnya.

“  Sudahlah prend… emangnya lu ndiri udah menikah belum?” tanyaku balik.

“ Belum sih…” jawabnya tersipu malu. Aku tertawa melihat ekspresinya yang seperti kura-kura mencari tempurungnya untuk sembunyi. Hehe…

“ Hemmm… kalo begitu, kau saja yang memilih mereka. Dan aku memilih jalanku sendiri.” Anya menarik napas panjang mendengar respon ku.  pertanda ia mulai pasrah dengan semua keputusanku. Hehe… aku menyembunyikan tawaku.

Bicara memang gampang, pikirku. Tapi pergulatan hati sungguh tak bisa ditahan. Sesaat aku pernah berpikir untuk mengakhiri penantian ini. Aku serasa tak kuat lagi menahan rindu. Rasa ini telah menggrogoti hatiku. Sudah 1 tahun terakhir ini aku tak memberikan kabar apapun terhadapnya, dan sebaliknya, ia pun tak pernah mengirimkan pesan lagi di hp ataupun FB ku. Aku memang tak mengharap banyak, tapi aku hanya ingin menepati janjiku yang telah kubuat dengannya. Tapi terkadang aku ragu apakah dia juga setia menungguku? Saat perjumpaan itu tiba, apakah dia masih mengingatku? Atau masihkah rasa cinta itu bergelayut dalam hatinya?

Kegalauan hatiku itu selalu muncul saat mengingat nya. Tapi, tahukah engkau duhai kekasih hati…???

Dengan tak menghubungi dan mengirim pesan untuk menanyakan kabarmu. Mungkin ini tak biasa, tapi bagiku inilah cara terbaikku mencintaimu.

Aku mencintaimu dengan cara menjauh darimu, bukan karena aku membencimu, justru karena aku sangat mencintaimu.

Dan aku ingin menjagaku dan menjaga mu. Menjaga tulusnya hatimu, juga menjaga kesucian hatiku. Inilah caraku mencintaimu. Dalam diamku, dalam ketulusanku, dalam kesucianku, dalam cara tak biasaku.

Meski sulit, meski berat, meski sakit untukku, namun ku tahu ini pilihan terbaik agar kita tak terlalu saling mengharap. Karena berharap hanya pantas pada sang pemberi napas. Karena berharap hanya patut di gantungkan pada sang pengatur detak jantung. Pada –Nya kuberharap, Dia kan menjagamu untukku. Pada –Nya kutitipkan, hatimu yang selalu ku rindu.

Biarlah ku hanya bisa menyapamu lewat senandung doa. Agar untukmu lah segala kebaikan, agar bersamamu lah segala keindahan.

Lalu, tahukah hatimu…?

Sang pengatur detak jantung mengatur detaknya tak beraturan. Akupun sakit… akupun tersiksa… berlumur darah… bersimpuh air mata…

Dia telah membebankan cintamu dalam tiap detaknya jantung itu, membawa doamu dalam tiap kelemahannya, membawa namamu dan caramu mencintaiku, dan dalam sisa napas hidupnya yang entah hanya bisa sampai kapan…

Dia telah menjaga titipanmu untuk selalu mencintai dan merindukanmu. Dia telah memberikan kebaikan dan segala keindahan dengan mencintaimu. Semoga dia menjaga kesucianmu, kesucianku, dan kesucian cinta kita.

Cinta ini, cinta yang tak kaprah kan?

Hahaha… aku suka !!!

Aku kan selalu mencintai dan merindukanmu…

(Layla yang merindukan majnunnya dan majnun yang merindukan layla)  

 

Hati ini memang tak sekuat baja untuk menahan luapan rindu yang berkobar dalam hatiku. Juga tak sehebat batu karang yang mampu bertahan dalam terpaan badai dan angin topan.

Tapi, Aku ingin menjadi air yang mengalir. Yang selalu ta’dzim mengikuti jalannya. Namun, jika dunia mengharuskanku untuk bertahan, akupun akan melawan arusnya.

Biarlah dia mencintaiku dengan caranya, dan biarlah aku mencintainya dengan doa.

Robbi lā tadzarni fardan wa anta khoirol wā ristin…

Robbanā hablanā min azwajinā wadzurriiyatinā qurrata a’yuni waja’alna lil muttaqiina imāma…  

Robbanā ātinā fiddunya hasanah wafil ākhiroti hasanah waqinā ‘adzābannar. Amin ya Robbal ‘alamin.

“ Ya Allah ku titipkan cintaku dalam Ridho-Mu”

 

 

Biodata Penulis

 

Nama                          : Armita Uswatun Hasanah

Tempat / tanggal lahir : Jember, 06 Nopember 1993

Alamat                         : Jl. A. Yani No. 06 Serut – Panti – Jember

Status                          :  –     Santri di PONPES NURIS JEMBER

  • Mahasiswa di Universitas STAIN JEMBER

Alamat Ponpes           : Jl. Pangandaran no 48 Antirogo Jember

Nomor telp.                 : 087 857 656061 / 085 331 353 583

 

 

armita

Related Post