BIDADARI SENJA

BIDADARI SENJA

Oleh: Armita Uswatun Hasanah*  

Mataku terperangkap kagum pada wajah elok nan ayu. Senyum manisnya yang menawan membuatku tersihir untuk selalu memperhatikannya. Suara lembut nan santun membuat senyumku selalu sumringah saat ia mengajakku dalam senja yang sudah hampir sirna. Keanggunannya nyaris membuatku terpana. Ku akui, aku sangat mengaguminya. Kini ia sangat berbeda dari 3 tahun lalu. Mira, cewek tomboy berparas ayu, kini menjadi muslimah anggun seutuhnya. Setelah 3 tahun di pesantren perubahannya jauh berbeda dari yang dulu.

(Baca juga: Perjuangan Seorang Santri)

“Dek Sinta, ayo berangkat.”Ajak Mira, kakak kelasku dulu waktu SD.

“Iya kak. Masih mau wudhu’ dulu.” Jawabku tergesa. Setiap sore di bulan puasa, kak mira selalu mengajakku untuk ke masjid. Ia mengajariku mengaji sambil menunggu adzan magrib berkumandang. Kak mira sejak lulus dari Sekolah Dasar ia langsung dipondokkan di pesantren Tebuireng Jombang. Karena itulah ia tidak pernah kutemui selain di bulan puasa ramadhan. Namun ramadhan tahun ini sangat berbeda, ia tampil semakin menawan. Sikapnya yang santun membuat masyarakat sekitar memujinya tiada henti. Penampilannya yang anggun memikat semua mata yang melihat, ya termasuk aku. Aku sangat mengaguminya.

“Kak Mira.” Panggilku saat perjalanan ke masjid. “Ya” Sahutnya. “Dulu kak Mira kan tomboy. Sekarang kok bisa cantik banget sih kak?” Tanyaku heran. Ia hanya tersenyum dan memandangiku dengan tatapan manja. Aku tersipu malu dibuatnya. “Memang kenapa Sinta?” Tanyanya sambil merangkul dan meremas lenganku. “Jujur, aku kagum sama kakak.” Jawabku malu. “Setiap orang pasti punya masa lalu, dan setiap orang juga punya masa depan.” Jelasnya singkat. Aku hanya mengangguk mendengar penjelasannya. Senyum yang kembali ia lempar padaku, membuatku canggung untuk bertanya lagi.

# # #

“Ayah, Ayah tau kak Mira yang mondok di Tebuireng Jombang itu kan?” Tanyaku pada ayah saat mengajariku matematika malam harinya. “Iya, kenapa?” “Dulu waktu kak Mira SD, kalau di sekolah tomboy banget Yah. Yang ku tau dia sering berkelahi sama anak cowok. Jadi gak ada yang berani ke dia. Diganggu sedikit, sudah langsung main tangan. Jadinya kak Mira terkenal dengan cewek tomboy. Tapi sekarang beda Yah, kak Mira cantik banget.” Jelasku penuh kagum. “Lah, memang dari dulu kok kak Mira cantik.” Rayu ayah menggodaku. “Ih, Ayah ini. Maksud Sinta kak Mira beda banget sama yang dulu Yah. Sekarang cantik banget, sudah cantik, baik, santun, rajin lagi. Emb,,, Sinta iri yah.” Rengekku di hadapan pria yang penuh wibawa itu. “Sinta ingin mondok kah?” Tanya Ayah sambil mengelus kepalaku. Aku terdiam mendengar pertanyaannya. Aku menoleh kearahnya, di wajahnya tersirat penuh harap. “Ayah ingin sinta mondok?” Tanyaku seolah menantang pertanyaannya. “Loh, kok malah tanya balik. Bukannya tadi Sinta bilang iri ke kak Mira? Berarti kan Sinta juga ingin mondok kayak kak Mira dong. Bukankah kak Mira seperti itu setelah dari pondok kan?” Jelas ayah meyakinkanku. “Benar juga Yah. Tapi Yah, Sinta takut yang mau mondok. Nanti kalau sinta ngerjakan PR matematika, yang ngajari siapa? Biasanya kan Ayah. Ayah kan pinter kayak professor.” Rayuku. “Gak usah ngerayu Ayah, di sana justru lebih banyak orang pinter. Gimana, sinta mau mondok?” Tanya ayah kembali. Aku kembali berpikir keras. Sebenarnya aku memang ingin mondok, tapi gimana ya?. “Ya sudah dipikir dulu. Ayah gak maksa kok.” Ayah tersenyum dan mengelus kembali kepalaku.

# # #

Embun pagi perlahan mulai menghilang dari lembar dedaunan dan ranting pepohonan di depan rumahku. Suara ayam jago milik ayah berkali-kali berkokok menyambut datangnya sang surya. Langit sudah mulai terang, kudapati dua ekor burung bertengger dipagar rumah, disusul dua, tiga, sampai delapan ekor burung yang lainnya. Mereka seolah-olah sedang bercengkerama riang menyambut datangnya pagi ini. Lain halnya dengan diriku. tak seperti biasanya. Perkataan ayah tadi malam terngiang dalam tidurku. Sampai saat inipun aku masih memikirkannya. Bukankah dua minggu lagi aku bukan anak SD lagi? Teman-temanku sudah banyak yang daftar di SMP negeri. Namun, aku belum menyiapkan apa-apa. Tawaran ayah untuk mondok menarik perhatianku. Sesekali muncul wajah ayu nan santun kak Mira. Tapi, aku berpikir sekali lagi. Siapkah aku berpisah dengan ayah dan mamaku? Aku belum bisa mengambil keputusan. “Sinta.” Panggil mama dari dalam rumah. “Ya ma.” Sahutku, sambil berlari menghadapnya. “Sedang apa di depan?” “Tidak ada ma, cari udara segar. Ada apa ma, apa ada yang bisa Sinta bantu?” “Oh, iya. Ini bawakan ke meja makan. Sepertinya ayah juga sudah selesai memberi makan ayam-ayam di kandang. Panggil ayah setelah menyelesaikan ini semua.” Perintah mamaku penuh kasih sayang. “Baik ma.” Sahutku. Akupun menyiapkan semua hidangan yang sudah mama buat. Ayah pun sudah siap untuk menyantapnya. Aku duduk bersebelahan dengan ayah. Ingin aku bertanya tentang tawaran ayah tadi malam. “Mana mama Sinta?” Tanya ayah. “Masih di dapur Yah, sebentar lagi kesini kok.” Aku masih berusaha untuk memberanikan diri untuk bertanya. “Yah.” Panggilku singkat. “Iya ada apa?” Ayahku memandangiku lekat. “Emb… gak jadi.” Ku lihat ayah mengernyitkan dahinya. “Ada apa sayang?” Ia mulai mendekat dan merangkul tubuhku. Tampaknya ayah dapat membaca ekspresi wajahku yang sedang bingung. “Yah, Sinta mau mondok.” Jelasku singkat. “Benarkah?” Ekspresi wajah ayah berubah bahagia. “Ada apa ini? Kok gak makan?” Tanya mama yang baru saja datang dari dapur. “Ini loh ma, Sinta mau mondok katanya.” Jelas ayah. “Benarkah?” Tanya ibu seolah tak percaya. Aku mengangguk ragu. Mama tersenyum melihatnya. “Ya udah, nanti ikut mama ke rumah kak Mira ya.” “Loh, untuk apa ma?” Tanyaku heran. “Yah, tanya-tanya yang dibutuhkan di pesantren apa saja. Kan sudah kurang dua minggu lagi. Mama dengar dari tetangga, kak Mira satu minggu lagi sudah mau kembali. Gimana?” Aku mengangguk saja. Tapi aku masih berpikir. Benarkah keputusan yang aku pilih?

# # #

Sesampainya di rumah kak Mira, mama bertanya banyak sekali. Sepertinya mama senang kalau Sinta di pondok. Kak Mira menjawab semua pertanyaan mama dengan santun. Sesekali kak Mira menoleh kearahku dan melemparkan senyum manisnya. Aku membalas senyumannnya. “Sinta bener-bener mau mondok?” tanyanya lembut. “Iya kak.” Jawabku malu. “Sinta pingin kayak kak Mira katanya. Sudah cantik, baik lagi.” Rayu mama kepadaku. Aku malu dibuatnya. Tapi kak Mira hanya tersenyum melihatku yang sedang menyembunyikan muka. Tak lama, kami pun berpamitan untuk pulang. Mama berinisiatif untuk menitipkanku pada kak Mira. Dan berangkat ke pesantren bersama kak Mira. “Hah, satu minggu lagi?” bersitku dalam hati.

# # #

Eloknya sore kala itu tak ubahnya seperti senja kala lalu. Namun sore ini tampak lebih cerah dari biasanya. Gamis ungu muda dan hijab bunga warna-warni membuat kak Mira tampak anggun sebagai muslimah sejati. Akupun tak kalah anggunnya dengan gamis biru muda bercorak bunga merah dan kuning serta hijab putih yang baru ayah belikan kemaren malam. Ya, kini aku akan berangkat ke tempat para muslimah berada. Muslimah cantik seperti kak Mira. Tidak sabar rasanya, melihat para bidadari surga berada. Semilir angin sore mengiringi perjalananku menuju rumah suci. Lantunan ayat suci al-quran menjadi penguat niatku menjadi muslimah yang di ridhoi. Senja perlahan sudah undur diri, ia hampir raib dari pandanganku. Dadaku berdegup tak beraturan, antara senang dan sedih bercampur menjadi satu. Tapi sesekali ayah dan mama menoleh kearahku. Mereka lemparkan senyum kebanggaan. Sesaat aku tenang. Kak mira meremas tanganku. Ia sudah seperti kakakku sendiri. Tak terasa kijang biru telah sampai di depan pesantren tebuireng jombang. Entah jam berapa sekarang. Sepertinya malam tampak sepi. Rupanya kak mira kembali lebih awal dari teman-teman santri yang lain. Kak mira mengantarkanku bertemu pengasuh pesantren. Ayah dan mama menitipkanku pada beliau, dengan berharap keberkahan ilmu dari beliau. Tak banyak yang kumengerti dari perbincangan itu, yang ku tau aku akan tinggal di sini. Seminggu telah berlalu, inilah waktu yang ku tunggu-tunggu. Saatnya para santri kembali ke pesantren setelah liburan panjang selama Ramadhan. Kak Mira mengajakku untuk menyambut para tamu. Sekali lagi mataku terperangkap pada ribuan muslimah cantik nan menawan. Senyum yang mereka tanggalkan membuat wajah mereka semakin indah di pandang. “Kak, santrinya banyak banget.” Seruku heran. “Sinta seneng kan?” Tanya kak Sinta. “Iya, kak.” Jawabku senang. “Oya kak. Mereka dari mana saja?” Imbuhku bertanya. “Mereka dari berbagai penjuru Sinta. Dari Papua, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, bahkan ada juga yang dari Thailand, Singapura, Batam, Filiphina. Mereka semua mondok di sini ingin memperdalam ilmu agama islam. Selain itu dengan berbagai macam budaya yang berbeda, kita bisa belajar dari mereka. Karena terkadang tradisi atau kebiasaan masyarakat yang menurut kita baik, belum tentu menurut mereka baik. Dari sinilah Sinta, kak Mira belajar arti perbedaan. Ras yang berbeda, bahasa yang berbeda, kebiasaan yang berbeda dan semua sifat dan watak santri yang berbeda. Perbedaan itu rahmat Sinta. Dengan mengetahui semua perbedaan, kita akan bertumbuh dewasa seiring berjalannya waktu. Dengan begitu kita bisa belajar toleransi antar sesama umat manusia.” Jelasnya dengan penuh bijak. Aku tertarik mendengar penjelasan kak Mira kepadaku, tapi aku tidak begitu paham maksudnya. Meski seperti itu aku tetap ingin seperti kak Mira, wanita muslimah yang cantik nan anggun, dengan tutur kata yang lembut nan santun, dengan sikap yang baik dan menawan. Ku katakan sekali lagi, aku kagum pada kak Mira. “Emb,,, maukah kak Mira mengajari Sinta?” Ia tersenyum melihat wajahku yang penuh harap. Hanya pancaran wajahnya lah yang membuatku selalu ingin menjadi lebih baik.    

Biodata penulis

Nama         : Armita Uswatun Hasanah

Alamat       : Jl. Pangandaran Antirogo Sumbersari Jember

Status        : –  Aktif dalam kepengurusan di PP. NURIS JEMBER – Mahasiswa aktif di IAIN JEMBER

No. Telp.    : 0852-8800-5951

 

1514943_937851919593429_1508972980032794745_n

Related Post