Potret Kecil

Penulis:Ira Safiratul Ulum

*Penulis adalah siswa SMA Nuris Jember kelas XI IPS 2

Gumpalan awan putih nampak menyelimuti langit yang terlihat dingin, bercak-bercak embun pada pepohonan masih terlihat, udara pun masih murni tak terkomplikasi oleh apapun, beberapa gerombolan burung kecil baru terjaga dari tidurnya mereka terbang bersama dengan alunan angin. Pegunungan Jatirejo ini sempurna menampakkan kegagahannya.
Pagi ini mobil ayahku melaju santai di jalanan menembus kabut tebal di tengah semerbak pepohonan. Aku menghirup nafas dalam-dalam membiarkan udara segar ini memenuhi paru-paruku. Sesekali kupejamkan mata untuk lebih menikmati keajaiban yang telah Tuhan berikan. Aku lebih dalam merasakan pemberian sang pencipta, merenungkan alam dan segala isinya hingga tanpa kusadari rasa syukur tak kunjung mengering dalam benakku. Alhamdulillah.“Hana apa kau yakin dengan keputusanmu?” tanya ayahku setelah keheningan panjang.
Semua mata tertuju padaku. Mobil klasik tahun 90’an ini mengangkut 4 orang penumpang pagi itu, aku, Ayah, Ibu,dan Adikku. Aku tertunduk dalam-dalam, pertanyaan Ayahku seketika menyentuh ulu hati, kebimbangan yang telah kukubur dalam-dalam mulai bangkit secara perlahan.Tangan ayah mengusap kepalaku pelan. Seperti ada sesuatu yang menghambat diafragma pernafasanku, mataku berkaca-kaca,linangan air menumpuk penuh dikelopak mataku, mereka seakan memberotak untuk berebut keluar. Namun aku menahannya, tak ingin aku melihat raut cemas di wajah orangtuaku. mereka cukuplah senang dengan pilihan ini.
***
Setelah perjalanan 1 jam lamanya, akhirnya kami sampai pada tempat tujuan. Sebuah gedung besar berada di hadapan kami bertuliskan “ SELAMAT DATANG DI PESANTREN AL-MAUFI”. Ayah menepuk pundakku pelan, aku mengangguk. Lelaki paruh baya itu kini membimbingku masuk ke dalam diikuti oleh ibu dan adikku dari belakang. Pesantren ini sangatlah luas, begitu memasuki gerbangnya kami disambut oleh masjid dengan dekorasi klasik yang unik, tepat di sisi bangunan masjid berjejer rapi sebuah kelas-kelas kecil yang biasanya digunakan para santri untuk menuntut ilmu. Di belakang masjid besar itu ditempati oleh kamar-kamar para santri sebuah kamar kecil dengan cat yang senada. sedangkan dihaluan kanan kelas terbangun kokoh perlahan.
“Insya Allah, aku siap Ayah,”ucapku dengan pelan. Kucoba mengumpulkan mental yang sempat kocar-kacir, menjadikannya kembali menjadi satu. rumah Kiai bercatkan putih dengan kombinasi batu-batu hasil bumi pada dindingnya. ayahku menuju rumah itu, hal ini sudah menjadi tradisi masyarakat sekitar pesantren yang hendak menitipkan anaknya untuk dijadikan santri.
Aku dan Ibuku memang sengaja tidak ikut karena untuk hal semacam itu ayah yang meng-handle nya. lagi pula ibu juga tak ingin, dia bilang ingin menghabiskan waktunya yang sebentar untuk bersamaku, karena sebentar lagi ia tak akan bisa melihatku di rumah. Kami menelusuri pesantren ini lebih dalam, beberapa remaja seusiaku mendekat. mereka tampak begitu cantik dengan balutan jilab yang terpasang rapi, beda denganku yang belum begitu mahir meggunakan kain suci itu.“Permisi bu, mari kami bantu,” ucap mereka dengan santun, mereka tersenyum ramah sembari mengambil barang bawaan ibu.
Apa harus seperti itu, tersenyum tulus dan membantu dengan ikhlas setiap tamu yang mengunjungi pesantren ini. mereka begitu hormat begitu aku dan keluargaku memasuki gerbang pesantren ini. sejak awal aku mulai risih dengan perlakuan semacam itu, tapi lain halnya dengan ibuku ia tampak terpukau dengan sikap mereka yang seperti itu. Melihat ibu yang seperti itu membuatku semakin yakin dengan keputusanku. Sikap mereka yang santun, ramah, lembut inilah yang menjadi pembeda antara seorang santri dengan yang lainnya. Meskipun aku tahutak ada manusia yang sempurna, tapi setidaknya mereka adalah orang-orang hebat yang bisa menahan diri dari keinginan merasakan dunia luar dan lebih memilih untuk mempelajari ajaran Rosulullah.
***
Setelah ritual penyerahan itu selesai, ayah segera pamit untuk pulang. Namun, sebelum mereka terlalu jauh beranjak pergi ibuku terlihat ragu-ragu untuk meninggalkanku. dia berbalik arah dan berjalan ke arahku. “Apa kau yakin dengan keputusanmu,?”tanyanya. “Bu, Ibu yakin dengan pilihan Hana. Insya Allah Hana gak bakal buat keyakinan ibu terhadap Hana berakhir dengan kekecewaan.” ucapku mantap.
Saat itu juga raut wajah ibuku berubah sumringah dan seketika itu wanita itu memeluk erat tubuhku. dan dari arah belakang kudapati Ayah sedang mengacungkan kedua jempolnya untukku. Senyumku mengembang secerah awan biru yang terlihat begitu bersemangat hari ini.
***
Memutuskan untuk menetap di Pesantren dan menolak tawaran beasiswa di Jepang memang bukanlah hal mudah. tapi juga tak sulit bagiku. entah kenapa tiba-tiba saja setelah lulus dari bangku SMA aku ingin sekali merasakan nuansa di bangunan Pesantren, karena ku fikir akan berbeda dengan kehidupan yang sudah kujalani sebelumnya. Awalnya keraguan demi keraguan tak henti mengusik fikiranku. Bayangkan saja kuliah di Universitas Jepang memang menjadi mimpi terbesarku, hal yang ku dambakan sejak aku masih kecil bahkan hingga aku beranjak dewasa. Bahkan beberapa sahabat-sahabatku telah menganggap aku gila dengan keputusan semacam ini. Namun, aku hanya bisa tersenyum tipis seraya berkata “Insya Allah aku tidak akan pernah merasakan penyesalan”. Kalimat itu yang selalu terlontarkan dari mulutku ketika mereka mulai mengeluh dan menyesali akan pilihanku.
Setelah resmi menggenggam status sebagai santri ku jalani kehidupan baruku di Gedung suci ini. Banyak hal baru yang ku temui di sini mulai dari teman, istilah-istilah pesantren bahkan kebiasaan yang tak pernah ku lakukan kini menjadi tradisi dalam kehidupan baruku, di sini juga banyak ilmu baru yang kudapat, khususnya dalam berakhlak. Bagaimana seharusnya sikap kita kepada sesama teman, menghormati Kiai dan semua keluarganya dan aku sadar di sini kutemukan apa yang kubutuhkan bukan apa yang kuinginkan.
“Memang kenapa sih ketika bertemu pak Kiai kita dilarang buat liat wajah beliau, bahkan ku lihat santri di sini pada nunduk semua,?” tanyaku pada lastri salah satu santri. “Lho mba’ hana piye tho, itu salah satu bentuk hormat kita kepada pengasuh. selain beliau pengasuh, beliau juga memiliki ilmu yang lebih tinggi daripada kami. sedangkan di dalam islam juga diajarkan bahwa kita harus hormat pada orang yang berilmu,” terangnya dengan nada khas jawa yang kental dari wanita kelahiran Mojokerto ini “Assalamu’alaikum,” suara vina dan ayu memecah obrolan yang semakin seru antara aku dan lastri.“Wa’alaikum salam”. Jawab aku dan lastri serentak.
“Lagi ngomongin apaan sih kalian, sampek gak ikut ngaji di Musholla,?” tanya vina begitu masuk kamar.“Jangan suudzon samean mbak. aku sama mbak Hana ini tadi masih di minta tolong sama ibu nyai buat ngecek barang-barang di dapur, apa aja yang kurang jadi besok bisa langsung dibeli.” Protes Lastri.“Benar gitu mbak Hana,?” tanya vina sedikit ragu dengan penjelasan Lastri. Aku hanya mengangguk sebagai arti mengiyakan perkataan Lastri. Kadang tingkah lucu teman-teman sekamarku ini yang membuatku sakit perut karena tak kuasa menahan tawa yang terlalu berlebihan, bukan karena apa, karena memang tingkah lucu mereka yang menyaingi lawakan seorang pelawak kondang Sule dan Andre.
“Oya mbak Han, saya dengar mbak Hana ini dapat beasiswa ke Jepang, tapi lebih memilih buat belajar di sini. benar gak mbak?” Tanya Ayu yang memang miss kepo di kamar ini. bahkan kekepoannya terus menjadi ketika ku mulai menceritakan kehidupanku sebelum menjadi santri. “Iya, soalnya aku pikir hidup di dunia itu gak lama kalau kita terus memburu ilmu dunia, terus bagaimana dengan bekal kita setelah kematian.? lagi pula aku di sini Cuma satu tahun. ya meskipun singkat tapi setidaknya tingkah lakuku lebih baik dari sebelumnya. kalaupun rezeki insya Allah aku bakal dapet kesempatan beasiswa di Jepang itu lagi”. Terangku.“Kalau mbak Hana gak bisa dapet beasiswa itu lagi gimana,?” mereka terlihat sangat berantusias dengan ceritaku.
Aku tersenyum simpul. “Itu namanya bukan rezeki, lagi pula tuhan tidak akan pernah salah memberikan rezeki pada umatnya. toh, ayahku masih cukup membiayai kuliahku nanti, Mbak Hana ini hebat ya, pikirannya dewasa. udah cantik, pinter lagi pefrek pokoknya.” Ucapku membenarkan. Kami pun tertawa dengan tingkah lucu perempuan jawa ini. Sifatnya yang lugu mungkin akan membuatku rindu ketika waktuku di Pesantren ini telah selesai. bukan hanya pada Lastri. Tentu pada semua santri yang mungkin tak akan ku temui di Universitas nanti.
***
Memang sudah menjadi rumus kehidupan. Apa yang datang pada akhirnya akan pergi juga dan itu sudah menjadi rumus pasti yang tak akan bisa dielakkan oleh manusia manapun. Bahkan Colombus si penemu Benua Amerika juga belum bisa menemukan alat canggih yang bisa menampik rumus tuhan ini. Pagi ini tepat satu tahun aku menimba ilmu di PP. Al-Maufi, saatnya aku langkahkan kakiku untuk keluar dari pesatren yang diam-diam telah membuatku nyaman berada di sini. Kini aku siap menghadapi kerasnya dunia luar. Namun, sampai sekarang aku belum siap untuk meninggalkan bangunan pesantren. Hatiku menyeruak menolak untuk pergi ketika kudapati tatapan polos yang mereka tunjukkan padaku.
Mereka seakan membuang semua ambisiku untuk bisa melanjutkan pendidikan di Jepang. mereka juga yang telah membuatku lupa kalau aku punya keluarga yang telah menunggu kesuksesanku di rumah. “Bener mbak Hana ini mau ninggalin kita,?” ucap ayu ketika aku sedang mengemasi semua barang-barangku.“Iya, yu” jawabku singkat. Ekspresi wajah yang biasanya selalu terlihat ceria kini menunduk lesu seperti tak ada gairah untuk memulai kehidupan.“Yaweslah mbak, ini kenang-kenangan dari kami. tolong dijaga ya mbak,” kini, vina menyodorkan sebuah buku kecil. “Jangan lupakan kami ya mbak. meskipun nanti mbak hana punya teman yang katanya mbak hana modis tapi jangan lupain kami yang katrok ini ya mbak,” Lastri yang sedari tadi mulai angkat bicara.
Sesaat setelah percakapan itu, suasana seketika hening kami mulai bergulat dengan fikiran masing-masing. sedangkan aku dengan lancarnya bayangan-bayangan pesantren terekam sempurna di dalam otakku. kenangan-kenangan selama aku menimba di gedung suci ini tiba-tiba bak sebuah film yang terputar ulang secara otomatis dan takkan ada akhirnya. Aku kalut dalam lamunanku sendiri hingga sebuah suara berhasil membuyarkan lamunan itu.

(Baca juga:http://pesantrennuris.net/2017/04/gubuk-tua/)
“Kak, ayo mama sama papa udah nungguin,” teriak adikku dari arah luar. Ternyata sedari tadi ibu dan ayah sudah selesai berpamitan kepada Kiai dan Bu Nyai. Aku menatap nanar kearah mereka. tak kuasa aku meninggalkan orang-orang yang teramat aku cintai ini. Namun, ku masih mencoba untuk bisa tersenyum di hadapan mereka, biarlah tangis yang membuncah aku lepaskan ketika aku tak bersama mereka lagi karena sedikitpun tak ingin aku membuat sahabat-sahabatku ini mengetahui kesedihanku yang tak ingin meninggalkan mereka.
***
Kehidupan memang akan terus berputar. Kini aku menjalani kehidupanku dengan sempurna di kota Tokyo. Mimpi besarku berhasil ku genggam, tetapi memori masa lalu tak bisa begitu saja kulupakan. Apalagi ketika kutemui sebuah buku kecil yang ternyata selama ini berada pada bagian bawah berkas-berkasku. Sebuah buku bersampulkan warna merah jambu dengan bertuliskan namaku di bagian sampulnya. Aku tersenyum simpul melihatnya, bagimana mungkin buku ini baru kutemukan sedangkan aku ingat satu tahun yang lalu aku fikir aku akan kehilangan buku itu. dan ketika itu juga rasa bersalah selalu menghantuiku.
Perlahan kubuka setiap lembar dari buku ini. dan benar saja buku ini berisi foto-foto kenangan selama aku di Pesantren. Ketika kami dihukum karena telat shalat berjamaah, foto ketika sedang bersih-bersih kamar, bahkan ada foto kami bersama Bu Nyai. Semua tetata dengan rapi dalam buku ini. Perlahan air mataku terjun dengan bebas dari kelopak mata. Menuruni terjalnya pipi yang terlihat semakin chubby ini. Aku sesegukan dibuatnya bibirku kelu tak kuasa terucap ketika rasa rindu yang selama ini ku pendam tiba-tiba bangkit dan menyapa relung hatiku.
Terus kujelajahi setiap lembarnya. Hingga penjelajahan itu berujung pada akhir halaman buku ini. Di sana tertulis jelas kalimat “ I LOVE YOU MBAK HANA “ tepat di bawah foto kami dengan ekspresi konyol ketika kami sedang merayakan ulang tahunku 2 tahun yang lalu. Dan benar saja tangisku membuncah seketika sempurna membasahi kain jilbabku. Rasa syukur tak henti ku ucapkan pada tuhan yang telah memberikanku kesempatan untuk menyandang status sebagai seorang santri. Masa terindah di Pesantren sungguh tak akan pernah aku lupakan dan sampai kapanpun status santri akan terus aku bawa hingga hembusan nafas terakhir karena santri adalah suatu kebanggaan.

Related Post