Dialog Kematian

*Penulis : Nabila Hilmia

Penulis adalah siswi kelas XII PK A MA Unggulan Nuris*

Aku masih duduk tenang di antara 2 makhluk berbadan besar yang sembari tadi tampak sibuk dengan argumen masing-masing. Pandangan mataku yang sayu, sembari tadi masih tertuju ke salah satu makhluk dengan ciri-cirinya yang membuat aku ngeri, kulitnya hitam legam, dengan bulu mata tebal, mirip manusia, tetapi aneh, ukuran tubuhnya tinggi dan besar, nafasnya terdengar sangar, kadang naik kadang turun seiring perdebatannya dengan makhluk tampan, wajahnya putih bersih, hidungnya bangir, sorot bola matanya bening kebiruan, benar-benar sempurna, jauh berbeda dengan lawan bicaranya, Si Hitam.

“Bagaimana?” Si Hitam bertanya kaku kepada Si Tampan. Si Tampan hanya tersenyum simpul, lalu mengangguk, aku menatap keduanya heran. Si Tampan masih saja tersenyum, membuat aku terkesan. Dengan ketampanan wajahnya, begitu bercahaya dan sempurna.

“Apakah seperti ini wajah Nabi Yusuf dulu?” gumamku kagum.

“Ehm, kita ambil keputusan aja dulu?” balas Si Tampan, Si Hitam segera berdiri. Lalu menatap ke arahku.

“Ada apa dengan Si Tampan dan Si Hitam? Apa yang akan mereka lakukan?” Hatiku diliputi tanda tanya yang terus melebur bersama ketakutan.

Si Tampan dan Si Hitam, aku memberi mereka berdua julukan Si Tampan dan Si Hitam karena perbandingan kulit mereka. Si Tampan dengan suaranya yang tenang dan lembut, membuat semua terasa tenang, sedangkan Si Hitam, suaranya terdengar kasar dan sangat serak basah, dan terkadang terdengar menakutkan, bahkan aku sembari tadi diam karena ada ketakutan saat Si Hitam menatap bola mataku tajam, menghujam cepat hingga menghadirkan sejuta ketakutan, dan hatiku yang masih diliputi tanda tanya. Dimanakah aku sekarang? Bukankah sembari tadi aku tengah naik motor menuju masjid untuk melaksanakn shalat Jumat, lalu kenapa aku disini? Di tempat serba gelap, dengan bau aneh yang belum pernah aku temukan selama hidupku, bau serta suasana aneh, bukan ketakutan, sedih atau duka, tapi bukan juga kehampaan, semua seperti serpihan aneh yang menderu berbagi dalam sekeliling.

“Hai, Manusia!” Suara Si Hitam menggelegar, memantul dari kegelapan, yang sembari tadi menyelubung. Aku kembali bergeming dalam kediaman dan ketakutan yang terus melebur bersama kegelisahan.

“Manusia, siapa? Aku? Kalau aku manusia, siapa mereka? Apa mereka jin, setan atau mereka malaikat, dimana aku? Apa aku sudah mati? Ya Allah, masih adakah pintu taubat di kala ini?”

Aku masih tertunduk, pikiranku masih terus bergelut dengan kemungkinan tanya yang sama sekali tak kuharapkan.

“Ayo jawab!” Si hitam membentakku penuh emosi. Aku semakin tak terpekur takut.

“Yang sabar!” Si tampan membelaku, aku mengulas senyum untuk Si tampan, tapi tetap saja, aku masih tertunduk, terlalu takut untuk memandang dua makhluk aneh di depanku.

“Sabar, dia calon penghuni neraka?” Si Hitam berteriak keras, lalu tertawa, suaranya yang keras menggelegar. Bulu kudukku merinding saat neraka disebut. Sebuah tempat yang tak satu orangpun yang ingin menjamahnya.

“Neraka…. kamu salah saudaraku, dia adalah golonganku… Dia akan menjadi penghuni surga,” jawab Si tampan seraya memandangku yang masih tertunduk, sesekali aku mencuri pandang ke arah Si Tampan, ku tatap wajah teduh itu lekat, ada ketenangan di setiap guratan-guratan wajahnya yang tampak jernih itu.

“Oke, sekarang kita buktikan. Dia golongan kanan atau golongan aku?” Si Hitam tampak tidak bisa terima. Seketika Si Hitam berdiri lalu memukul sesuatu di depannya, entah apa itu. yang jelas bukan meja, tapi hanya balok Hitam bulat yang keras, sehingga sesaat setelah benda itu beradu dengan tangan Si Hitam, ada getaran aneh, lebih tepat besi beradu dengan besi, aku sempat ngeri, membayangkan betapa kuatnya tangan Si Hitam.

“Hai tangan. Ayo kita buktikan.” Si Tampan memberi komando, entah kepada siapa. Aku sempat heran, tapi rasa keherananku semakin menjadi dan lengkap saat tanpa kusadari tangan kananku bergerak sendiri, lalu mengucapkan salam, aku menjadi gugup.

Aku teringat ucapan Ustad Afandi saat pengajian Jum’at lusa, besok di hari akhir semua akan menjadi saksi, termasuk seluruh anggota tubuh kita.

“Ya Allah, ampuni hamba..”

Aku semakin tertunduk, mendengarkan kesaksian dari tanganku yang terus berbicara sendiri, aku heran, entah dari mana suara itu keluar, yang jelas itu suara dari tangan kananku yang terus menceritakan kehidupan selama 18 tahun ini, tentang kebaikan dan juga keburukanku, tiada satupun yang terlewati, aku semakin kalut, air mata tertahan untuk menetes, dadaku terus sesak, ada getir dan sesal yang menyeruak.

“Demikian kesaksian dari saya.” Tangan kananku mengakhiri ceritanya. Aku bersyukur. Ternyata lebih banyak kebaikan yang aku lakukan dari pada keburukan.

“Selanjutnya?” Si Tampan menjadi memberi komando, rasa heranku kembali menjadi-jadi saat tangan kiriku kembali bangkit, lalu bercerita. Aku mengelus dada perih, saat ternyata amal burukku lebaih banyak. Aku semakin resah, kemanakah arah tujuanku sekarang? Kemana? Apakah aku akan berakhir ke neraka?

Aku terus berdoa dalam hati, walaupun aku tau, doa atau apapun yang aku harapkan semuanya akan sia-sia. Aku sudah mati dan ini adalah akhir.

“Maaf!” Aku mulai memberanikan bicara.

Seketika Si Hitam dan Si Tampan langsung menatapku tajam. “Apakah kalian Malaikat?” lanjutku bertanya kaku penuh ketakutan.

Seketika kedua saling pandang, lalu tersenyum mengiyakan. Aku terkesiap dalam ketidakpercayaan yang tak berujung. “Jadi benar aku telah mati.”

“Ya. Kami adalah Malaikat dan hari ini kamu akan menghisap semua amalmu.”

“Baik, kita lanjutkan!” Si Hitam kembali mengomando.

Sampai akhirnya semua anggota tubuhku memberi kesaksian. Mata, mulut, telinga, hidung, semuanya. Aku hanya bisa diam, tidak bisa berontak atau protes seperti saat masih di sekolah, aku tak bisa, semua yang mereka katakan adalah fakta, fakta yang terlupakan olehku. Mulai dari aku lahir sampai hari ini.

“Sudah. Dapat diputuskan dia masuk neraka.” Si Hitam tersenyum kemenangan.

“Tunggu dulu, kita masih belum mendengar kesaksian semut yang ditabraknya lusa kemarin.” Si Tampan tampak kembali membelaku.

“Baik, tapi aku yakin, semut itu akan mengatakan apa yang di alami dan pemuda ini akan masuk bersamaku ke neraka.”

“Iya.”

Selang beberapa menit, datanglah seekor semut hitam. Ukurannya besar, sebesar lenganku. Semut hitam itu menatapku tajam, seperti tengah tersenyum padaku.

“Tidak… pemuda ini adalah hamba yang saleh. Dia menabrakku karena dia ingin menyelamatkan nenek yang akan menyeberang jalan tanpa hati-hati,” ucap Semut.

Aku bersyukur, ternyata semut hitam itu membela aku. Kujabat tangan semut itu dan sebelum dia pergi, dia berpesan padaku,

“Tolong jaga keluargaku, karena sekarang aku sudah pergi. Aku belum memberi mereka nafkah.”

“Insyaallah,” kataku heran, bagaimana aku bisa menjaga keluarga yang masih hidup sedangkan aku sendiri sudah mati?

“Baiklah, kamu bebas,” ujar Si Tampan dan Si Hitam serempak.

***

“Mas, ayo sadar!” Seseorang mengagetkanku.

“Dia sadar…” Ada orang lagi yang berteriak. Aku semakin heran. Kemana Si Tampan dan Si Hitam? Lalu di mana semut hitam itu? Aku mengerjap.

“Pak, di mana aku?” Aku bertanya lirih seraya menahan perih di kepalaku. Kukerjapkan mata yang terasa berat. Ada darah yang menetes perlahan dari dahi dan hidungku.

Baca Juga : (Ramadhan)

“Mas habis saja menabrak pohon karena menghindari nenek tua yang akan menyeberang,” jawab Pak Tua itu. Aku tersenyum.

“Lalu di mana keluarga semut hitam yang aku tabrak?”

“Semut?” Semua yang mengangkat tubuhku saling pandang sampai akhirnya aku tak sadarkan diri tanpa jawaban dari mereka. Tentu mereka heran dengan apa yang aku tanyakan tentang semut hitam.

Hari terus berlalu. Sejak itu aku selalu mendatangi tempat di mana aku merasakan dekat dengan kematian. Setiap hari aku selalu memberi roti manis untuk keluarga semut yang berada di bawah pohon tempat aku kecelakaan. Aku tersadar saat melihat mereka bergerombol rukun mengangkat roti. Aku seperti mendengar sejuta ucapan doa dan terima kasih dari para semut itu.

“Kalianlah yang lebih berharga dalam hidupku. Kalianlah yang mengajariku tentang arti hidup,” ujarku lirih.

Aku berdiri, memandang langit biru. Semoga dialog kematian yang telah aku alami itu akan menjadikan pribadiku lebih baik, dan untuk semua orang yang belum pernah menemukannya.

Ini nyata, kawan. Aku tidak mengada-ada.*

Related Post