Sulaiman Hodja dan Paradoks Bangsa Indonesia Zaman Now

Sulaiman Hodja dan Paradoks Bangsa Indonesia Zaman Now

Penulis: Ilham Bayhaqi*

Pesantren Nuris – Bagaimana ingin dibilang berhasil bila ukurannya hanya membangun infrastruktur, itu pun bukan uang mandiri, melainkan hasil Negara. Hasil pajak yang semakin meninggi, utang luar negeri yang diperhalus dengan bahasa investasi maupun meminjam dana haji milik orang Islam yang kenyataannya para ulamanya kalian jilat (sehingga jadi tameng pelindung pemerintah dan senjata memutar balik fakta dengan peluru dalil dalil liberal maupun menyesuaikan dengan kepentingan) dan kalian injak (dikriminalisasi dengan berbagai macam alasan yang terkesan mengada-ada dan dipaksakan, atau dijatuhkan harga dirinya dengan berita-berita hoax hasil editan mereka).

Ketika infrastruktur dibanggakan namun hal kecil seperti ketahanan pangan malah kalian sepelekan, bahkan kalian mengecewakan para petani dan nelayan yang kalian sebut sebagai pahlawan stabilitas pangan dengan cara mengimpor berbagai macam hasil usaha keras mereka, mulai dari garam, ikan, gula, beras hingga kedelai.

(baca juga: Model Literasi Kebhinekaan, Langkah Proaktif Berantas Hoaks bagi Pelajar)

Malu kami dikenal sebagai negeri yang laut dan tanahnya luas, tapi semua hasil bumi kami malah dirusak dengan mekanisme impor pemerintah, petani yang lelah menanam dan merawat sawahnya saat panas maupun hujan sehingga menghasilkan kulitas yang istimewa, terpaksa menjual murah hasil panennya hanya sekedar untuk bersaing dengan harga produk impor yang entah kualitasnya.

Memang saat ini zamannya pasar ekonomi bebas, namun melihat kualitas hasil, persaingan itu harusnya terjadi diluar negeri dengan kebingungan para petani sana menghadapi hasil produksi petani kita, bukan malah persaingan itu terjadi di negeri sendiri yang membuat para petani kecewa setelah euforia panen raya.

(baca juga: Pemuda dan Organisasi)

Jika kita hidup di zaman Sulaiman Hodja (patung di belakang saya) yang masyhur dengan guyonan satir kritik pemerintah di negeri Turki pada zamannya, mungkin beliau akan berkata “Negara kalian tetap subur, tenang saja, namun kesuburan di zaman now ini berbeda, ada kesuburan impor, utang, kasus yang tak usai, kepentingan partai dan kesuburan membuat bingung dan sedih rakyatnya”

Namun kami tidak anti-NKRI, kami bangga menjadi bangsa Indonesia, sehingga kami tak hentinya menulis dan bersuara untuk kebaikan dan kemajuan bangsa Indonesia.

*penulis adalah guru tugas di Pesantren Nuris Jember berasal dari Jakarta, dan sedang menempuh pendidikan di Dalwa Pasuruan Jatim.

Related Post