Sabda Lemari Pengucap

Karya: Tasya D. Amalia

Dengung kipas angin menggema dibalik jajaran lemari para santri. Ia terus berputar mendinginkan tidur para ustad yang mulai kegerahan. Sepoi-sepoi menenangkan. Terus menambah kenyenyakan mimpi di alam hayal. Tak ayal sering menimbulkan suara nyanyian peneman lelah namun terkadang mengganggu orang yang tak pejam istirahat badan. Membuatku tak mampu memejamkan mata meski  sejenak. Kamar asramaku berukuran lima kali lima meter persegi. Tak terlalu besar memang. Apalagi kamar ini harus dibagi dua dengan ustad-ustad pembimbing. Lima belas santri harus tidur berjejal secara bersamaan. Saat bel malam berbunyi, sontak kami akan berduyun-duyun untuk lekas bersemayam pada kasur masing-masing. Tak jarang satu atau dua orang dari kami akan kehilangan tempat tidur sebab diambil santri lain. Kami dan ustad pembimbing hidup berdampingan dengan pembatas lemari sebagai dinding. Kami sering mendengar obrolan para ustad di seberang. Banyak dari mereka juga mengeluh tentang kondisi kamar yang sangat sempit ini.

(baca juga: Di Pesantren Ini, Sebuah Ungkapan)

Sudah lebih dari dua jam lalu lampu di padamkan, berganti lentera kekuningan dari cahaya rembulan. Tak biasanya aku seperti ini. Di kepalaku menggema perasaan di ambang kehancuran. Kalut meremukkan setiap sendi membuat nyilu badanku perlahan. Sering kuterbangun di tengah malam padahal tengah terlelap aku tadi. Bayangnya nampak namun tak begitu kentara. Aku menggigil tak kuasa akan gelap yang semakin menggigit. Kuputuskan untuk solat malam sebab terlanjur terpecah kantukku tadi.  Sempat aku terlelap dalam solat, namun seketika kantuk kembali mengabur berganti dengan tubuh kaku menegang. Kupastikan diri benar-benar. Tak ingin kusalah tafsirkan.

Ya Allah, dia datang

Suara sahut-menyahut salawat menggema pada pelataran ruang masjid. Seperti biasa, setiap malam jum’at pesantren mengadakan tahlil dan do’a bersama. Kemudian  dilanjutkan dengan pelantunan sholawat secara berjama’ah. Para pemain hadrah begitu antusias bermain rebana dan alat musik sejenisnya. Tak beda denganku. Seharusnya akulah yang duduk pada barisan paling depan. Memang baru seminggu aku terpilih untuk menjadi ketua kamar. Tugas yang kuembanpun tak serumit ketika menjadi ketua RT atau apalah itu namanya. Setidaknya itu menurutku. Tapi paling tidak, semudah apapun tugas ini tetap terdapat tanggung jawab yang harus kujaga. Kali ini tugas para ketua kamar adalah mengontrol anggotanya agar tak kabur saat acara rutin seperti ini berlangsung. Udara lembab membasahi gamis yang kugunakan. Padahal tadi siang tak hujan.

“ Hafi… lihat itu!” kejut Ahmad padaku.

“ Apa Mad…? ada yang kabur tah…” jawabku waspada.

“ Awalnya aku kira begitu, tetapi coba kamu lihat disana! Mana mungkin ada santri sekecil itu disini.”

Rasa penasaranku membuncah. Segera kusasar arah pandang Ahmad. Terlihat bocah berdiri di ambang pintu bersilang tangan kebelakang dengan kepala tertunduk. Entah apa yang dipandanginya disana namun jelas kulihat bahwa tak henti-hentinya ia menggumamkan sesuatu. Kubenahi kacamataku yang sedikit miring. Disebelahnya dua orang sedang mengobrol, salah satu tak asing.

“ Mad… ustad Salman ngomong sama siapa ya?”

“ Mana… mana?”

Begitu semangatnya Ahmad hingga tak sengaja mendorong tubuhku dan jatuhlah kami. Sontak suara gaduh kami membuat para santri menolah kebelakang. Para pemain hadrahpun ikut berhenti bermain. Kami sempat beradu pandang, sebelum terasa sesuatu yang panas menarik telinga kami.

“ Ya Allah… Hafi, Ahmad… apa yang kalian lakukan? Bukan melakukan tugas malah bergurau. Cepat bangun ikut ustad sekarang!” Kami menurut. Dengan masing-masing tangan pada telinga kami, ustad Fathoni membimbing kami menuju kantor biro kepesantrenan. Jadilah kami di marahi semalaman. Sakit menimpa sesal terlambat. Tepat di depan kantor ustad melepaskan telinga kami. Ia berjalan ke dalam disusul Ahmad di belakang. Sedang aku masih terdiam. Hatiku seakan enggan untuk menjauh dari mereka. Dalam perjalanan kemari sempat kulewati mereka sejenak. Walau tak lama, dapat terekam air muka anak itu hendak mengatakan sesuatu padaku. Tidakkah aneh bagi orang yang baru bertemu seakan telah lama bersua? Untuk itulah kau disini. Rasa penasaranku seolah menjadi drakula yang sangat haus darah. Tak jauh dari sisi kanan kantor kulihat mereka sedang serius mengobrol. Lama berselang mereka berpelukan dan tangispun pecah. Sejauh yang kukekanal ustad Salman memanglah orang yang sabar. Pendiriannya yang teguh syarat akan suri tauladan. Hal apa yang dapat membuatnya menguraikan airmata sebegitu derasnya.

Plaakk…

Telingaku kembali terasa panas.

“ Ya Allah… baru buat salah sudah buat kesalahan lagi.  Nganu opo wae de’ kini?  Masih kurang tah jeweran-nya?”

Anu, ustad. Anu… tadi.”

“ Sudah sekarang masuk! berdiri di sebelah lemari.” Tanpa menunggu aba-aba selanjutnya. Masuklah aku ke dalam sembari mengelus telinga yang kepanasan. Ahmad terkikik dibuatnya. Tak masalah buatku menjadi bahan lelucon untuk Ahmad. Temanku yang satu itu memang membutuhkan sedikit hiburan untuk wajahnya yang kaku. Kupandangi lemari di hadapanku yang usang dan berdebu menyatu. Gurat kayu lapuk mengagariskan sesuatu yang abstrak. Semakin kulihat ujung seratnya tambahlah banyak cabangnya. Seolah mewakili apa yang kurasakan saat ini. Suara amarah ustad Fathoni melebur bersama dengan deru kipas angin yang bertambah kencang. Bukan maksud tak menghiraukan hanya saja aku sedang terbawa, tertarik oleh rasa bersalah dan penasaran yang menyerang.

“ Siapa dia?” Gumamku.

Remuk hati tertindih rasa malu

Hanyut aku di kolam nestapa

Terbawa perasaan menyiksa tiada tara

Aku yang kini mencoba menjadi dia

Terjebak diantara hutan pohon berduri

Alangkah mendustanya aku ini

Mengapa harus berpura-pura?

Azan subuh telah lama berkumandang seperempat jam yang lalu. Sementara aku dan Ahmad sama-sama tak terbangun. Beban mata yang berat membuat kami hanya bisa membenahi sarung sebagai selimut. Kipas angin menonton pertunjukan kami yang di marahi habis-habisan semalam. Sawang-sawangnya berlarian di atas kami yang berdiri tegang. Keringat tak henti-henti bercucuran membasahi kopiah berbau masam. Baik aku atau Hafi tak ada yang berani menjawab petuah dari ustad Fathoni. Arti manau pertanyaanku.

“Bangun…!” dalam mimpi terdengar suara  ustad Fathoni membangunkanku. Badanku masih terasa malas untuk menegang lagi. Kupaksa kelopak mata untuk terbuka memandang seseorang yang ada dihadapanku. Lamat-lamat nampaklah jelas sendi-sendi itu. aku melirik semburat wajahnya yang kelelahan. Semalaman lelaki ini sukses memarahi kami. Amarah yang berisi nasihat dan pelajaran. Aku masih ingat dengan jelas kalimat indah yang dilantunkan beliau.

‘Sebaik-baik manusia ialah yang berguna bagi orang lain. Bersyukurlah kalian. Tapi jangan salah gunakan kepercayaan kami. Setiap orang itu pemimpin dan setiap orang juga bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya.’

“Ayo bangun…!” ucap beliau sambil menarik tanganku. Sedikit berkunang-kunang pupil kupaksa beranjak menuju kamar mandi. Terdiam sejenak di dalam bukanlah hal yang salah kurasa. Dari celah jendela kulihat surya tersenyum membuat iri awan hingga menepi. Angin sepoi-sepoi menari, menerbangkan debu-debu jalan. Tak kuasa kujaga sukma agar tetap terjaga.

Mataku membulat. Kakiku memasuki sebuah ruangan. Tampak kecil dari luar namun meluas ke dalam. Ruangan ini tak asing. Tanganku meraih gagang pintu tuk membukanya. Didalam kulihat dua orang telah menunggu dikeliling lemari usang. Berdiri berdampingan dengan lemari yang bertuliskan namaku. Benar, lemari itu milikku. Aku terperangah menyadari siapa mereka.

“Mamak… Baba, kalian disini.” Tak terasa pipiku berembun mata bersimbah air di pelupuk. Rindu membuncah yang tak tertahankan kini telah terbayarkan. “Mak… Ba, Hafi kangen,” ucapku lirih.  Mereka tersenyum. Ingin kuhamburkan pelukan pada mereka namun baba melarang.

“Mamak dan Baba hanya ingin bertanya. Bagaiamana sudah menemukan yang Hafi mau?” aku tak menegerti apa yang dikatakan mereka. Sejurus kemudian hanya diam yang kulakukan.  “ Tidak apa-apa nak, kami akan sabar menunggu.” Akalku semakin penat menerka. Sebelum sempat kukatakan sesuatu bayang mereka lantas menghilang. Sungguh aku mati rasa. Kakiku tak kuasa bergerak, lisanku tak mampu ucapkan kata. Yang kulakukan hanya meratap, bersimpuh di tengah tanah lapang membayangkan bayang mereka kembali datang. “Hafi… Hafi, kamu kok lama banget di kamar mandi?” suara Ahmad membenamkan mimpi membuatku tersadar jika tadi hanya ilusi. Kubasuh air wudhu’ segera, dengan cepat menuju masjid meski waktu subuh tinggal secuil.

Payung hitam tak mampu seimbangkan badan akibat terhantam aliran air dari langit yang datangnya keroyokan. Pohon tak hentinya bergoyang diantara angin liar menyibak rambut daunnya. Kapas kelabu menghitam, terbang melayang tergantung diangkasa. Mengeluarkan kilat cahaya menembus bumi, menimbulkan lagu gemuruh menghampiri. Disisi jalan pohon mengalami mabuk yang luar biasa. Tak lama ia tumbang menghantam tiang listrik hingga terjengkang. Ba’da diniyah subuh aku langsung menjalankan hukuman dari ustad Fathoni membersihkan kamar mandi asrama putra pusat. Sepanjang hari tak sekalipun kulihat batang hidung Ahmad. Selintas kudengar ia mendapat hukuman yang berbeda denganku. Kasihan ia. Setahuku ustad Fathoni hanya mempunyai dua macam hukuman. Yang pertama pastilah membersihkan kamar mandi atau yang kedua yang paling parah adalah menguras sapiteng. Tak bisa kubayangkan bagaimana ia harus berkutat dengan kotoran-kotoran penghuni asrama.

Otot-ototku menuntut untuk istirahat. Terdapat dua puluh kamar mandi untuk tiga ratus santri di dalam asrama putra pusat. Lumayan mengiras tenaga memang. Pergelangan tanganku serasa terkilir. Pundakku memaksa untuk dipijat. Menjelang dhuhur tugasku selesai. Beruntung aku tak sendiri, bersamaku pelanggar keamanan ikut serta membersihkan kamar mandi. Pekerjaan menjadi sedikit ringan diselingi dengan candaan. Tepat saat berjalan di lorong asrama kulihat seseorang memasuki kamarku. Badannya kecil gesit hampir tak terlihat mesukdan langsung menutup pintu. Naluri mengatakan ia bermaksud jahat. Gerak-geriknya sungguh mencurigakan.

“Dik… adik gak sekolah?”aku tak mau berbasa-basi. Apalagi saat kulihat ia tengah duduk di depan lemariku. Ia tak bergeming, bahkan untuk menjawab pertanyaanku serasa ia tak mau. Kupandangi ia lekat. Anak ini kuperkirakan berusia tiga tahun lebih muda dariku. Kesabaranku masih dalam genggaman.

“ Adik butuh sesuatu?” ia menggeleng.

“ Maaf, lalu mengapa adik di sini?” Aku mulai geram. Jika ia bukan anak kecil sudah kupukul ia tadi. Astaghfirullah… jaga amarahku ya Allah. Aku tak tahan lagi. Begitu hendak kuhampiri, dengan cepat ia berlari keluar kamar dan entah mengapa tubuhku refleks mengejarnya.

Bukk…

“Maaf ustad…!” ucapku saat tak sengaja menabrak ustad Salman. Kami sempat terdorong setengah meter jauhnya.

“Astaghfirullah Hafi! Ada apa nak? Kok terburu- buru?” Kuatur napas sedemikian rupa sebelum menjawab pertanyaannya.

“Begini Ustad. Saya tadi sedang mengejar santri. Ia sedang duduk didalam kamar saat saya masuk kamar tadi. Anak itu sangat mencurigakan ustad, saat di tanya ia cuma menggeleng. Dan saat saya dekati anak itu  malah lari ustad. Saya takut ia adalah pencuri.”

“Anak kecil? Yang benar saja kamu ada anak kecil di asrama ini. Bukannyakamu tahu kalau asrama ini untuk santri SMA atau yang sudah kuliah.”

“Saya tidak bohong ustad… ini bukan kali pertama saya bertemu dengan anak itu. semalam… benar semalam saya melihatnya bersama ustad.”

“Saya…? semalam saya tidak bersama dengan anak kecil. Ngawur  kamu ya!”

“Maaf ustad bukan itu maksud saya. Tadi malam saya lihat ustad berbicara dengan seorang laki-laki. Mungkin sekitar empat puluhan. Ustad waktu itu sangat serius berbicara dengannya. Tak lama saya lihat ustad juga menangis. Disamping laki-laki itulah anak itu berdiri. Jika tak percaya ustad bisa tanya Ahmad. Kami berdua semula mengira anak itu adalah santri baru.”

Daun-daun berguguran tertiup angin kepanasan. Semburat kuning menyilaukan mata dengan frem kacamata. Tubuhku tiba-tiba terserang dingin luar biasa. ustad Salman hanya terdiam. Kutunggu lama sekali ia memalingkan wajah dariku.

“Ahmad… sudah pulang semalam Hafi.”

“Kapan? Bukannya tadi pagi Ahmad maish tidur dengan saya?”

“Baiklah… ustad tidak tahu harus mulai dari mana. Tapi saya rasa kamu harus segera diberi tahu.”

“Ada apa ustad? Apakah saya dan Ahmad membuat kesalahan lagi?”

“Tidak… hanya saja… temui ustad nanti sore di kantor. Bisa?”Gigil pada tulangku semakin menjadi-jadi. Menyetujui keinginan ustad serasa sangat berat untukku. Menahan rasa penasaran adalah hal yang tak bisa kulakukan sepanjang hidup. Menelan ludah. Bahkan darahkupun ikut menggigil.

Lembaran tissue  bergumpal disudut belakang pintu kamar. Beberapa masih terlihat lendir kuning yang menempel di sisi dalam. Jelas saja ia belum kering. Sang pemilik lendir baru saja mengeluarkan mereka tadi malam. Mataku membulat bengkaka kehitaman. Siapa yang yang tahu ia menangis berapa lama semalam. Badan terkulai lemas di ranjang. Meski kini sepasang mata telah tertutup. Lekukan rasa sakit tersirat dari balik peluk lengan terhadap kaki. Seolah tak mau lepas. Kubutuh tepat berlabuh. Jelas sudah semua penjelasan yang ustad Salman berikan. Tubuhku menegang begitu bersua dengan orangtua Ahmad.

Saat kantukku terpecah karena bayangnya lagi-lagi datang. Akhirnya kuputuskan sholat malam. Sempat kuterlelap dalam solat, namun seketika kantuk mengabur. Berganti dengan tubuh kaku menegang. Dia berada di hadapanku. Kupastikan diri benar-benar. Tak ingin kusalah tafsirkan. Ya Alllah dia datang. Tersenyum begitu manis layaknya anak kecil yang polos. “Kak… Alhamdulillah telah tergapai impian saya. Bagaimana dengan kakak? Ingat pesan mamak dan baba. Dengar dan lakukan. Putuskan! Buat bangga mereka.

”Sedeti kemudian ia menghilang. Aku tak takut, aku tak menagis. Benih air masih berada di ujung. Teringat aku akan sesuatu. Berlarilah aku dari masjid ke kamar, tergesa kuhampiri lemariku. Bahkan, tak kusengaja kuinjak kaki anak yang sedang tidur di bawah, bergetar kubuka pintu lemari. Perlahan nampak foto kedua orangtua yang sengaja di tempel sebagai pengobat rindu setelah kepergian mereka dua tahun lalu.

(baca juga: Kunang-kunang Berangan)

Masih ingat, foto itu kutempel menutupi impian terbesar. Terlihatlah impianku menjadi penghafal alqur’an. Tangisku kembali pecah, setelah menyadari ada pesan kecil di balik lemari itu. ‘ Nak, cita-citamu sangat mulia. Baba dan mamak bangga padamu. Raihlah impianmu, nak. Baba dan mamak akan selalu mendukungmu. Semangat!’

Aku tak tahu kapan aba dan mamak kalimat motivasi itu, tetapi lemari seolah-seolah menjadi media pengucap bagiku. Entah bagi santri yang di pesantren ini.  Kejadian tiga tahun lalu itu masih kusimpan baik-baik. Memang separuh hatiku masih tak percaya jika ustad Fathoni dan Ahmad telah tiada dengan begitu cepat. Udara malam itu yang sangat gigil mengurung kepercayaan diriku. Sampai datanglah anak kecil itu.  yang membuatku dapat mendengar lemariku mengucap kata tersimpan dari orang tuaku. Setidaknya selama tiga tahun sudah kuberusaha menggapai mimpi. Hasilnya tinggal menunggu waktu dekat saja. sepasang merpati putih menyapa dikala mendung menerpa. Untuk kalian tahu saja, setiap malam tak jarang kudengar lemariku bersabda. Oh… sungguh indahnya.

KAMIS, 23/08/18

Bersimpuh diantara jajaran lemari usang

-memohon ampun pada pemilik sabda-

Penulis adalah siswa SMA Nuris Jember kelas XII IPA 1.

Related Post