Macan Rondup

Penulis: Siti Lutfiah

Tak banyak yang tahu jika di negeri yang indah ini ada makhluk yang lebih cangggih dan sakti dari teknologi masa kini. Hal ini yang diyakini betul-betul oleh Nyai Asipa. Aku masih ingat betul peristiwa masa kecilku itu. Begini ceritanya.Saban Kamis malam, Nyai tak pernah lupa untuk menyiapkan sesajen. Nyai menyebutnya sandingan. Jika kuingat kembali, sepiring nasi hangat dengan sebutir telur rebus tepat di puncak gunungannya itu mengingatkanku pada pelajaran di SMA tentang Punden Berundak dan Menhir sebagai salah satu bagian dari peradaban spiritualitas purba di tanah ini. Jika makanan itu memang diperuntukkan untuk arwah yang pulang ke rumahnya saban malam Jumat, maka aku tidak bisa membayangkan bagaimana selera mereka tentang makanan itu.

Aku juga masih ingat ada juga sebatang kretek yang sudah berjamur dan nampak tak sedap lagi jika dihisap dalam pandanganku sekarang, yang diletakkan oleh Nyai di sebelah secangkir kopi panas dan sepiring pisang goreng yang masih berminyak. Lalu, dengan suara penuh keyakinan, Nyai berkata kepadaku yang sebelumnya telah mengamatinya dari balik daun pintu yang terbuka sedikit.”Lihat saja nanti, Mbah dan leluhurmu akan pulang dan meminum kopinya” Aku tak berani menimpali perkataan Nyai, karena itu mungkin akan mengecewakan dan menyakiti hatinya. Aku hanya diam, membiarkan Nyai menyiapkan piring yang terbuat dari seng yang telah berisi tongkol jagung yang telah menjadi bara. Sebagai anak sekolahan yang sudah lancar ngaji, tentu aku punya alasan yang lebih masuk akal untuk menimpali Nyai ketika berkata jika kopi dan pisang goreng itu memang dimakan oleh Mbah dan sesepuh yang sudah meninggal. Tapi aku lebih memilih diam karena aku punya rencana lain tentang sesajen itu.

Aku teringat perkataan Nyai jika pisang goreng akan dimakan dan diminum oleh Mbah dan sesepuhku yang sudah lama meninggal. Aku kemudian berpikir, apa benar kopi itu benar-benar buat mereka? Bukannya mereka tak bisa lagi menikmati pahit manisnya kopi? Lidah mereka sudah bercampur dengan tanah. Aku lihat sendiri bagaimana dulu tubuh Mbah yang jangkung itu dibalut dengan lawon lalu ditanam di tanah kuburan. Ah, kenapa juga aku memikirkan Mbah. Dia tentu sudah bahagia di sana. Tak mungkin. Tak mungkin. Aku mencari pembenaran untuk diriku

Malam hari telah tiba, waktunya untuk pergi. Memang kebiasaan anak-anak di kampungku semenjak Mas Sami’an pulang dari pesantren untuk mengaji ke gubuk kecil yang kami sebut sebagai langgar. Aku harus menyiapkan obor terlebih dahulu sebelum berangkat. Jalanan gelap menantiku bersama kawan-kawan main tadi siang. Tapi tak ada prasangka buruk, karena malam itu akan diadakan istighosah malam Jum’at legi. Para lelembut pasti sedang meringkuk di bawah rimbunan pohon Juwet dan Mengkudu yang membuat jalanan menjadi tambah seram.

Petir menyambar Pohon Mengkudu sampai terbelah. Angin bertiup kencang, menundukkan batang bambu yang tinggi menjulang. Para penduduk lereng Gunung Tengu tak punya nyali sedikitpun untuk keluar, sekadar memeriksa mengapa langit begitu murka justru di hari yang seharusnya menjadi perayaan kemenangan cahaya atas kegelapan.

Ki Tulam bersama Sayyid Ja’far segera menyuruh anak-anak masuk ke dalam rumah. Meskipun mereka sendiri pesimis gubuk bambu itu mampu bertahan diterjang angin badai yang tiba-tiba.

“Apakah ini amukan Si Mirun?,” kata Ki Tulam kepada Sayyid.

“Mungkin Mirun tak terima majikannya kita habisi,” dua pendekar itu tampak bersiaga di halaman depan. Mereka memasang kuda-kuda. Bukan tidak mungkin sewaktu-waktu Mirun akan menyerang dari arah yang tak diduga-duga.

Sementara itu, keluarga Ki Tulam meringkuk di pojokan sebuah kamar. Anak-anak saling berpelukan, sedangkan istri Ki Tulam, Nyai Delima tak tenang membaca mantra-mantra. Tiba-tiba Ki Tulam muncul di balik selambu pintu kamar. “Sebentar lagi bawa anak-anak menuju arah pantai. Di sana kalian akan aman dari amukan si Mirun,” perintah Ki Tulam kepada istrinya. Sebentar kemudian terdengar suara teriakan Sayyid dari halaman depan. Ki Tulam pun bergegas keluar. “Astaga. Sayyid…”Ki Tulam mencoba mendekat. Tubuh itu sudah tak berkepala. Sayyid tewas persis seperti kematian majikan Mirun, Ki Patmo.

Menyadari salah satu pendekar pesantren itu tewas,  Ki Tulam semakin bersiaga. Ia bergerak memutari mayat Sayyid sambil terus memasang kuda-kuda terbaiknya. Menghadapi binatang bengis itu tak cukup dengan gerakan-gerakan silat saja. Ia juga harus memfokuskan energi batinnya. Terang saja. Serangan awal itu dapat dirasakannya.Pertarungan terjadi seperti pertunjukan langit yang sedang dilanda badai. Gerakan-gerakan secepat kilat. Perpindahan posisi yang sangat kuat. Membuat siapapun tak bisa menebak siapa yang sedang terpojok dalam pertarungan.

(baca juga: Petik lidah)

Beberapa saat kemudian istri ki Tulam bisa bernapas lega. Gemuruh perlahan mulai hilang; saat yang tepat untuk melihat keadaan di luar. Bathara Kala telah usai memporak-porandakan dusun di lereng gunung Tengu. Ki Tulam bergegas keluar rumah. Beberapa genangan air membuat Ki Tulam sedikit memilih jalan untuk lewat dengan berjingkat-jingkat seperti anak kambing yang sedang bermain. Ia dan beberapa orang menyaksikan bagaimana badai tadi menghancurkan rumah-rumah. Orang-orang merasa aneh karena badai tersebut memang baru pertama kali terjadi di dusun mereka. Sejak Bujuk Benira memimpin dusun itu tak pernah terdengar ada cerita bahwa ada badai dahsyat yang melanda. Memang sekarang pejabat yang memimpin sekarang bukanlah dari garis keturunan sang Bujuk. Sehingga ramai orang yang meragukannya. Orang-orang lebih percaya kepada keturunan Bujuk Benira yang katanya mampu membuka lahan dusun itu dengan mengusir penghuni-penghuni sebelumnya. Makamnya yang panjang menunjukkan bagaimana kira-kira sosoknya dahulu.

Pekarangan rumah Ki Tulam dipenuhi oleh dahan-dahan dan daun yang berhamburan dihempas angin. Istri Ki Tulam akhirnya memberanikan diri untuk melihat keluar. Anak-anaknya kini tak lagi menangis. Mereka gembira karena melihat daun-daun dan botong pohon yang tumbang sebagai tempat bermain baru.

Ki Tulam tiba-tiba dikagetkan oleh suara jeritan histeris. Beberapa perempuan menangis melihat ada sepasang kaki yang tertimbun oleh batang raksasa. Ki Tulam berhenti dari perjalanannya menyusuri dusun yang baru saja dilanda angin ribut tersebut. Ia seperti baru saja terkena hembusan angin yang membekukannya. Dalam Ia berpikir akhirnya Ia teringat sesuatu yang sangat penting; Pi’i anaknya.

“Pi’i. Mana Pi’i?” Teriak Ki Tulam.

Sambil berlari di tengah lautan daun dan ranting-ranting Ia meneriaki setiap orang yang dijumpainya. Tak terasa sungai suci mengalir dari kedua bola mata tuanya mengalir melewati pipinya yang telah keltop dan penuh kerutan. Mata tuanya bertambah kabur karena air matanya kini menggumpal tak mau mengalir. Dengan langkah tuanya Ia segera tiba di rumah. Istrinya menyambutnya dengan tangis dan rengekan. Anak-anak yang tadinya tertawa riang kini juga ikutan menangis memeluk kaki ibu dan bapak mereka.

“Pak. Pi’i tadi kau suruh untuk mencari rumput. Ia belum pulang Pak.” Diiringi tangis Nyai Siati mengadu kapada suaminya.

“Sebentar Bu. Kau tunggu di sini. Jaga anak-anak.” Jawab Ki Tulam sambil mengelus Nisa anak bungsunya yang masih belia. Ki Tulam mulai mendapatkan kembali ketenangannya. Ia tak lagi menangis karena Ia tahu keberadaan anak sulungnya; meskipun Ia belum tahu secara pasti keadaannya.

Dengan langkah cepat Ia meninggalkan istri dan kedua anak perempuannya. Ia tak lagi mempedulikan teriakan dan tangis istrinya. Ia mempercepat langkah membelakangi dusun Rejo yang luluh lantah seperti habis diserang pasukan.

Setelah melewati beberapa rumah terakhir, resmilah kakinya melangkah keluar dari dusun Rejo. Beberapa langkah Ia keluar dari dusun tiba-tiba tangisnya pecah. Terbayang dalam benaknya Pi’i yang malang sedang berusaha memindahkan sebatang pohon yang menimpanya kakinya. Tangan mungilnya tak punya cukup tenaga untuk mengangkat batang kayu itu. Jangankan mengangkat, untuk menggerakkannya pun Pi’i tak kan mampu. Terbayang di benak Ki Tulam kaki anaknya yang pendek itu terjepit dan Pi’i menangis kesakitan sambil memanggil-manggil nama bapaknya. Lebih jauh Ia membayangkan bagaimana jadinya kaki itu ditimpa oleh benda yang seribu kali lebih berat dari berat tubuh anaknya.

Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya Ia tak mau terjebak dalam ilusi pikirannya sendiri. Ia terus meyakinkan dirinya bahwa anaknya pasti selamat. Ia ingat betul anak sulungnya adalah anak yang cerdas. Ia pasti menemukan tempat perlindungan atau setidaknya Ia pasti memikirkan cara untuk selamat dari bencana itu.  Saat diadakan kerapan sapi di desa sebelah Pi’i lah satu-satunya anak yang selamat ketika sapi milik haji Thoriq hilang kendali. Beberapa anak kecil yang menonton saat itu tewas seketika terinjak kaki sapi yang kekar atau tergilas keleles sampai patah tulang-tulang muda mereka. Saat itu Ki Tulam mengira bahwa Pi’i pun telah mati. Karena Ia melihat sendiri bagaimana sapi-sapi itu melompat ke kerumunan penonton yang memenuhi sisi kiri lapangan pacu. Tapi ajaibnya Pi’i selamat dari malapetaka itu. Ia tertindih tubuh temannya sendiri ketika kendaraan balap itu menerjangnya. Tak sedikitpun luka pada dirinya. Tapi malang, keselamatannya harus dibayar dengan nyawa temannya sendiri. Saat itu pula Ki Tulam merasa sangat bersyukur dan berjanji akan menyayangi anak sulungnya itu betapapun nakalnya.

Hujan mengiringi perjalanan Ki Tulam. Setelah melewati turunan sungai, akhirnya Ia sampai di persawahan desa Drandang. Ki Tulam tahu jalan tercepat untuk menuju ke areal itu. Ia memang sering melewati jalan rahasia itu ketika dikejar-kejar oleh warga desa sebelah yang geram karena hewan ternaknya sering hilang.

“Pi’i. Pi’i. Di mana kau, Nak?” teriak Ki Tulam di tengah tanaman padi yang telah rebah seluruhnya. Angin di sana masih berhembus dengan kencang. Pertanda bahwa badai baru saja melewati tempat itu.

“Pi’i pasti berlindung di suatu tempat. Angin baru saja lewat sini. Pi’i pasti sempat melarikan diri. Tapi di mana Ia sekarang?” Teriak Ki Tulam dalam hati.

Ki Tulam menyisir persawahan itu. Tak seorangpun ia temukan. Ia hanya seorang diri diri persawahan yang telah berubah menjadi lapangan datar itu. Tiba-tiba Ia melihat benda putih yang bergerak cepat masuk ke arah hutan di seberang persawahan. Benda itu sangat cepat sekali. Ki Tulam tidak dapat menafsirkan dengan jelas benda itu dengan mata tuanya. Selain itu mendung masih pekat di langit senja kaki gunung Tengu. Dengan harapan bahwa benda itu adalah Pi’i atau setidaknya itu adalah seseorang yang selamat, Ki Tulam berlari ke arah hutan itu. Dengan nafas terengah-engah Ki Tulam leluasa berlari di atas hamparan tanaman padi yang telah roboh itu.

Awan pekat hitam di belakangnya membuat Ki Tulam mempercepat langkahnya. Badai nampaknya akan kembali datang. Sementara itu Ia telah kehilangan jejak dari seseorang yang diduga anaknya. Beberapa kali kilat menyambar membuat Ki Tulam sesekali harus tiarap.

Kembali dalam perburuannya, Ki Tulam sangat leluasa melompat di atas batang pohon tua yang sudah mati kemudian menyelinap di antara dua batu besar. Sungguh Ia dibawa kembali pada masa jayanya sebagai Kerok, begal tersadis yang ditakuti oleh setiap orang yang melintas di kaki gunung Tengu. Setidaknya sebelum tentara mendirikan markas di pinggir jalan besar lalu rutin berpatroli setiap malam.

Tak jauh di depannya Ia melihat sesuatu juga bergerak cepat. Dengan semangat begal barunya, Ia mempercepat larinya, memfokuskan kedua matanya yang kini seolah memancarkan sinar biru. Penglihatannya tak terganggu meskipun awan hitam talah berhasil mengepung hutan dan menghalangi cahaya yang masuk. Sebuah parit yang membentang berhasil Ia lompati. Namun sejurus kemudian Ia merasa ada sesuatu yang aneh. Ya. Ia semakin mengenali tempat itu. Kecurigaan membuatnya mengurangi kecepatan dalam perburuannya.

Kedua tangan yang semula membantunya dalam berlari kini tak lagi mencengkram tanah. Ki Tulam kembali menjadi tua renta dalam langkah dan nafas yang megap-megap. Ia seolah sudah tahu Ia tak harus berlari lagi. Diikutinya sesuatu berwarna putih yang sudah menunggu di depannya. Di balik sebuah batu besar dan rimbunan pohon bambu, didapatinya Pi’i sedang pulas tertidur dalam rangkulan. Rangkulan? Ya. Pi’i tidur dalam buaian binatang berbulu, berkaki empat, dan berekor. Ia dapat melihatnya dengan jelas setelah matanya kembali bersinar biru. Sesuatu yang dikejar lalu menuntunnya kini juga dapat dilihatnya dengan jelas. Macan yang membuai anaknya bangkit lalu digantikan yang satunya. Ki Tulam mengikutinya ke sisi lain dari batu besar dan pohon bambu. Di sanalah Ia meletakkan golok saktinya ketika mendengar jeritan itu.

“Tolong jangan apa-apakan saya”

Ia masih ingat bagaimana Ia menggauli sendirian gadis 16 tahun yang dibawa kabur olehnya dari rombongan pedagang asal India yang melintas di daerahnya. Sementara anak buahnya bertarung ketika mendapat perlawanan dari pengawal-pengawal saudagar India tersebut.

(baca juga: Sabda Lemari Pengucap)

Ia juga masih ingat bagaimana akhirnya Ia kembali lagi untuk membawa Siati pulang. Ia tak tega jika Siati dimakan binatang buas. Setelah selesai merapikan baju Siati, Ia bawa Siati pulang. Awalnya Ia hendak mengembalikan Siati ke rombongannya. Tapi rombongan itu telah hancur seperti habis diserang binatang. Ia juga menemukan beberapa anak buahnya yang sekarat. Ia menatap gadis muda yang sudah pingsan dalam gendongannya. Lalu Ia berlari ke arah hutan ketika Ia mendengar suara warga yang ramai sambil membawa obor, golok, dan cadek. Secepat kilat Tulam muda berlari membawa mangsanya yang sudah lemas menerobos rimbunnya hutan lereng gunung Tengu.

Penulis merupakan siswa SMK Nuris Jember. 

Related Post