Ta’addud al-Jumu’ah

Soal:

Sudah menjadi kenyataan luas bahwa saat ini banyak berdiri masjid-masjid megah dan mentereng. Terutama di kota-kota besar. Sebetulnya, tujuan awalnya baik, yaitu demi syi’ar Islam. Akan tetapi, belakangan muncul persoalan yang cukup meresahkan masyarakat. Yakni adanya shalat Jumat yang didirikan lebih dari satu. Inilah yang disebut dengan ta’addud al-Jumu’ah. Setiap masjid mendirikan shalat Jumat secara bersamaan, meskipun jarak satu masjid dengan yang lain saling berdekatan. Motifnya macam-macam. Ada yang jarena jumlah jama’ah yang membludak, lalu lintas yang ramai atau bahkan karena adanya perselisihan antar kelompok, partai, ataupun etnis. Bolehkah ta’addud al-Jumu’ah tersebut?

Jawab:

Menurut golongan Syafi’iyyah shalat Jumat hanya boleh dilakukan dalam satu masjid. Dalah satu desa, tidak boleh didirikan lebih dari satu jumatan. Sebab, sejak masa Nabi Muhammad Saw, al-Khulafa’ al-Rasyidun sampai masa tabi’in tidak pernah didirikan shalat Jumat lebih dari satu tempat dalam satu desa. Kalaupun sudah banyak berdiri masjid-masjid. Tapi masjid-masjid tersebut hanya digunakan untuk shalat lima waktu secara berjama’ah. Disebutkan dalam hadits:

عَنْ عَائِشَةَ زَوْجٍ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ كَانَ النَّاسُ يَنْتَابُوْنَ يَوْمَ الْجُمْعَةِ مِنْ مَنَازِلِهِمْ وِالْعَوَالِيِّ.(صحيح البخارى,رقم 851)

“Diriwayatkan dari Siti Aisyah RA istri Nabi Muhammad Saw.  Ia berkata, “Pada hari Jumat orang-orang berduyun-duyun (pergi ke masjid) dari rumah mereka dam al-Awali (yaitu tempat yang ada di timur kota Madinah jaraknya kurang lebih 4 mil).”  (Shahih al-Bukhari, [851])

(baca juga: Hujjah Aswaja: Nikah Mut’ah (Kawin Kontrak))

Hadits inilah yang dijadikan dasar oleh Imam Syafi’i RA tentang tidak bolehnya mendirikan lebih dari satu jumatan.

 وَلاَ يَجْمَعُ فِي مِصْر وَاِنْ عَظُمَ أَهْلُهُمْ وَكَثُرَ عَامِلُهُ وَمَسَاجِدُهُ إِلاَّ فِيْ مَوْضِعَ الْمَسْجِدِ الأَعْظَمْ. وَاِنْ كَانَتْ لَهُمْ مَسَاجِدُ عِظَامٌ لَمْ يُجْمَعُ فِيْهَا إِلأَ فِيْ وَاحَدٍ. وَأَيُّهُمَا يُجْمَعُ فِيْهِ أَوَّلاً بَعْدَ الزَّوَالِ فَهِيَ الْجُمْعَةُ. وَإِنْ جُمِعَ فِيْ اُخَرَ سِوَاهُ بَعْدَهُ لَمْ يُعْتَدَّ الَّذِيْ جَمَعُوْا بَعْدَهُ بِالْجُمْعَةِ وَ كَانَ عَلَيْهِ أَنْ يُعِدُوْا ظُهْرًا أَرْبَعًا.(الأم,ج ا ص 192)

“Tidak boleh mendirikan shalat Jumat dalam satu tempat (desa atau kota) meskipun penduduk dan pegawainya banyak serta masjidnya besar-besar, kecuali dalam satu masjid yang paling besar (masjid jami’). Kalau mereka memiliki beberapa masjid yang besar, maka di dalam masjid-masjid tersebut tidak boleh didirikan shalat Jumat kecuali hanya pada satu masjid saja. Dan (jika ada lebih dari satu masjid yang mendirikan shalat Jumat, maka) shalat Jumat yang lebih dulu dilakukan setelah  tergelincirnya matahari itulah shalat Jumat (yang sah). Kalau ada masjid yang di dalamnya didirikan shalat Jumat juga setelah itu, maka tidak dianggap shalat Jumat. Dan mereka wajib mengerjakan shalat zhuhur empar raka’at.” (Al-Umm, juz I, hal 192).

Kenapa mesti dilakukan dalam satu masjid? Tujuannya tak lain untuk menampakkan syiar Islam dalam persatuan dan kesatuan umat Islam. Dengan dilakukan dalam satu masjid, maka tujuan tersebut lebih tercapai. Namun, itu bukan sesuatu yang mutlak. Larangan tersebut akan hilang manakala ada kemaslahatan yang menuntutnya. Seperti sulit berkumpul, masjidnya terlalu kecil sehingga tidak memuat banyak jamaah, berjauhan ataupun karena ada perselisihan yang sulit untuk disatukan. Imam Ramli mengatakan.

الثَّالِثُ مِنَ الشُّرُوْطِ أَنْ لاَ يُسَابِقَهَا وَلاَيُقَارِنَهَا جُمُعَةٌ فِيْ بَلْدَتِهَا وَإِنْ كَانَتْ عَظِيْمَةً وَكَثُرَتْ مَسَاجِدُهَا لأَنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْخُلَّقَاءَ مِنْ بَعْدِهِ لَمْ يُقِيْمُوْا سِوَى جُمُعَةٍ وَاحِدَةٍ وِلِأَنَّ  الإِقْتِصَارَ عَلَى وَاحَدَةٍ أَقْضَى إِلَى الْمَقْصُوْدِ مِنْ إِظْهَارِ شِعَارِ الإِجْتِمَاعِ  وَاتَّفَاقِ الْكَلِمَةِ إِلأَّ إِذَا كَبُرَ أَيْ البَلَدُ وَعَسُرَإجْتِمَاعُهُمْ يَقِيْنًا عَادَةً فِيْ مَكَانِ مَسْجِدٍ أَوْ غَيْرِهِ فَيَجُوْزُ حِيْنَئِذٍ تَعَدُّدُهَا بِحَسَبِ الْحَاجَةِ لأَنَّ الشَّفِعِيُّ دَخَلَ بَغْدَادً وِ أَهْلُهَا يُقِيْمُوْنَ بِهَا الْجُمْعَتَيْنِ وَقِيْلَ ثَلَاثًا وَلَمْ يُنْكِرْ عَلَيْهِمْزفَحَمِلَهُ الأَكْثَرُوْنِ عَلَى عُسْرِ الإِجْتِمَاع. (نهاية المحتاجو ج 2 ص 289).

“Syarat yang ketiga adalah tidak didahului atau bersamaan dengan Jumat lain dalam satu desa atau kota, meskipun desa atau kota itu luas dan punya banyak masjid. Karena Nabi Saw dan sahabat Nabi tidak pernah melakukannya kecuali satu Jumat (dalam satu tempat). Dan karena mencukupkan pada satu shalat Jumat lebih mengantarkan pada tujuan didirikannya shalat Jumat,  yaitu menampakkan syiar berkumpul dan bersatunya umat Islam. Kecuali, kalau desa atau kota itu sangat luas, dan biasanya penduduknya sulit untuk berkumpul dalam satu masjid. Maka, ketika itulah boleh ta’addul al-Jumu’ah (mendirikan shalat Jumat lebih dari satu) sesuai kebutuhan. Karena Imam Syafi’i pernah datang ke kota Baghdad sementara penduduknya mendirikan dua Jumatan, ada yang mengatakan tiga Jumatan. Dan beliau (diam saja) tidak melarangnya. (Berdasarkan inilah) maka mayoritas ulama menafsirkan hal itu kepada sulitnya berkumpulnya di satu tempat.” (Nihayah al-Muhtaj, juz II, hal 289).

(baca juga: Al- Barzanji Pengarang Shalawat al-Barzanji)

Dapat disimpulkan bahwa selama masih memungkinkan,maka shalat Jumat harus didirikan dalam satu masjid. Tidak boleh lebih, kecuali ada hal-hal lain yang menghendakinya.

Related Post