Tiga Tokoh Nahdlatul Ulama yang Membumi di Dunia Sastra Indonesia

Penulis            : Muhammad Korib Hamdani

Istilah sastra sudah tak asing lagi didengar oleh telinga masyarakat. Sastra kian dekat dengan masyarakat seiring dengan hadirnya beberapa figur yang sering berinteraksi dengan masyarakat. Figur itu tidak lain adalah ulama atau kiai yang selain mengasuh pondok pesantren, atau berceramah, juga menulis sastra. Hal ini membuat sastra kian bertambah cita rasanya karena ditulis oleh seorang yang ahli di bidang agama.

Dalam pengertiannya, sastra adalah sebuah hasil kebudayaan di mana seseorang menafsirkan lalu merepresentasikannya dalam bentuk karya. Dalam hal ini, kiai atau ulama menulis sebuah karya sastra dengan melihat persoalan yang terjadi di masyarakat, lalu merenungkannya, hingga jadilah sebuah karya sastra. Dalam hal ini, para ulama menulis karyanya tersebut dengan mengikuti gaya modern yaitu dengan menulisnya menjadi sebuah buku, atau sekadar mengirimnya ke media massa.

(baca juga: Al Khawarizmi, Cendikiawan Muslim Hebat Berpengaruh Global)

Dari beberapa tokoh ulama yang berkecimpung di dunia sastra, ada beberapa nama dari ulama atau tokohb Nahdlatul Ulama (NU) yang cukup terkenal. Tak tanggung-tanggung, beberapa karya mereka bahkan dipuji sebagai karya terbaik dalam kesusastraan Indonesia. Selain itu, sumbangsih mereka juga dinilai membawa warna dan rasa baru kesusatraan Indonesia. Berikut adalah beberapa tokoh NU yang berhasil kami rangkum untuk pembaca yang budiman.

Ahmad Tohari

Novelis, cerpenis, dan esais ini lahir di Tinggarjaya, Jatilawang, Banyumas, Jawa Tengah, 13 Juni 1948. Sastrawan yang namanya membumbung tinggi lewat novel Ronggeng Dukuh Paruk ini, ternyata berasal dari kalangan santri. Trilogi dukuh paruk yang pada 2011 dikonversi menjadi film ini menjadikan Ahamd Tohari menjadi salah satu tokoh dari kalangan santri yang berjejer di barisan sastrawan Indonesia.

Ksiah menarik dari riwayat kepenulisan Ahmad Tohari adalah ketika karya pertama Ahmad Tohari dimuat di media massa. Saat itu, K.H. Abdur Rahman (Gus Dur) memanggilnya. Saat itu ia mengira bahwa Gus Dur akan memuji karyanya. Akan tetapi, justru sebaliknya. Gus Dur mengkritik tajam karyanya. Hal itu kemudian memotivasi Ahmad Tohari, lalu lahirlah karya agungnya, yaitu trilogi dukuh paruk.

Ahmad tohari lahir dari keluarga kalangan santri dan pendidikan agamanya pun dimulai dari langgar dekat rumahnya. Setelah menyelesaikan pendidikan formal tingkat dasar, menengah dan atas, ia sempat mengecap bangku kuliah Fakultas Ilmu Kedokteran Ibnu Khaldun, Jakarta (1967-1970), Fakultas Ekonomi Universitas Sudirman, Purwokerto (1974-1975), dan Fakultas Sosial Politik Universitas Sudirman (1975-1976),tetapi ahmad tohari ini tidak menuntaskan semuanya itu.

K.H. D. Zawawi Imron

D. Zawawi Imron di lahirkan di desa Batang-batang 1 Januari 1945 tepatnya di pulau madura dan mulai membumi pada ajang sastra indonesia sejak temu penyair 10 kota percaturan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta pada 1982. Salah satu karya yang membesarkan namanya adalah puisi berjudul “Ibu” yang dinilai sebagai satu-satunya karya yang berhasil menceritakan tentang Ibu. Puisi ini juga pernah dimusikalisasi sehingga menambah kenikmatan dalam memaknai puisi tersebut. Saat ini, D. Zawawi Imron menjadi anggota dewan pengasuh pesantren Ilmu Giri (Yogyakarta). D. Zawawi banyak berceramah tentang Agama dan kadang membacakan sajaknya di depan para hadirin. Hingga kini, Zawawi Imron masih setia tinggal di Batang-batang, Madura, tanah kelahiran sekaligus sumber inspirasi bagi puisi-puisinya.

(baca juga: KH. Yahya Cholil Syaquf: NU dan Muhammadiyah adalah Representasi Islam Perdamaian Nusantara menuju Kemajuan di Dunia)

Emha Ainun Nadjib

Emha Ainun Nadjib atau yang biasa dipanggil Cak Nun adalah salah satu budayawan nasional yang multitalenta. Ia dikenal sebagai seorang yang memiliki ilmu yang dalam dan luas. Pengetahuan yang dimilikinya seolah menyeluruh di berbagai bidang dan kajian. Tak heran, saat ini, Cak Nun digadang-gadang memiliki banyak pengikut dari seluruh Indonesia.

Di beberapa kota, baik di Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur, Cak Nun bersama grup musik gamelan Kiai Kanjeng rutin mengadakan dialog dan diskusi dengan masyarakat yang kemudian dikenal dengan masyarakat maiyah. Selain mendiskusikan persoalan kehidupan masyarakat, terkadang isu yang dibahas juga menyangkut polemik yang terjadi di Indonesia.

Namun, siapa yang menyangka jika sebelumnya Cak Nun adalah seorang pengarang dan penyair yang karyanya banyak dikenal oleh masyarakat. Beberapa karya telah dihasilkan oleh Cak Nun dan sampai saat ini masih ada karya yang diterbitkan.

Cerita menarik dari riwayat kepenulisan Cak Nun adalah guru menulisnya yaitu, Umbu Landu Paranggi. Seorang legenda dalam dunia sastra Indonesia yang konon lebih suka menenggelamkan dirinya dalam keheningan dan kesunyian, ketimbang tampil sebagai seorang sastrawan.

Melalui Persada Studi Klub (PSK), Umbu mengasah kemampuan menulis anak muda pada waktu itu, termasuk di antaranya adalah Cak Nun. Dikisahkan bahwa Cak Nun sangat gandrung dan setia pada PSK sampai-sampai ia sering membolos sekolah. Dari PSK, Cak Nun memperoleh banyak bekal dalam menulis hingga terlahirlah banyak karya Cak Nun.

Beberapa karya Cak Nun antara lain; “M” Frustasi (1976), Sajak-Sajak Sepanjang Jalan (1978), Sajak-Sajak Cinta (1978), Nyanyian Gelandangan (1982), 99 Untuk Tuhanku (1983), Suluk Pesisiran (1989), Lautan Jilbab (1989), Seribu Masjid Satu Jumlahnya ( 1990), Cahaya Maha Cahaya (1991), Sesobek Buku Harian Indonesia (1993), Abacadabra (1994), Syair-syair Asmaul Husna (1994).

K.H. Ahmad Mustofa Bisri

Gus Mus, sapaan akrab pengasuh Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin, Rembang, Jawa Tengah ini seolah menjadi ikon NU dalam dunia sastra Indonesia. Namanya membumbung tinggi setelah beberapa karyanya dipublikasikan di media massa dan menambah ragam baru dalam membaca karya sastra. Gus Mus menyebut sajak-sajaknya sebagai sajak balsem, yang dapat menghilangkan pening sesaat untuk kemudian kambuh lagi.

Karya-karya Gus Mus banyak mengisahkan hal yang sederhana, namun dengan pemaknaan yang mendalam. Bahasa yang digunakan tidak terlalu rumit, dalam arti dapat dipahami dengan mudah oleh orang yang awam sekalipun. Akan tetapi, pembaca karya-karya Gus Mus tidak akan pulang dengan pikiran kosong tanpa makna dan hikmah.

Salah satu karya Gus Mus yang sangat fenomenal adalah cerpennya yang berjudul “Gus Jakfar”. Cerpen itu digadang-gadang pernah membuat salah satu petinggi Keraton Yogyakarta menghubungi Gus Mus, untuk dipertemukan dengan salah satu tokoh yang ada dalam cerpen tersebut. Sebegitu berpengaruhnya karya Gus Mus sampai orang-orang mengira bahwa tokoh Mbah Jogo yang ada di cerpen tersebut benar-benar ada di dunia nyata.

Beberapa karya Gus Mus dalam bidang kajian Islam dan fiksi antara lain; Dasar-dasar Islam (terjemahan, Penerbit Abdillah Putra Kendal, 1401 H), Ensklopedi Ijma’ (terjemahan bersama KH. M.A. Sahal Mahfudh, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1987), Nyamuk-Nyamuk Perkasa dan Awas, Manusia (gubahan cerita anak-anak, Gaya Favorit Press Jakarta, 1979), Kimiya-us Sa’aadah (terjemahan bahasa Jawa, Assegaf Surabaya), Syair Asmaul Husna (bahasa Jawa, Penerbit Al-Huda Temanggung), Ohoi, Kumpulan Puisi Balsem (Pustaka Firdaus, Jakarta, 1991,1994), Tadarus, Antalogi Puisi (Prima Pustaka Yogya, 1993), Mutiara-mutiara Benjol (Lembaga Studi Filsafat Islam Yogya, 1994), Rubaiyat Angin dan Rumput (Majalah Humor dan PT. Matra Media, Cetakan II, Jakarta, 1995), Pahlawan dan Tikus (kumpulan pusisi, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1996).

Penulis adalah siswa kelas X PK B MA Unggulan Nuris

Related Post