Sejarah Kamera Menurut Kacamata Ulama

Penulis: Deli Anisa Virca*

Di era revolusi industri saat ini, siapa yang tidak kenal dengan kamera? Mulai dari selfie, hobi hingga menjadi sebuah profesi. Kamera menjadi salah satu alat elektronik yang memiliki banyak peminat. Ide awal kamera dibuat adalah untuk memepelajari tentang optik. Sebenarnya, ide membuat kamera sudah ada sejak tahun 400 SM. Namun, kamera tidak berhasil dibuat hanya berupa teori saja.

Referensi ini ada di dalam teks-teks China dan tulisan Aristoteles. Kamera pertama kali dibuat pada abad ke 10 oleh cendekiawan muslim bernama Abu Ali Hasan Al-Haytam atau Ibnu Haytam yang di kenal dengan julukan Alhazen di dunia barat.

(Baca juga: Emiilia Novita Sari Tekuni Desain Produk di ITS Surabaya dengan para beasiswa pacu adrenalin kreativitas absolit)

Secara umum Alhazen merupakan orang yang pertama kali mempelajari cara kerja mata. Kamera pertama Alhazen adalah Obscura atau kamera lubang jarum. Benda ini menunjukkan bagaimana cahaya bisa digunakan untuk memproyeksikan gambar pada permukaan datar.

Pengarang kitab Al-Manazir “book of Optics” ini lahir di Bashrah yang sekarang menjadi Irak pada tahun 354H bersamaan dengan 965M dan meninggal pada tahun 1039M di kairo, Mesir. Beliau menguasai pemikiran-pemikiran, filsuf dan ilmuwan Yunani seperti Aristoteles, Plato, Ptotelmy, Archimedes, Galen, dan lain sebagainya.

Sehingga beliau layak disebut filsuf, matematikawan, dan astronom. Diperkirakan lebih dari 200 buku tentang berbagai aspek alam yang telah beliau tulis. Namun ilmu optiklah yang membuat beliau terkenal. Tak heran jika beliau disebut bapak Optik. Namun seiring berkembangnya zaman, kamera yang awalnyahanya digunakan untuk mempelajari tentang Optik beralih fungsi menjadi alat pengabadi  moment.

Dalam kitab Al-Manazir beliau menjelaskan bagaimana cara kerja mata manusia dalam menangkap dan menerima gambar secara visual secara detail. Dalam menulis kitab ini beliau banyak terpengaruh dari Aristoteles, khususnya visi yang melibatkan penerimaan gambar eksternal. Aristoteles sendiri menunjukkan bahawa masuk akal untuk menganggap bahwa mata bisa memancarkan sinar yang mampu menjangkau semua bintang-bintang  jauh. Tapi Alhazen tidak berhenti dengan penjelasan Aristoteles tersebut.

(Baca juga: Budaya Literasi Pembangun Karakter Pemuda Indonesia)

Beliau juga harus menjelaskan mengapa gunung bisa muat dalam bola mata manusia yang kecil. Dalam hal itu Eucliddan Ptolemy telah mendeskripsi Geometris-Matematis rumit tentang bagaimana sinar dari mata bisa membuat kerucut visual yang mampu mencakup gambar dari objek yang dirasakan mata.

Tapi Alhazen melihat bagaimana Matematika yang bisa diterapkan untuk “sinar imaginer” melewati ke mata dari berbagai titik pada objek yang dirasakan. Dengan kata lain, Geometri yang extramission pendukung telah diterapkan pada sinar yang dipancarkan seharusnya merupakan penerimaan cahaya berbalik untuk menggambarkan mekanisme di balik sinar yang diterima cahaya.

Menggabungkan pemahaman ini dengan pengetahuan (melalui galen) fisiologi mata, Alhazen menjelaskan proses visual (mencatat pentingnya lensa) dan bagaimana mengirim gambar ke otak.

Dengan hadirnya para penemu-penemu zaman dahulu, saat ini kita bisa dengan mudah mempelajari apa yang telah di rumuskan oleh mereka. Sebagai generasi penerus bangsa sudah sepantasnya kita melestarikan dan menjaga agar ilmu tersebut bisa terus mengalir dan memberi banyak manfaat untuk umat manusia.

Penulis merupakan siswa kelas XI IPA SMA Nuris Jember yang aktif di ekstrakurikuler jurnalistik

Related Post