Menjawab Kegalauan Netizen, Mudik versus Pulang Kampung?

Penulis: Achmad Faizal*

Menonton tayangan telivisi semalam [22/4/2020], program Mata Najwa, antara Najwa Shihab dan Presiden Joko Widodo, tampak biasa saja. Ya, seperti biasanya, acara yang dipandu sosok jurnalis senior itu memang selalu biasa bisa menggugah dengan opini kritis.

Namun, ternyata dari berbagai dialog yang terlontar, ada bagian yang memantik “perdebatan”. Meski sebenarnya bukan yang hal substantif untuk dibahas, sebab topik talk show semalam tersebut lebih terfokus soal kebijakan pemerintah menghadapi pandemi covid-19 terkini dengan tema “Jokowi Diuji Pandemi”.

Bagian dialog yang menarik antara mbak Nana (sapaan akrab Najwa Shihab) dan Pak Jokowi adalah tentang pengertian mudik dan pulang kampung. Ketika Presiden ketujuh Republik Indonesia itu menyatakan bahwa mudik berbeda dengan pulang kampung, sontak menjadi bahan “candaan” netizen.

Bahkan ada sebagian warganet yang seolah menyebutkan keraguan atas intelektualitas Sang Presiden yang konon lulusan kampus beken sekelas Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Terutama, bagian kelompok yang “barangkali” gagal move on terhadap hasil Pilpres (Pemilihan Presiden) pada tahun 2019 lalu, dan serta merta menganggap Pak Jokowi membingungkan juga merusak tatanan bahasa Indonesia atas pengertian dua kosa kata tersebut. Sadis bukan?

(baca juga: Aisyah Istri Rasulullah, Korban Lambe Turah di Zamannya)

Sekadar sedikit mengutip dialog Pak Jokowi dan Najwa Shihab:

Najwa Shihab: Karena data dari Kemenhub, hampir 1 juta orang curi start mudik, sudah 900ribu orang yang sudah mudik dan tersebar ke berbagai daerah. Apakah ini berarti memang keputusan melarang yang akan dikeluarkan melihat situasi, tetapi faktanya sudah terjadi penyebaran orang di daerah Bapak?

Presiden Jokowi: Kalau itu bukan mudik, itu namanya pulang kampung. Memang bekerja di Jabodetabek, karena sudah tidak ada pekerjaan di sini mereka pulang karena anak istrinya ada di kampung.

Najwa Shihab: Apa bedanya Bapak antara mudik dan pulang kampung, kan sama saja?

Presiden Jokowi: Kalau mudik itu di hari lebarannya, beda. Untuk merayakan Idul Fitri. Kalau yang pulang kampung itu bekerja di Jakarta, tetapi anak istri ada di kampung.

Najwa Shihab: Itu kan hanya masalah timing (waktu), tetapi aktivitasnya sama Bapak. Mereka pulang dan kemungkinan membawa virus itu sama.

Presiden Jokowi: Coba kita lihat di lapangan, di Jakarta mereka menyewa ruang 3×3 atau 3×4 isinya 8 orang atau 9 orang. Mereka di sini tidak bekerja, lebih berbahaya mana, di sini dalam ruangan atau pulang ke kampung karena di sana disiapkan ruang isolasi dulu oleh desa. Saya kira semua desa sudah menyiapkan ruang isolasi. Saya kira kita harus melihat lebih detail di lapangannya, dan angka-angkanya.      

Mari kita tengok pengertian dari asal katanya, mudik berasal dari kata udik bahasa melayu yang berarti pedalaman. Jika kita melihat di KBBI kata mudik berarti (bentuk verba) berlayar, pergi ke udik (hulu sungai, pedalaman) atau makna kedua cakapannya bermakna pulang kampung.

Ada juga yang menyebutkan mudik berasal dari bahasa Jawa yakni, mulih diluk atau yang diterjemahkan menjadi pulang sebentar. Sementara, pulang dari sumber KBBI disebutkan bermakna pergi ke rumah atau tempat asalnya; kembali (ke); balik (ke).

Memang tampak sama, bahkan ketika digunakan oleh masyarakat pada umumnya bahwa kata mudik dan pulang kampung itu semakna. Lalu, apakah Presiden Jokowi keliru dan layak untuk di-bully? Eits, tunggu dulu, ojo gegabah. Jika kita belajar bahasa dengan teliti, ada materi sekelas sekolah menengah pertama (waduh) tentang materi pergeseran makna.

Atau kalau mau dianggap pembahasan ini lebih keren dan ilmiah, coba pakai tinjauan semantik gitu ya (dalam bagian linguistik). Logikanya, kosakata suatu bahasa dalam tempo waktu tertentu bisa saja mengalami penyempitan atau perluasan makna sesuai konteks yang terjadi di masyarakat.

(baca juga: Peran Santri Gelorakan Tasawwuf dalam Keseharian)

Hal ini dapat dicontohkan seperti kata “sarjana” yang bermakna orang pandai (ahli ilmu pengetahuan). Konon, dahulu pada masa awal kemerdekaan kata “sarjana” ini disematkan untuk siapa saja yang memiliki kepandaian dan keahlian tertentu tanpa berlandaskan tahapan pendidikan formal sekalipun.

Nah, dewasa ini tak bisa begitu, orang dikatakan “sarjana” apabila telah menamatkan pendidikan strata 1, baru dianggap sarjana (meski yang wisuda tak semua pandai-pandai amat ya..hehe). Ini namanya gejala penyempitan makna dalam kajian kebahasaan. Ini kaprah terjadi, dan perlu tinjauan tempo waktu tertentu agar bisa terjadi pada sebuah bahasa menurut teori linguistik diakronis.

Maka dari itu, jangan suudzan dulu terhadap pendapat Pak Presiden kita, jangan-jangan beliau sudah mafhum soal beginian. Gejala bahasa Indonesia yang lain pernah terjadi juga tentang kosakata “meriam”. Generasi milenial mungkin tahunya “meriam” adalah senjata berat yang berlaras panjang, sering diberi roda atau senjata pengebom seperti yang dilihat dalam film perang. Bukan begitu?

Dalam buku karya Dr. Dendy Sugono, mantan Kepala Pusat Bahasa Indonesia, disebutkan bahwa kosakata “meriam” itu diambil secara serta merta oleh pribumi ketika masa penjajahan kolonial. Ketika peperangan kerap terjadi, orang Portugis selalu memekikkan Bunda Maryam (atau terdengar meriam oleh pribumi) dalam doanya sebelum meletupkan senjata pengebom tercanggih di eranya tersebut.

Saat itu pula, pribumi mengira nama alat tersebut bernama meriam. Karena memang di Indonesia sebagai jajahan tak mengenal alat perang tersebut sebelumnya sehingga tersebarlah nama meriam sebagai penanda nama alat perang tersebut dan disepakati oleh bangsa Indonesia hingga kini. Ini tercatat (oleh Bapak Sugono) sebagai salah satu kesalahpahaman orang Indonesia dalam mengadaptasi bahasa. Masih banyak lagi gaes contoh lainnya, silakan cari bukunya dan baca sendiri ya.hehe

Memang terkadang orang Indonesia ini terbilang “sak karepan” dalam berbahasa. Yang penting enak diucapkan dan menulis kosakata seenaknya tanpa melihat rambu-rambu kaidah bahasa Indonesia. Meski pada dasarnya bahasa adalah gejala alamiah, namun untuk bahasa Indonesia standar harus tetap kita perhatikan. Contoh sederhananya, lihat kata “selebritis” yang lebih booming di bebagai media televisi ketimbang “selebritas”, kata “sholat” ketimbang “salat”. Apa ini salah pak Jokowi? Oh no

Seperti kita memahami kata wafat dan tewas. Tampak semakna tapi tak sama toh. Meski semakna yakni, mati, tetapi ada timing (kata mbak Nana saat menyanggah pernyataan Jokowi dalam talkshow-nya) yang berbeda, juga turut dimaknai tak sama. Ada detail fakta, gejala, bahkan statistik yang harus kita pahami sebelum menyatakannya (seperti kata Jokowi juga nihhehe)

(baca juga: Ikhtiar Santri Hadapi Pandemi Covid-19)

Maka dari itu, bagi yang galau seperti M. Sohibul Iman (Presiden PKS) dan netizen lainnya. Coba kroscek dulu, kalau masalah beginian yang paling tahu adalah ahli bahasa, yang paham soal gejala linguistik lo. Apalagi ada yang menuding bahwa Jokowi akan mengubah KBBI dan Wikipedia. Segitu amat ya. Jadi, di dunia maya kita tak kaget dan nyinyir belaka, lebih enak diskusi lah ya…biar yang lain ikut menyimak dengan saksama.

Meski demikian, kita sebagai warganet yang baik harus tetap waspada dan kritis juga loh. Kalau dalam teori analisis wacana kritis Fairclough, terkadang bahasa yang dimunculkan penguasa itu bersifat hegemoni dan dominasi. Jangan-jangan pernyataan mudik dan pulang kampung oleh Pak Jokowi ini adalah alibi atas keterlambatan kebijakannya terhadap penanganan persebaran arus hilir-mudik masyarakat terkait program pencegahan persebaran covid-19 tersebut.[]

sumber foto sampul: riaumandiri.id

*penulis adalah guru Bahasa dan Sastra Indonesia di MA Unggulan Nuris

Related Post