Puisi: Bentuk Lain dari Keabadian dan Perekaman Kembali Kehidupan

Penulis: Ayu Novita Sari*

“Ingatlah bahwa Sastra kini menjadi senjata ampuh untuk berekspresi bebas sebagai insan manusia” (Anonim).

Sebagai makhluk yang kreatif, manusia sedikit menyadari bahwa dirinya memiliki kemampuan dalam mengembangkan bakat kreatif contohnya saja dalam membuat syair puisi. Puisi bukan hanya tentang teori dan materi,  puisi ada dimana-mana bukan hanya sajak, melainkan segala hal dalam hati yang kita rasakan.

Puisi adalah segala sesuatu hal yang ada dalam kehidupan manusia, tetapi jangan lupa juga puisi bukan hanya keindahan bahasa yang dipertontokan sehingga melupakan ekstetika kedalaman maknanya.

Hari Puisi Nasional, yang kita eforiakan kemarin tanggal 28 April membuat kita sadar akan kepentingan bahasa yang kita miliki. Hal ini memperkuat keragaman linguistik yang di ekspresikan secara puitis untuk menjaga eksistensi bahasa pada zaman ini. 

Hari memperingati puisi ini merupakan salah satu cara ampuh untuk menegaskan kembali identitas kehadiran seni bersyair yang dianggap kolot dan ketinggalan zaman yang berada di pikiran beberapa generasi muda Indonesia.

(baca juga: Aisyah Istri Rasulullah, Korban Lambe Turah di Zamannya)

Tanpa mereka sadari bahwa apa yang mereka pajang di dinding sosmed mereka setiap hari yang berupa tulisan curhatan merupakan suatu puisi dalam hidup mereka karena puisi adalah bentuk sajak ekspresi diri dan rekaman kembali peristiwa kehidupan.

Keberadaan puisi bukan hanya diakui oleh ranah nasional saja, bahkan dunia. Jika Indonesia memiliki Hari Puisi Nasiona pada tanggal 28 April, Hari Puisi Dunia dirayakan pada tanggal  21 Maret. Hal ini diakui UNESCO bahwa puisi memiliki kemampuan unik untuk menangkap semangat kreatif dari pikiran manusia.

Puisi menjadi sebuah penegasan dalam kehidupan manusia bahwa manusia bersama-sama mengungkapkan bahwa siapapun kita, dimana pun kita berada dan apapun aktivitas kita, kita selalu memiliki pertanyaan dan perasaan yang sama. Jika kita memiliki persepsi bahwa puisi adalah bahasa orang sakit dan galau itu merupakan opini yang benar, mengapa begitu? Karena puisi hadir untuk menjelma diri kita yang sesungguhnya tanpa ada rekayasa.

(baca juga: Tips Supaya tidak Bosan dirumah saja, Cegah Virus Corona)

Ketika kita merasa sedih puisi hadir dalam pikiran dan doa kita, saat kita senang puisi hadir dalam bentuk kata syukur, puisi tidak terbelenggu keberadaan tempatnya bukan hanya dalam secarik kertas dan sebaris tinta tetapi ada dalam hati kita. Puisi juga tidak terikat dengan majas dan keindahan metafora-metafora saja, puisi adalah kata sederhana jika disadari secara penuh akan maknanya.

Jasad kita yang tidak bisa abadi akan diabadikan secara otomatis oleh puisi-puisi kita yang kita karyakan. Sebut saja penyair legendaris kita Chairil Anwar, beliau sudah tiada jasadnya tetapi siapa sangka jika namanya selalu terngiang dari generasi ke generasi. Hal ini disebabkan oleh kata yang di sebut puisi. Kita tidak pernah bersitatap bahkan mendengar kisah hidup beliau secara langsung, tetapi dengan membaca sajak-sajaknya seakan-akan kita dekat dan saling memahami.

Lahirnya Hari Puisi Nasional ini juga sebagai tanda terimakasih pada penyair kita Chairil Anwar akan segala keindahan dan kedalaman makna dalam puisinya. Oleh karena itu, tanggal 28 April dipilih karena pada tanggal 28 April 1949 penyair “Si Binatang Jalang” ini wafat. Selanjutnya kita lah yang akan mengisi lembar-lembar kosong dalam ranah kehidupan dengan puisi-puisi sederhana kita.[]

sumber foto sampul: gramedia.com

*Penulis adalah alumni SMA Nuris Jember tahun 2019, kini sedang melanjutkan studi sarjana di UNEJ

Related Post