Seri ke-4 Ngaji Risalah Aswaja; Kewajiban Taqlid Bagi Orang yang Tidak Mampu Berijtihad

Penulis: M. Irfan Sholeh*

Cara beragama Islam itu ada tiga. Yaitu, ijtihad, ittiba’ dan taqlid. Jika ijtihad adalah cara beragama dengan mengetahui dalil dan bisa mengolah dalil tersebut, kemudian mencetuskan hukum,  maka ittiba’ adalah cara beragama dengan mengetahui dalil namun tidak tahu cara mengolahnya. Lalu apa yang dinamakan Taqlid itu sendiri?

Taqlid menurut bahasa berasal dari bahasa Arab yaitu qallada, yuqalidu, taqlidan, yang berarti mengulangi, meniru dan mengikuti. Para ulama ushul memberikan defenisi taqlid dengan “mengikuti pendapat seseorang mujtahid atau ulama tertentu tanpa mengetahui sumber dan cara pengambilan pendapat tersebut”.

Orang yang bertaqlid disebut mukallid. Sedangkan Imam Al-Ghazali dalam kitabnya AlMustasyfa, memberikan pengertian taqlid.  “Taqlid adalah menerima suatu perkataan dengan tidak ada hujjah. Dan tidak ada taqlid itu menjadi jalan kepada pengetahuan (keyakinan), baik dalam urusan ushul maupun dalam urusan furu’.

(baca juga: Mana yang Didahulukan, Buka Puasa atau Salat Maghrib? Cekidot Gaesss)

Pembahasan wajibnya taqlid bagi orang yang tidak mampu berijtihad atau biasa disebut dengan orang awam, terdapat pada pasal ke-empat dalam  kitab Risalah Ahlussunnah wal jamaah karangan KH. Hasyim As’yari ini.

Menurut para ulama, setiap orang yang tidak mampu berijtihad, wajib mengikuti ulama ahli ijtihad. Dengan mengikuti pendapat salah seorang imam mujtahid, mereka akan terbebas dari hukum taklif. Hal itu sesuai dengan firman Allah dalam surah A-Nahl : 43 “Maka bertanyalah kepada orang yang memiliki pengetahuan, jika kalian tidak mengetahui”.

Dengan demikian, maka wajiblah bertanya bagi orang yang tidak mengetahui, dan hal yang demikian itu disebut taqlid kepada orang alim. Ayat di atas adalah umum bagi setiap orang, sehingga perintahnyapun umum pula, yakni bagi setiap hal yang belum diketahui.

(baca juga: Seri ke-1 Ngaji Risalah Aswaja; Antara Sunah dan Bidah)

Karena ada pada generasi sahabat dan tabi’in, orang awam yang selalu minta fatwa kepada ulama tentang permasalahan agama. Dan para ulama akan merespon pertanyaan tersebut tanpa menjelaskan detail dalil-dalilnya. Maka yang demikian itu sudah tidak bisa lagi dikatakan taqlid buta. Namun keadaan seperti itu tidak pernah dilarang oleh para sabahat, sehingga terjadilah ijma’ bahwa orang awam wajib mengikuti ulama.

Orang awam tidak harus mengikuti madzhab tertentu pada kondisi yang ia jalani. Seperti seorang penganut madzhab Syafi’i, tidak harus baginya mengikuti terus menerus, melainkan bisa juga berpindah mengikuti madzhab lainnya. Namun dengan catatan, tidak mendudukkan atau mencampuradukan satu persoalan dalam beberapa gabungan madzhab.

Sebagaimana disebutkan di akhir pembahasan fasal keempat ini oleh musannif. Bagi orang yang taqlid diperbolehkan mengikuti madzhab yang lain. Seperti ia taqlid kepada seorang imam dalam shalat ashar. Jika seorang madzhab Syafi’i mengira bahwa shalatnya sah madzhab tersebut, lalu setelah shalat tidak sah menurut madzhab Syafi’i, tetapi sah menurut madzhab yang lain, maka dia boleh berpindah madzhab dan salatnya tetap menjadi sah.

Demikian KH. Hasyim As’yari menjelaskan kewajiban taqlid bagi orang awam. Dengan harapan agar tidak ada alasan lagi bagi mereka yang tidak mampu berijtihad untuk tetap menjalankan ibadah yang sesuai dengan tuntunan agama. Cukup dengan mengikuti ahli agama, mereka dapat dengan tenang menjalankan syari’at agama Islam dengan benar.[]

sumber foto sampul: garadeli.com

*penulis adalah alumni MA Unggulan Nuris tahun 2017, kini sedang melanjutkan studi sarjana di IAIN Jember

Related Post