Mereligikan Wisata Pantai?

(Catatan Perjalanan ke Tempat Wisata)

Penulis: Abd. Halim*

Bagi sebagian orang, refreshing ke pantai untuk mengisi hari libur merupakan kegiatan yang kurang bermanfaat, main-main, dan mubadzir, baik dari segi duit maupun waktu, dibandingkan dengan berziarah ke tempat-tempat religi (seperti makam para wali dan orang-orang saleh) dan mengunjungi tempat-tempat bersejarah. Ini bisa dimaklumi, karena bagi mereka, pergi ke pantai sama sekali tidak ada nilai ibadah, bahkan sebaliknya, bisa menjadi sebab melakukan perbuatan dosa (melihat aurat dan ihtilāth antara lawan jenis). Berbeda dengan berziarah ke makam para wali, yang biasanya diisi dengan tawasul, baca Al Qur’an, zikiran, dan shalawatan.

Bagi sebagian yang lain tidak demikian. Mereka mendasarkan refreshing-nya ke pantai bukan semata-mata refreshing, melainkan juga sebagai tafakkur dan tadabbur terhadap tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan Allah Swt., dan untuk membaca ayat-ayat kauniyah-Nya,[1] sehingga perjalanannya juga bisa bernilai ibadah dan tidak sia-sia.[2]

Dengan melihat pantai, mereka lalu teringat ayat-ayat tentang kisah ummat terdahulu untuk dijadikan ‘ibroh, karena sejatinya, kisah-kisah yang terdapat dalam al-Qur’an tidaklah semata-mata ceritera sebagaimana dongeng pengantar tidur, novel ataupun lainnya, akan tetapi lebih kepada falsafah, pelajaran dan hikmah yang terkandung di dalamnya (hikmatul qishshah).

Mereka lalu teringat pada ayat tentang kisah Nabi Musa vs Fir’aun dan terbelahnya lautan yang terdapat pada QS. QS. Al-Baqarah (02: 50;

وَإِذْ فَرَقْنَا بِكُمُ ٱلْبَحْرَ فَأَنجَيْنَٰكُمْ وَأَغْرَقْنَآ ءَالَ فِرْعَوْنَ وَأَنتُمْ تَنظُرُونَ

Artinya, “Dan (ingatlah), ketika Kami belah laut untukmu, lalu Kami selamatkan kamu dan Kami tenggelamkan (Fir’aun) dan pengikut-pengikutnya sedang kamu sendiri menyaksikan.”

 dan QS. Asy-Syu’arā’ (26: 63;[3]

فَأَوْحَيْنَآ إِلَىٰ مُوسَىٰٓ أَنِ ٱضْرِب بِّعَصَاكَ ٱلْبَحْرَ ۖ فَٱنفَلَقَ فَكَانَ كُلُّ فِرْقٍ كَٱلطَّوْدِ ٱلْعَظِيمِ

Artinya, “Lalu Kami wahyukan kepada Musa: ‘Pukullah lautan itu dengan tongkatmu’. Maka terbelahlah lautan itu dan tiap-tiap belahan adalah seperti gunung yang besar.”

(baca juga: Dahsyatnya Bacaan Istighfar dan Sedekah)

Mereka juga lalu ingat akan ayat-ayat tentang kisah Nabi Musa dengan Nabi Khidir, mulai dari sebelum bersua,[4] awal bersua, [5] dan ketika Nabi Khidir menjelaskan perihal “rahasia” di balik pengrusakan perahu (oleh Nabi Khidir) yang mereka tumpangi sebelum sebagaimana dijelaskan di QS. Al-Kahfi (18): 79;

أَمَّا ٱلسَّفِينَةُ فَكَانَتْ لِمَسَٰكِينَ يَعْمَلُونَ فِى ٱلْبَحْرِ فَأَرَدتُّ أَنْ أَعِيبَهَا وَكَانَ وَرَآءَهُم مَّلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا

Artinya, “Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera.”

Selain itu, ada juga ayat tentang betapa luas dan banyaknya ilmu Allah, sampai-sampai diumpamakan seluas samudera, bahkan lebih dari itu:[6]

 قُل لَّوْ كَانَ ٱلْبَحْرُ مِدَادًا لِّكَلِمَٰتِ رَبِّى لَنَفِدَ ٱلْبَحْرُ قَبْلَ أَن تَنفَدَ كَلِمَٰتُ رَبِّى وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِۦ مَدَدًا

Artinya, “Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)”.

Dengan melihat pantai, pun juga akan teringat bahwa di sana terdapat beraneka ragam hewan laut yang sebenarnya diperuntukkan dan halal kita makan, sebagaimana termaktub dalam QS. Al-Māidah [5]: 96;

أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ ٱلْبَحْرِ وَطَعَامُهُۥ مَتَٰعًا لَّكُمْ وَلِلسَّيَّارَةِ ۖ وَحُرِّمَ عَلَيْكُمْ صَيْدُ ٱلْبَرِّ مَا دُمْتُمْ حُرُمًا ۗ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ٱلَّذِىٓ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ

Artinya, “Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan; dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram. Dan bertakwalah kepada Allah Yang kepada-Nya-lah kamu akan dikumpulkan.”

Sebagai penutup, bahwa hakikatnya, seluruh kegiatan dan tingkah-laku manusia (baca: ummat Islam) itu adalah tergantung pada apa yang ia niatkan, bukan (semata-mata) pada apa yang nampak ia kerjakan. Bahwa kegiatan refreshing ke pantai bisa bernilai ibadah sebab niat yang tertata dan baik, dan ziarah ke makam para wali dan orang-orang shalih  bisa saja dicatat dosa sebab niat yang salah. Hal ini senada dengan apa yang disampaikan oleh Imam az-Zarnūji dalam kitab _Ta’limul Muta’allim_nya:

كَمْ مِنْ عَمَلٍ يَتَصَوَّرُ بِصُوْرَة أعْمالِ الدّنْياَ وَيَصِيْرُ بِحُسْنِ النِيَّة مِن أَعْمَالِ الآخِرَة، كَمْ مِنْ عَمَلٍ يَتَصَوَّرُ بِصُوْرَة أعْمالِ الأخرة ثُمَّ يَصِيْر مِن أَعْمَالِ الدُّنْيَا بِسُوْءِ النِيَّة

Artinya, “Berapa banyak perbuatan yang tampak sebagai perbuatan duniawi berubah nilainya menjadi perbuatan ukhrawi lantaran niat yang bagus. Banyak (pula) perbuatan yang terlihat sebagai perbuatan ukhrawi bergeser menjadi perbuatan duniawi lantaran niat yang buruk.”

Semoga segala tindakan kita bernilai ibadah dan tidak sia-sia. Āmiinn…

Jember, 13 September 2020

sumber foto kover: javatravel.net

*penulis adalah Khuwaidim di Program Tahfizh Nuris Jember

______

[1] QS. Al-Baqarah (02): 164

[2] Seluruh pekerjaan seorang muslim tergantung pada niatnya. Jika niatnya baik, maka ia bernilai ibadah, sebagaimana dalam potongan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Sayyidinā Umar R.A., nabi bersabda;

إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرئ ما نوى……الحديث

Artinya, “Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Dan sesungguhnya seseorang hanya mendapatkan apa yang dia niatkan………….”

Sebaliknya, jika tidak ada niat atau niatnya tidak baik, maka ia sia-sia, atau bahkan merugikannya esok di akhirat.

[3] Lihat juga QS. Thāhā (20): 77

[4] QS. Al-Kahfi (18): 60-63

[5] QS. Al-Kahfi (18): 65

[6] QS. Al-Kahfi (18): 109. Lihat juga di ayat lain, QS. Luqmān (31): 27;

وَلَوْ أَنَّمَا فِى ٱلْأَرْضِ مِن شَجَرَةٍ أَقْلَٰمٌ وَٱلْبَحْرُ يَمُدُّهُۥ مِنۢ بَعْدِهِۦ سَبْعَةُ أَبْحُرٍ مَّا نَفِدَتْ كَلِمَٰتُ ٱللَّهِ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

Artinya, “Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Related Post