Sejarah Mushaf Al-Qur’an

Penulis: Iffah Nurul Hidayati*

Dahulu kala pada zaman Rasulullah SAW pemeliharaan  Al-qur’an yang merupakan kitab suci umat islam dilakukan dengan cara menghafal. Cara itu dilakukan bahkan selama 23 tahun masa pewahyuan. Cara yang kedua yakni dengan cara penulisan. Meski kuatnya daya ingat sahabat, Rasulullah tetap tidak lupa untuk membudayakan literasi. Terbentuklah tim penulisan yang saat itu salah satu anggotanya merupakan Zaid bin Tsabit. Penulisannya sudah sampai tamat pada masa Rasulullah. Namun masih tercecer dalam bentuk pelapah buah kurma, kulit binatang, dedaunan, bebatuan atau bahkan tulang belulang.

(Baca juga: sejarah tasbih)

Setelah Rasulullah wafat, dan berganti masa kepemimpinan yakni khalifah Abu Bakar barulah usulan pengumpulan Al-qur’an terlontar dari salah satu sahabat yang juga berkedudukan sebagai penasihat Abu Bakar, Umar bin Khattab. Umar mendesak Abu Bakar yang sebelumnya ragu dengan usulan tersebut, mengingat hal tersebut tak lazim dilakukan di zaman Rasulullah. Namun setelah umar mendesak terus menerus dan peperangan di Yamamah yang mengakibatkan setidaknya 70 sahabat pengahafal Al-qur’an tewas dalam peperangan tersebut membuat Abu Bakar akhirnya mengiyakan usulan Umar bin Khattab. Kemudian Abu Bakar menunjuk Zaid bin Tsabit yang sebelumnya juga ditunjuk oleh Rasulullah menuliskan ayat-ayat dari Al-quran untuk menjadi ketua tim kodifikasi Al-qur’an. Seperti Abu Bakar pada awalnya, Zaid pun merasa ragu mendapat tugas tersebut dan mempertimbangkannya berkali-kali.

Ia mengumpulkan ayat-ayat tersebut dari lempengan batu, pelepah kurma, tulang-tulang hewan serta ingatan orang-orang. Ia bertutur bahwa ayat terakhir surah at-taubah dari Abu Khuzaimah Al-anshari yang tak ia temukan dimanapun dan dari siapapun.

Hatinya yang telah bertaut pada Al-qur’an menghilangkan rasa ragunya dan membuatnya terus melacak, menelusuri dan terus mencari lembar-lembar al-qur’an meski harus sampai ke ujung dunia. Pengumpulan Al-qur’an oleh Zaid ini menempuh waktu setidaknya setahun dari setelah peperangan di Yamamah sampai sebelum khaliah Abu Bakar As-Shiddiq meninggal dunia. Kemudian setelah Abu Bakar wafat Al-qur’an yang telah terkumpul disimpan dengan penjagaan yang ketat oleh Umar bin Khattab sebagai khalifah kedua.

(Baca juga: sejarah sarung)

Tak lama kemudian Al-qur’an tersebut berpindah penjagaan kepada Hafshah. Bukan tanpa sebab, alasan kuat Al-qur’an tersebut diserahkan pada Hafshah karena ia merupakan  putri Umar bin Khattab sekaligus istri Rasulullah. Selain itu ia juga pandai membaca dan menulis.Di jaman Usman bin Affan yang menjadi khaliah ketiga. Para penghafal Al-qur’an disebarkan di berbagai penjuru dunia untuk menjadi imam dan mengajarkan Al-Qur’an. Karena perselisihan diantara penghafal Al-Qur’an sebab perbedaan qira’ah, Usman berinisiatif untuk menyalin Al-Qur’an kembali dan menggandakannya menjadi lima buah mushaf. Tersisa satu mushaf yang ditinggalkan di Madinah untuk Usman yang disebut sebagai “Mushaf al-Imam”.

Sementara ke-empat lainnya dikirimkan ke Mekkah, Syam, Kuffah dan Basrah, masing-masingnya satu. Untuk lembar-lembar yang tidak sesuai, diragukan dan akan memicu pertikaian dikalangan umat, Usman memerintahkan untuk membakarnya. Setelah masanya tidak ada lagi pembekuan berikutnya. Catatan sejarah mencantumkan bahwa hasil kodifikasi Khalifah ketiga ini adalah yang terakhir.

Sumber gambar: kalam.sindonews.com

Penulis merupakan siswa kelas XI IPA MA Unggulan Nuris yang aktif di ekstrakurikuler jurnalistik

Related Post