Nyantri Itu Keren, Mak

Oleh Sunardi*

Hari sudah meredup. Cahaya matahari berangsur hilang, memerah di ufuk barat. Burung-burung risau hendak pulang ke sarangnya. Namun di rumah sebelah makin ramai saja orang-orang berkumpul. Sejak tadi pagi mereka berkumpul melepas kepergian Doni, putra kedua Pak haji Soleh yang tadi siang berangkat ke Amerika. Katanya mendapat beasiswa untuk melanjutkan S2 di Harvard.

Mak Ti malah menyendiri di kamarnya. Dulu waktu anak tunggalnya yang bernama Sukri masih kecil, ia menjadi buah bibir orang sekampung berkat prestasinya menjadi juara kelas, bintang pelajar di sekolahnya. Seandainya ia bisa sekolah seperti Doni, mungkin dia yang lebih dulu berangkat ke Amerika atau ke Eropa. Tetapi karena ditinggal sang ayah, pak de-nya menyarankan ia agar mondok saja. Alasannya karena biaya mondok tidak semahal biaya sekolah, tidak perlu les juga. Apalagi banyak anak kampung yang mondok belajar agama di pesantren. Hanya orang tua yang kaya yang menyekolahkan anaknya ke sekolah umum yang unggul seperti SMA 1. Sebagian dari mereka merasa malu jika anaknya hanya memondok saja. Seolah, menurut mereka, pesantren itu tempat belajarnya orang miskin.

***

“Kenapa kamu sering murung sendiri? Ntar kesurupan…!!”

Sukri diam saja, tak begitu menghiraukan Firman yang duduk di sampingnya. Pikirannya galau.

“Kamu tidak kerasan? Atau ingin kawin?” Firman mencoba menebak perasaan Sukri.

“Kamu masih ingat waktu kita SD dulu kan, Man?”

Firman tersenyum, “Kamu jadi bintang pelajar.”

Semua orang sudah tahu itu. Sukri sang bintang pelajar. Orang tuanya bangga sekali. Dia menjadi kebanggaan desa.

“Pernah dalam sebulan aku membaca sebanyak 27 buku, pernah lebih dari itu. Aku rajin menulis.”

“Kamu memang kutu buku.”

“Aku benar-benar merasakan keberhasilan hasil jerih payahku tekun belajar dan berkarya.”

Firman menghela nafas panjang. Sepertinya ia turut merasakan perasaan Sukri. “Sekarang kamu merasa tidak keren? Karena hanya belajar ilmu agama di pesantren?”

“Entahlah…”

Di pesantren Sukri banyak belajar menerjemah kitab kuning bersama ustadz dan kyai. Tetapi ia berhenti menulis sejak tinggal di pesantren, hilang semangatnya. Menurutnya, kehidupan pesantren menuntut keikhlasan yang tinggi, ikhlas menjalani hidup apa adanya dan tak banyak menuntut. Tak ada lagi persaingan dalam belajar seperti dulu. Hidupnya terasa melulu mengikuti kehendak-Nya.

“Surat dari siapa?” menunjuk amplop yang dipegang Sukri.

“Dari Emak. Katanya Doni sudah berangkat ke Amerika, lanjut S2 di sana.”

“Wah, gila…!! Hebat dia.” Firman memandang Sukri. “Dulu dia tidak ada apa-apanya dibanding kamu.”

“Nasib.”

“Jangan menyerah, Kawan…!!”

Suatu hari saat pernikahan Ustadz Harun, salah satu ustadz Sukri yang juga masih tetangganya, Sukri ikut mendampingi kyai. Sekalian dia mohon ijin jenguk ibunya di rumah.

“Mak, Emak tak usah iri lah pada tetangga. Buat apa iri? Allah sudah mengatur rejeki hambanya. Soal mas Doni yang sekolah ke Amerika dan menjadi kebanggaan orang sekampung, sudahlah, tidak usah dipikir. Apalagi sampai menganggap Tuhan tak adil. Jangan. Penilaian Tuhan itu lebih baik dari penilaian manusia. Tak masalah kita rendah di mata manusia, tapi teruslah berdoa agar kita ditinggikan derajat di sisi-Nya.”

Sukri berusaha menasehati emaknya agar menerima takdir. Padahal, ia sendiri merasa iri pada Doni dan ingin menyainginya dan mengalahkannya seperti dulu.

“Dulu waktu kecil, kamu toh yang selalu jadi juara kelas. Sayangnya, emak tak punya biaya untuk membiayaimu sekolah seperti nak Doni.” Air matanya tak terasa menetes. Sukri mencoba menenangkan, mendekapnya. “Kalau saja bapakmu masih ada, mau pilih sekolah favorit seperti apapun, dia akan berjuang untukmu. Mak sangat mengenalnya, dia lelaki yang gigih, pantang menyerah.”

“Tiada daya tanpa pertolongan Allah, Mak. Doakan saya bisa lebih baik dari bapak.”

“Pasti Le. Tak bosan-bosannya emak mendoakanmu.”

***

Enam tahun berlalu. Tujuh tahun sudah Sukri tinggal di pesantren. Sudah banyak perubahan ia alami. Kepribadiannya sudah hampir 100% santri. Tetapi pesantren, menurutnya, mulai berubah. Sejak dua tahun terakhir, santri dikirim seminggu sekali oleh wali santri. Santri juga sering ijin pulang dan keluar pondok bersama keluarganya. Padahal, waktu Sukri baru mondok, setahun sekali belum tentu dijenguk oleh orang tua. Hanya dikirimi uang lewat pos. Kadang kiriman telat sehingga harus pinjam teman. Jarang sekali keluar pesantren, jarang sekali pulang. Bahkan ada santri yang hanya pulang tiga kali dalam 12 tahun. Katanya, kalau sering pulang, ilmunya berjatuhan di jalan.

“Santri sekarang kok tidak sopan ya,” kata Daud. “Berani membantah ustadz, bahkan ada yang berani bentak ustadz.”

Sukri tersenyum. “Sepertinya zaman mulai berubah, Ud. Kemarin juga ada wali santri minta ijin mau bawa pulang anaknya, maksa sekali. Kayak yang marah karena kyai sulit ditemui.”

“Lah…!! Gimana?!! Kalau yang seangkatan dengan kita dan yang sebelum kita, tidak ada yang begitu itu. Kalau kyai dan ustadz sudah tidak mengijinkan, ya sudah, ngikut.”

“Tapi bagaimana lagi, sepertinya, santri baru ini banyak yang berasal dari orang-orang modern.”

“Orang modern seperti apa?”

“Ya, orang modern. Kalau kita ini kan disuruh mengabdi oleh orang tua. Namanya mengabdi, ya selalu ikut apa kata kyai. Pokoknya sudah dipasrahkan pada kyai, semuanya terserah kyai.”

“Maksudmu, mereka memondokkan anaknya, tapi tak mau ikut kyai?”

“Tidak juga. Mereka juga patuh aturan, tapi menuntutnya juga banyak. Mereka minta ini lah, minta itu lah, macam-macam mintanya. Maunya kayak hidup di rumah. Mereka ingin anaknya merasa enak.” Daud menghela nafas lalu geleng-geleng kepala. “Tapi tidak semua sih.”

Hal tersebut memang sudah lama menjadi perbincangan para ustadz. Tetapi hanya dibahas diam-diam saja.

“Menurutmu, apa mereka perlu dipaksa agar tidak begitu? Atau… masak iya, pesantren yang ikut mereka? Aneh sekali…!”

“Entahlah…”

***

Dua tahun kemudian pesantren tempat Sukri nyantri mendapat penghargaan dari pemerintah, yakni lulusannya mendapat gelar kesarjanaan seperti mereka yang belajar di sekolah tinggi agama islam. Bahkan juga dibantu mendatangkan pengajar dari Yaman dan Mesir.

Sukri merupakan salah satu santri pertama yang lulus dengan gelar kesarjanaan S.Pdi. dan mendapat beasiswa untuk melanjutkan belajar ke Yaman. Setelah setahun di Yaman Sukri menikah dengan mahasiswi asal Prancis yang juga berprofesi sebagai penerjemah freelance empat bahasa: Prancis, Arab, Inggris, dan Jerman.

Sekarang Sukri menjadi dosen Bahasa Arab di Prancis.

*staff pengajar Bahasa Inggris di MTs Unggulan Nuris Jember

Related Post