Ustadzah Pengusir Hantu

Ustadzah Pengusir Hantu

oleh: Sunardi

“Pagi itu, saat sarapan, kami makan sambil cerita kejadian pada malam harinya. Si Lina, teman sekamarku pas mau wudhu sekitar jam 2 malam. Dia sendirian ke kamar mandi yang berada di pojok utara Musholla. Biasanya, anak-anak yang lain ngajak teman, tidak berani sendirian. Pas dia masuk kamar mandi dan mengunci pintunya, tiba-tiba bau kemenyan dan lampunya meredup. Bulu kuduknya berdiri dan muncul bayangan di pintu, ia tidak ingat bentuknya, katanya serrem. Seketika dia pingsan,” Cerita Aulia pada Ina, teman sekelasnya waktu SD dulu, di rumah saat pulang liburan. “Kejadian itu sungguh mengusik ketenangan seluruh penghuni pesantren. Bahkan santri di kompleks yang tidak pernah diketemukan setan pun jadi ketakutan.”

Ina merinding mendengarnya. “Untung aku tidak mondok. Takut,” katanya.

“Tapi di sana ada ustadzah yang hebat, dia bisa ngusir jin. Kalau ada dia, jin-jin lari. Pas kejadian, beliau pas pulang, sakti? Kata teman-teman, tiap malam dia keliling komplek asrama, di komplek asramaku, asrama Robi’ah: sendirian. Padahal, belakang musholla memang serrem, apalagi tengah malam. Ada pohon beringin besar sama pohon kenitu. Katanya jinnya menempati pohon itu. Tapi ustadzah itu, Ustadzah Rina namanya, berani sendirian ke tempat itu.”

“Tengah malam?!”

“Iya.”

“Wuih, mungkin dia ustadzah pengusir hantu…”

“Kata teman-teman begitu. Kalau tidak punya kesaktian, tidak mungkin berani begitu.”

“Iya, paling kayak di film Angling Darma itu, Atau seperti Mantili, kan hebat itu, bisa terbang-terbang.”

“Iya, tapi saya tidak tahu dia bisa terbang atau tidak.”

***

Jam 01.07, para santri sudah pada terlelap. Malam sudah sunyi, hanya di tempat-tempat tertentu lampu masih menyala, semua kamar sudah gelap, kecuali lampu kantor. “Belum tidur, Rin?” tanya Ustadzah Rahma yang terbangun dari tidurnya, lalu mematikan laptop dan tidur lagi di samping laptopnya. Ustadzah Rina berdiri di depan pintu, mengamati setiap kamar santri. Sudah tidak ada suara. Ia lihat jam dinding, suara ketukan jarumnya semakin keras, berarti malam sudah semakin sunyi.

Tiba-tiba ia melihat gerakan bayangan di depan kamar paling ujung barat. Segera ia menuju tempat itu. Ternyata ada santri yang buang air. Ustadzah Rina geleng-geleng kepala. Mungkin itu yang menimbulkan bau pesing kalau pagi. “Assalamualaikum…” santri itu kaget dan menoleh. “Kok tidak ke kamar mandi, Nduk…?” tanyanya.

“Takut, Ustadzah,” seperti mau nangis.

“Ayo, ustadzah antar.”

Tak lama kemudian terdengar suara tangisan di kamar dekat gerbang. Ustadzah Rina segera ke sana. Ada santri yang menangis di gerbang. “Kenapa, Nduk?”

“Kangen ummi. Saya melihat ummi datang sama mbak barusan.”

“Ini sudah malam, kamu hanya mimpi.”

“Saya melihatnya, Ustadzah…” sambil menangis.

Ustadzah Rina merangkulnya, “Sudah, diam, ya,“ sambil membelai-belai kepalanya. “besok ummi ke sini. Sudah, jangan nangisi ya.” Sesegukan santri itu menangis di pangkuan Ustadzah Rina.

Jam 02.20, cuaca semakin dingin. Cahaya lampu menampakkan kabut malam. Sebentar lagi tiba waktunya membangunkan santri untuk sholat malam. Rasa kantuk hampir tak tertahankan. Barisan kamar yang sunyi sepi mengingatkannya pada berita yang kemarin pagi ia baca di independent.co.uk, berita para pengungsi korban perang timur tengah. Tangisan meraung di malam hari. Membayangkan bagaimana sulitnya para ibu mengurus anak-anak mereka di sana. Mungkin rasa ngantuk sudah tak bisa mereka rasakan. “They need education, and I am here for them. Here my hand,” kata gadis muda bermata biru dari Rusia dalam berita itu. Tampak fotonya sedang mengusap air mata anak kecil yang sedang menangis di pojok tenda saat gerimis malam. Mungkin malam itu sesunyi ini di sana.

***

“Kamu tidak tanya, ustadzah itu belajar kesaktian pada siapa?”

“Aku belum akrab. pernah dulu dia ngasih aku apel, pas aku sendirian di teras kamar. Waktu itu aku masih belum kerasan, ingin pulang.”

“Kenapa tidak akrab? Siapa tahu kamu diajari kesaktiannya, kan enak, bisa ngusir hantu, bisa terbang.”

“Iya, sih. Tapi malu, sungkan. Dia itu ustadzah paling dihormat, paling baik.”

“Kamarmu jauh dari kamarnya?”

“Jarak 13 kamar, tapi Ustadzah Rina sering berada di kantor atau di musholla. Biasanya sama Ustadzah Diah. Ustadzah Diah, katanya bisa melihat jin, tapi takut hantu.”

“Kamu tidak pernah lihat seperti apa jinnya? Bikin aku penasaran aja.”

“Ayo mondok biar tahu jin.”

“Ih…!! Mondok, kok tujuannya ingin kenal jin…!!”

“Mumpung ada ustadzah yang ditakuti jin. Kalu di luar, bisa dihajar jin kamu.”

“Tidak. Tidak enak, tidak bebas.”

Ada Bu De-nya Ina datang membawa buah nanas. “Horeeee….!! buah kesukaanku,” seru Ina. “Aulia, ayo makan nanas.”

“Katanya mondok?” tanyanya pada Aulia.

“Iya. Lagi liburan.”

“Iya, enakan mondok. Sekolah di luar tidak bagus. Kemarin di rumah ada anak SMP dirampok, patah tulang lengannya. Teman sekelasnya, katanya, yang merampok.”

“Di sekolahku ada yang jadi preman, suka mabuk gitu,” kata Ina. “Anak-anak takut kalau ada mereka.”

“Kalau di pondok, tidak ada ya?”

“Yaa, di keluarkan kalau ada yang kayak gitu”

“Ina, rencananya, mau tak pondokkan,” sahut ibunya Ina yang baru keluar dari dapur. “Beli dimana nanas?”

“Tadi mampir di pasar. Iya, In, kamu pindah ke pondok aja. Sekarang, sekolah umum sudah tidak laku. Di rumah, anak-anak yang mondok, pinter-pinter, bisa Bahasa Inggris, Bahasa Arab, Bahasa Prancis, pandai pidato. Anaknya Pak Haji Sholeh itu, minggu lalu berangkat ke Jerman, katanya sering jadi juara di pondoknya.”

“Wah, kamu bisa berapa bahasa, Aulia?”

“Aku baru belajar Bahasa Arab. Kalau ustadzah Rina, sudah bisa 5 bahasa: Arab, Inggris, Rusia, Prancis, sama Spanyol.”

“Wow, keren.”

“Sekolah umum, mana ada yang begitu, In. Tawuran banyak.”

***

Dua minggu kemudian.

“Aulia, aku satu kamar sama kamu ya,” pinta Ina. “Takut ditemani hantu.”

Related Post