Mengenal Nakhon si thammarat: bersama Izza, Gadis Cantik dari Thailand

Nakhon si thammarat. Kota kedua yang menjadi bagian dari kisah hidup saya selama Tholabul ‘Ilmi di Negara Thailand. Kota yang memiliki masyarakat dengan pemeluk agama Buddha 80 persen. Ya, selebihnya adalah masyarakat yang se-agama dengan saya. Minoritas memang, tetapi, disitulah titik dimana keminoritasan agama saya justru membuat saya merasakan jatuh cinta lagi dan lagi kepada agama tauhid yang menjadi mayoritas di negara saya berasal, Indonenesia.

Jauh berbeda dengan kota pertama yang sebelumnya telah lebih dulu saya kenal, Pattani. Salah satu di antara 3 kota yang menjadi wilayah pemeluk muslim terbesar di Negara Thailand bagian selatan.

Baca juga : (Jakarta, Jantung Nusantara)

Jika sebelumnya saat di Pattani saya memilki banyak teman muslim, banyak perempuan yang mengenakan kerudung bahkan bercadar, teman lelaki yang sangat mudah untuk melaksanakan sholat Jumat di masjid, dan banyak para penjual yang menjajakan dagangan makanan yag sudah pasti halal, juga beberapa tempat wisata religi yang cukup banyak dan memikat dengan sejarah tentang Pattani dan agama Islam, karna memang, Pattani adalah kota yang menjadi pusat dari tersebarnya agama Islam di Thailand sebelum akhirnya Islam menyebar di beberapa daerah negara Thai.

Berbeda jauh ketika saya pindah daerah untuk meneruskan program Bachelor degree di salah satu Universitas yang menjadi one of the most professional universities in the field of teaching Agriculture in southern Thailand. Dari sinilah lembaran cerita hidup yang berbeda dari sebelumnya di mulai. Kembali belajar untuk beradaptasi dengan lingkungan baru. “Rajamangala University of Technology Srivijaya”. Salah satu Universitas yang di resmikan langsung oleh Raja ke 9, King Bhumibol Adulyadej, sebelum akhirnya posisi beliau di gantikan oleh putranya, Prince Maha Vajiralongkorn. Universitas ini memiliki 9 cabang yang tersebar di daerah Thailand, dan berpusat di Songkhla City.

Menjadi mahasiswa di Negara lain dengan status foreigner memang menjadi pengalaman tersendiri. Banyak hal baru yang di alami, dan di hadapi. Yang paling di rasa sangat berbeda adalah, kami menjadi “Mahasiswa” tetapi rasa “Siswa”. Sebab ada beberapa peraturan yang sama persis dengan peraturan siswa di sekolahan. Dan di sini kami harus mematuhi segala peraturan yang juga sama di terapkan seluruh Universitas di Negara Thailand.

17198290_1405563369468574_1920877764_n

Salah satu hal yang juga baru saya ketahui adalah, tidak akan pernah ada catatan sejarah bahwa mahasiswa dari Universitas apapun di Thailand melakukan “demo mahasiswa”. Entah demo apapun itu. Jika ada, sama berarti dengan mendemo sistem pemerintahan kerajaan. Berani demo, berani siap tanggung resiko. Penjara kerajaan menanti. Sistem perkuliahan di Universitas ini pun juga dipantau langsung oleh pemerintah kerajaan. Untuk kegiatan belajar mengajar saya dan teman-teman Indonesia lebih dikhususkan. Dari sekian subjek, ada subjek tertentu yang di ajarkan oleh 3 dosen sekaligus, ada juga class tertentu yang kami berada satu class dengan Thai student, tetapi dosen tetap akan mentranslit ke dalam bahasa Inggris. Selebihnya kami belajar satu kelas hanya dengan sesama Indonesia. Di universitas ini juga ada mahasiswa exchange student dari berbagai negara. Korea, China, Vietnam, dan Philipphines.

Lingkungan yang bermayoritaskan Buddha, menjadikan kami tidak pernah mendengar adzan, dll. Bersyukur dengan kecanggihan technology yang serba ada dan mudah, meski tidak terdengar lagi adzan dari speaker masjid, setidaknya kami masih bisa mendengar adzan dari salah satu aplikasi di hp dan juga bisa melihat tausiyah atau sebagainya yang bisa di akses dengan mudah melalui Youtube.

Setiap hari Sabtu atau Ahad pagi, yang nampak dan terdengar jelas adalah kegiatan rutin bagi mereka pemeluk agama Buddha untuk meminta keberkahan kepada para Biksu.  Nuansa baru yang benar benar terasa di sini. Beberapa kuil terdapat di dalam kampus. Tidak ada lagi masjid, atau mushalla. Adapun masjid terletak kurang lebih 52 Km dari University, dan mahasiswa muslim di sini bisa dihitung cukup dengan hitungan jari. Sebab itulah mengapa saya mudah menghafal teman teman muslim, terutama teman perempuan, meski di antaranya muslim tetapi tidak berhijab.

Tidak adanya tempat makanan halal di sekitar kampus, menjadikan kami semakin terlatih untuk hidup serba mandiri. Kami tidak bisa dengan mudahnya membeli makanan di warung, atau kedai makan. Setiap hari Kamis dan Sabtu, tepat di hadapan kampus terdapat pasar tradisional yang biasa kami sebut dengan “talat”, yang berarti pasar. Di pasar itu, hampir seluruh kebutuhan tersedia. Pedagang muslim yang menjual makanan halal di pasar ini, tidak selalu ada. Kalaupun ada, saya dan teman teman muslim menganggap itu adalah saat di mana kita berbuka. Berbuka dari puasa makanan halal yang di jual dan dirindukan.

Untuk biaya hidup di negara ini cukup bersahabat dengan kami yang berasal dari Indonesia. 1 BT sama dengan 400 rupiah. Makanan di Thailand bagian selatan rata-rata di jual dengan harga 25-30 BT ke atas. Itu berarti sama dengan sekitar 10-12 ribu rupiah. Berbeda jika di Thailand bagian barat. Makanan di jual dengan harga lebih mahal, sekitar 35-40 BT ke atas.

Sudah menjadi pemandangan biasa mahasiswa dengan seragam lengkap menjadi pengunjung pertama yang memadati pasar. Terutama bagi mahasiswa muslim yang tinggal di dormitory, mereka akan membawa buku kuliah, sembari menenteng sayur, atau bahan makan lainnya untuk diolah sendiri. Terdapat satu kampung muslim di daerah ini, Ban Rai namanya. Di kampung muslim inilah satu satunya masjid, Madrasah dan makanan halal tersedia. Cukup jauh dan cukup sulit untuk sampai di kampung Ban Rai. Berbeda dengan Pattani yang kental dengan nuansa Islami dan melayu, Nakhon si thammarat tampil dengan tatanan kuil yang unik dan berbagai tempat wisata peninggalan sejarah juga keragaman adat tradisi agama Buddha. [Izza/Red]

17198623_1405566419468269_110754198_n

Related Post