Menyentuh Alquran

S o a l:

Alquran merupakan firman allah SWT  yang diturunkan ke dunia sebagai petunjuk bagi manusia. Karena itu, Alquran harus diagungkan oleh seluruh umat islam. Salah satu bentuk pengagungan Alquran adalah larangan menyentuhnya apabila tidak suci (hadas). Baik hadas kecil maupun hadas besar. Lalu, apakah dalil yang dipergunakan para ulama dalam hukum ini?

J a w a b :

larangan ini berasal dari firman Allah SWT:

لَا يَمَسُّهُ إِلاَّ الْمُطَهَّرُوْنَ تَنْزِيْلٌ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ . (الواقعة ، ٧٩–٨٠)

“Tidak boleh menyentuh al-Qur’an kecuali orang-orang yang suci. Yang diturunkan dari Tuhan alam semesta.” (QS. Al-Waqi’ah,79-80)

Atas dasar ayat ini ulama menyatakan bahwa haram hukumnya menyentuh Alquran jika tidak punya wudhu’. Syaikh Zainuddin al-Malibari menyatakan:

وَيَحْرُمُ بِالْحَدَثِ صَلَاةٌ وَطَوَافٌ وَسُجُوْدٌ وَحَمْلُ مُصْحَفٍ وَمَا كُتِبَ لِدَرْسِ قُرْآنٍ وَ لَوْ بَعْضَ آيَةٍ كَلَوْحٍ.(فتح المعين ، ١٠)

“Haram sebab hadast kecil, melakukan shalat, thawaf, sujud, (yakni sujud tilawah dan sujud syukur), membawab mushhaf dan menyentuh kertas yang ditulisi ayat al-Qur’an, walaupun hanya sebagian ayat.” (Fath al-Mu’in, hal 10)

Ada yang mengatakan bahwa ayat di atas tidak dapat dijadikan dalil haramnya menyentuh Alquran bagi orang yang berhadast, karena sebenarnya yang dimaksud adalah Alquran yang ada di lauh mahfuzh sana, bukan Alquran yang ada di dunia ini. Sehingga tafsiran ayat adalah yang tidak boleh bahkan tidak mungkn disentuh adalah Alquran yang ada di lauh mahfuzh. Sebab hanya orang suci (yakni malaikat) yang dapat menyentuhnya. Atas dasar ini, mereka mengatakan bahwa orang yang ber-hadast tidak haram menyentuh Alquran yang ada di hadapan kita sekarang ini.

(Baca juga: Hujjah Aswaja: Membuat Kubah dan Meletakkan Kain di Batu Nisan)

Menanggapi pernyataan ini, Syaikh Muhammad Ali al-Shabuni dalam Rawai al-Bayan fi Tafsir Ayat al-Ahkam mengutip pendapat Ibn Taimiyyah yang menyatakan:

إِسْتَدَلَّ ابْنُ تَيْمِيَّةَ عَلَى الحُكْمِ الشَّرْعِيِّ مِنْ وَجْهٍ لَطِيْفٍ فَقَالَ إِنَّ اْلآيَةَ تَدُلُّ عَلَى الْحُكْمِ مِنْ بَابِ اْلإِشَارَةِ . فَإِذَا كَانَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يُخْبِرُ أَنَّ الصُّحُفَ اْلمُطَهَّرَةَ لاَ يَمَسُّهَا إِلاَّ الْمُطَهَّرُوْنَ فَالصُّحُفُ الَّذِى بِأَيْدِيْنَا كَذَلِكَ يَنْبَغِي أَلاَّ يَمَسَّهَا إِلاَّ طَاهِرٌ . أَقُوْلُ : هَذَا هُوَ الْحَقُّ الَّذِي يَنْبَغِي التَّعْوِيْلُ عَلَيْهِ . وَهُوَ مَا اتَّفَقَ عَلَيْهِ الْفُقَهَاءُ مِنْ حُرْمَةِ مَسْحِ الْمُصْحَفِ الشَّرِيْفِ بِدُوْنِ طَهَارَةٍ . (روائع البيان في تفسير آيات الأحكام ، ج ٢ ص ٥٠٧)

“Tentang hukum syar’i ini, Ibn Taimiyyah berdalil dengan cara yang sangat halus. Beliau berkata, “Ayat tersebut menunjukkan hukum (keharaman menyentuh al-Qur’an bagi orang yang tidak punya wudhu’) dengan jalan isyarah. Jika Allah SWT menyebutkan bahwa mushhaf yang suci ini tidak dapat disentuh kecuali orang-orang yang suci (malaikat), maka begitu pula mushhaf yang ada di hadapan kita tidak boleh disentuh kecuali oleh orang-orang yang suci (dari hadast). (Syaikh’ Ali Al-Shabuni lalu berkomentar) Saya berpendapat bahwa inilah pendapat yang benar dan harus diikuti. Yakni pendapat yang disepakati oleh mayoritas ulama tentang haramnya menyentuh mushhaf yang mulia ini dalam keadaan tidak suci.” (Rawi’i al-Bayan fi Tafsir Ayat al-Ahkam, juz I, hal 507)

Hal ini didukung pula oleh Hadits Nabi SAW:

عَنْ اَبِى بَكْرٍ بْنِ مُحَمَّدٍ قَالَ : اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَتَبَ إِلىَ أَهْلِ الْيَمَنِ أَنْ لاَ يَمَسَّ الْقُرْآنَ إِلاَّ طَاهِرٌ . (سنن الدارمي ، رقم ٢١٦٦)

“Dari Abi Bakr bin Muhammad, ia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah SAW pernah menulis surat kepada penduduk Yaman agar tidak menyentuh al-Qur’an kecuali orang yang suci (punya wudhu’)” (Sunan al-Darimi, [2166])

(Baca juga: Hujjah Aswaja : Shalat ‘Id di Lapangan atau di Masjid?)

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang boleh menyentuh Alquran hanyalah orang-orang yang suci dari hadast besar, karena memang banyak dalil yang menunjukkan hal itu. kecuali anak kecil yang belum baligh dan untuk keperluan belajar, atau karena udzur syar’i lainnya.

Sumber: KH Muhyiddin Abdusshomad. 2010. Fiqih Tradisionalis. Surabaya: Khalista.

 

Related Post