Air Tertelan Saat Berkumur, Apakah Membatalkan Puasa?

Air Tertelan Saat Berkumur, Apakah Membatalkan Puasa?

Penulis: Anisatur Rofi’ah*

Pada dasarnya air yang tertelan itu ada banyak faktor, namun ulama mengerucutkan menjadi dua, yaitu: Ma’mur bih dan Ghairu Ma’mur bih. Faktor Ma’mur bih adalah faktor-faktor di mana seseorang memasukkan air ke dalam mulut sebab perbuatan yang dianjurkan oleh Syariat, sementara yang Ghairu Ma’mur bih kebalikannya, yaitu memasukkan air ke dalam mulut tanpa sebab yang dianjurkan, boleh jadi perbuatan itu dilarang atau sekedar mubah saja.

Terkait dengan hukum air yang tertelan pada saat kumur-kumur, maka harus dibedakan pada persoalan kumur-kumurnya, apakah Ma’mur bih atau Ghairu Ma’mur bih ? Jika kumur-kumurnya dianjurkan (Ma’mur Bih) seperti berkumur-kumur sebanyak tiga kali ketika hendak berwudhu’, atau memasukkan air karena cuaca panas, jika tidak khawatir tidak kuat berpuasa, seandainya airnya tertelan, maka puasanya tidak batal. Tetapi jika kumur-kumurnya tidak dianjurkan (Ghairu Ma’mur bih), seperti berkumur-kumur di empat kalinya (karena yang dianjurkan hanya tiga kali) dalam sunnahnya wudlu, maka puasanya menjadi batal seandainya airnya tertelan. Dalam kitab Ianatut Thalibin dijelaskan:

وَالْحَاصِلُ أَنَّ اْلقَاعِدَةَ عِنْدَهُمْ أَنَّ مَا سَبَقَ لِجَوْفِهِ مِنْ غَيْرِ مَأْمُوْرٍ بِهِ يُفْطِرُ بِهِ أَوْ مِنْ مَأْمُوْرٍ بِهِ وِلَوْ مَنْدُوْبًا لَمْ يُفْطِرْ

“Kesimpulannya: Sesungguhnya kaidah tersebut menurut ulama’ yaitu setiap sesuatu yang masuk ke dalam jauf (rongga) dari perbuatan yang tidak dianjurkan dapat membatalkan puasa, atau dari perbuatan yang dianjurkan, sekalipun sunnah, maka tidak membatalkan puasa” (I’anatut  Thalibin, Juz 2, Hal 265)

Selanjutnya, berangkat dari konsep di atas, ulama’ membagi tiga kasus tentang tertelannya air:

1.         Batal secara mutlak, baik dilakukan secara berlebihan atau tidak. Yaitu air yang tertelan sebab faktor yang tidak dianjurkan, seperti berkumur-kumur di hitungan yang ke empat kalinya atau mandi dengan cara merendam.

2.         Batal jika dilakukan secara berlebihan. Yaitu jika air yang tertelan tersebut akibat perbuatan yang dianjurkan, seperti berkumur-kumur dalam hitungan ke satu, dua atau ketiga.

3.         Tidak batal secara mutlak, baik dilakukan berlebihan atau tidak. Yaitu ketika membersihkan mulut yang dalam kondisi mutanajjis. Sebab menyucikan mulut yang mutanajjis sangat dianjurkan melebihi dari kesunnahan kumur-kumur untuk wudhu’. Dalam kitab Ianatut Thalibin dijelaskan:

وَيُسْتَفَادُ مِنْ هَذِهِ الْقَاعِدَةِ ثَلَاثَةُ أَقْسَامٍ: اَلْاَوَّلُ: يُفْطِرُ مُطْلَقًا بَالَغَ أَوْ لَا وَهَذَا فِيْمَا إِذَا سَبَقَ الْمَاءُ إِلَى جَوْفِهِ فِي غَيْرِ مَطْلُوْبٍ كَالرَّابِعَةِ، وَكَانْغِمَاسٍ فِي اْلمَاءِ لِكَرَاهَتِهِ لِلصَّائِمِ وِكَغُسْلِ تَبَرُّدٍ أَوْ تَنَظُّفٍ. اَلثَّانِي: يُفْطِرُ إِنْ بَالَغَ، وَهَذَا فِيْمَا إِذَا سَبَقَهُ الْمَاءُ فِي نَحْوِ الْمَضْمَضَةِ اْلَمطْلُوْبَةِ فِي نَحْوِ الْوُضُوْءِ. اَلثَّالِثُ: لَا يُفْطِرُ مُطْلَقًا، وَإِنْ بَالَغَ، وَهَذَا عِنْدَ تَنَجُّسِ الْفَمِ لِوُجُوْبِ الْمُبَالَغَةِ فِي غَسْلِ النَّجَاسَةِ عَلَى الصَّائِمِ وَعَلَى غَيْرِهِ لِيَنْغَسِلَ كُلُّ مَا فِي حَدِّ الظَّاهِرِ

“Tiga hal yang dapat dipahami dari kaidah ini. Pertama, puasanya batal secara mutlak, baik dilakukan secara berlebihan atau tidak. Hal ini pada sesuatu apabila air tertelan sampai ke rongga pada perbuatan yang tidak dianjurkan, seperti berkumur-kumur yang keempat, dan berendam dalam air, karena makruhnya berendam dalam air bagi orang berpuasa, dan seperti mandi sekedar berdingin-dingin atau bersih-bersih. Kedua, batal puasanya jika dilakukan dengan berlebihan. Hal ini pada air yang tertelan semisal berkumur-kumur yang dianjurkan dalam seumpama berwudhu’. Ketiga, puasanya tidak batal secara mutlak, sekalipun dilakukan secara berlebihan. Hal ini terjadi ketika mulut menjadi mutanajjis. Ketidak batalan tersebut karena wajib berlebihan dalam membasuh sesuatu yang mutanajjis bagi orang yang berpuasa atau pun lainnya, agar bagian luar mulut juga terbasuh” (I’anatut Thalibin, Juz 2, Hal 265)

Referensi: Hasyiyah al Bajuri, al Fiqh al Manhaji, Busyro al Karim, Fath al ‘Allam, Bughyah al Mustarsyidin, I’anatut Thalibin

*Penulis adalah aktivis Kajian Bahtsul Masa’il Kabupaten Jember

sumber foto cover adalah tribunnews.com

Related Post