Imam Al Auza’i: Musafir Lebih Utama Tidak Berpuasa

Imam al-Auza’i; “Musafir Lebih Utama Tidak Berpuasa”

Oleh; M. Hamdi, S.Sy*

Ulama sepakat bahwa musafir dan orang sakit yang tidak diharapkan sembuhnya dibolehkan tidak berpuasa. Namun apabila keduanya tetap berpuasa, maka puasanya tetap sah. Bahkan apabila keduanya memaksa berpuasa dan mengalami dampak negatif pada kesehatanya disebabkan berpuasa, maka makruh hukum puasa tersebut. Ada sebagian pendapat yang menyatakan kalau puasanya musafir tidak sah, yaitu menurut sebagian pengikut Imam Dawud ad-Dzohiri. Namun pendapat Madzhab Ad-Dzohiri banyak tidak direkomendasikan dalam Fikih, sebab banyak sekali pendapat-pendapat yang tidak sama dengan kebanyakan ulama’. Menurut Imam al-Auza’i, walaupun puasanya musafir itu sah, akan tetapi yang lebih utama adalah tidak berpuasa.

Menurut 3 Madzhab, yaitu Madzhab Syafi’i, Hanafi dan Maliki, seseorang yang pagi harinya berpuasa, lalu melakukan perjalanan (safar), maka tidak diperbolehkan baginya membatalkan puasa. Sedangkan menurut Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam al-Muzani (dari Madzhab Syafi’i), hukumnya boleh membatalkan puasanya.

(baca juga: Menguak Misteri Puasa Ngerowot)

Perihal safar (perjalanan) sebagai sebab dari rukhsah (kemurahan), dibagi menjadi 2 (dua), yaitu safar thowil (perjalanan jauh), dengan jarak minimal 82 KM dan safar qashir (perjalanan dekat), dengan jarak kurang dari 82 KM. Khusus Rukhshah (kemurahan) yang didapatkan sebab safar thowil ada 4, yaitu mengqashar sholat, menjama’ dua sholat, tidak berpuasa pada bulan Ramadhan tatkala keluar dari daerah (balad) nya sebelum keluar fajar shodiq (masuknya waktu sholat Shubuh) dan mengucap dua muzah selama 3 (tiga) hari tiga malam.

Kemudian apabila orang yang melakukan perjalanan sudah tiba dari perjalananya (sedangkan dia dalam keadaan tidak berpuasa), orang sakit sembuh dari sakitnya, anak kecil tiba-tiba baligh, orang kafir masuk Islam atau wanita haid sudah suci, di mana semua ini terjadi pada siang hari bulan Ramadhan, maka menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hanbal, mereka wajib menahan diri dari semua hal yang membatalkan puasa sampai masuknya waktu maghrib. Sedangkan menurut Imam Malik dan pendapat yang lebih shohih (al-ashoh) dalam Madzhab Syafi’i, hukum menahan tersebut adalah sunnah.

Demikian ulasan singkat perihal puasanya musafir. Semoga bermanfaat dan berkah. Wallaahu a’lam bisshowab.

Sumber; Rahmatul Ummah fi Ikhtilafil A’immah, Hal 93; At-Taqriratussadidah fil Masa’il al-Mufidah, Hal 312

*Penulis adalah staf pengajar BMK di MA Unggulan Nuris

Related Post