Kembangkan Pendidikan Nonformal Berbasis Potensi Kedaerahan

Jawab Tantangan Pendidikan Kekinian dengan Prinsip Superteam bukan Superman

penulis: Handini Fatihatun Nabila*

Tut…tut , tut ..tut.  Begitulah suara nada sambung telepon seluler di sore itu. Gawai yang berada di tangan saya tiba-tiba menyeruakkan suara tegas dan berwibawa. Diawali dengan sapaan hangat dari beliau hingga percakapan tentang lembaga PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) yang mengalir begitu saja.

Berangkat dari kesadaran diri tentang penyesalan orang-orang yang putus sekolah, Rizal Dhofir S.S., M.Pd. menjadi penggerak PKBM Miftahun Najah. Kesukarelaan untuk membantu seorang yang putus sekolah menjadi target utama dalam kehidupan beliau. Diwujudkan dengan kehadiran lembaga nonformal PKBM yang mempunyai konsep berbeda dengan pendidikan formal, hingga akhirnya dia bisa mewakili kontingen Banyuwangi menjadi pengelola PKBM terbaik ke-2 Nasional.

Dunia belajar yang dikemas dengan aturan yang lebih “gamblang” dibanding pendidikan formal menjadikan kebebasan tersendiri bagi warga belajarnya. Program unggulan yang diusung yakni, keaksaraan dan kesetaraan juga dituangkan dalam lembaga PKBM Miftahun Najah yang digerakkan oleh pria 31 tahun itu.

“Cuma kita tekankan pada keterampilan warga. Kalo kita samakan dengan formal mereka bosan kan sebenarnya. Kita coba terapkan konsep keterampilan. Warga belajar itu lebih butuh keterampilan.” Ujarnya.  

Kecerdasan Pak Dhofir dalam mengelola PKBM Miftahun Najah menjadikan keunikan tersendiri dari lembaga tersebut. Bukan hanya pengembangan skill yang difokuskan pada target pasar dengan meninjau potensi daerahnya, melainkan juga mempunyai kefleksibelan dalam metode belajarnya. Sistem SK       K (Sistem Kreadit Kompetensi) yang memunculkan sistem placement test juga membuktikan bahwa kurikulum sudah cukup seimbang dengan pendidikan formal.

(baca juga: Pendidikan Pesantren Terobosan Jitu Minimalisasi Kenakalan Remaja)

Kopjar (Kelompok Belajar) secara terpisah di beberapa tempat (kondisional) yang digagas dalam lembaga PKBM, secara tidak langsung memunculkan rasa kebebasan dalam menimba ilmu. Pasalnya warga belajarnya yang tidak terbatas usia bisa ikut mencicipi pendidikan di sana. Bahkan,  kesempatan belajar dengan jadwal dan lokasi yang luwes tersebut tetap dapat berlangsung dengan baik meski pandemi covid19.

“Di PKBM itu sudah menerapkan pembelajaran daring sedari dulu. Itu dari pemerintah. Jadi ketika kita dihantam covid-19 tidak berimbas banyak,  tepat pada tanggal 28 Oktober 2019 lalu Kabupaten Banyuwangi memecahkan rekor MURI lho dalam pembelajaran daring terbanyak dengan total peserta 2150.” Tuturnya menjelaskan dengan bangga.

Sosok supel itu juga menambahi bahwa merdeka belajar menurutnya adalah dimana saat kita enjoy dalam menikmati pembelajaran. ”Merdeka belajar kita dapat melalui fleksibelnya kita, mau belajar di mana pun dan kapan pun sudah kita terapkan dari dulu.” Lugasnya meyakinkan. Dari situlah muncul sebuah slogan “ Dari Kami Untuk Negeri .”  

“Kita itu selalu bertanya terus apa yang bisa kita dapatkan dari bangsa ini. Ya kita hanya tenggelam dengan pertanyaan itu terus. Tapi kita coba lah memberikan sesuatu yang barangkali bermanfaat untuk negeri ini melalui pendidikan.” Ungkapnya meyakinkan dengan nada suara yang tegas.

Menurut beliau, pendidikan nonformal PKBM ini tidak mudah untuk dirintis. Masyarakat yang belum paham pentingnya pendidikan harus tetap membela perekonomian mereka. Kebanyakan orang yang putus sekolah memang dipengaruhi oleh perekonomian yang tidak menopang kehidupan mereka dan adanya mind-set yang kurang percaya terhadap efek dari pendidikan.

Menghadapi tantangan itu, ayah dengan dua anak tersebut tidak kehabisan akal. “ Saya tipikal orang yang suka kerja tim. Kalau bahasanya pak bupati itu anti-mainstream yang tertuang dalam bukunya. Sekarang gak ada bahasanya superman adanya superteam demi membangun sebuah lembaga yang kuat.” Tangkas beliau.

Dari situlah, dia terinspirasi bisa mengubah mind set warga belajarnya yang putus sekolah tentang kualifikasi dan inventaris pendidikan di masa depan. Tak hanya itu, program belajar bagi warga di bawah 21 tahun juga disajikan untuk mengurangi ketakutan warga tentang perekonomian mereka yang makin menurun karena bersekolah.

PKBM yang digagas oleh Pak Dhofir tersebut mendapat support oleh pemerintah. Beliau mengakui bahwa pendanaan yang didapatkan untuk mengelolah PKBM ini berasal dari pemerintah melalui BOP (Bantuan Operasional Pemerintah) dan juga suplai dari program hibah yang sifatnya kompetitif. “Contohnya, seperti pelatihan ayam broiler tahun lalu. setelah mereka dapat ilmu, mereka dikasih modal untuk mengimplementasikan ilmu yang mereka telah dapat.” Jelasnya.

Pendidikan nonformal di PKBM ini juga memberikan output yang luar biasa bagi warga belajarnya. Seperti halnya, seorang alumni PKBM yang sukses dengan bisnis ayam broiler yang dirintisnya semenjak menimba ilmu di PKBM Miftahun Najah. ”Gimana caranya saya itu ibaratnya orang tukang jamu saya itu hanya tukang meracik dan meramu. Jadi yang bisa menyembuhkan itu obatnya, ya anak itu sendiri.” Tuturnya berkisah.

“Keterbatasan satu, kita kan belum punya gedung khusus sekolah punyanya PKBM, dan kedua kualitas itu tetep kita genjot.” Ungkap dia menjadikan harapan PKBM ke depannya. Bukan hanya itu saja,  adanya PKBM Miftahun Najah di seluruh penjuru kota juga menjadi harapan besar beliau. Tak lupa lahirnya tutor-tutor baru yang memahami keilmuan, siap mendampingi secara komperhensif, dan yang terpenting mau mengabdikan diri di PKBM.

Berkaca dari pendidikan di Indonesia yang notabene-nya kurang maksimal dalam segi metode belajar membuat Pak Dhofir menuturkan agar lebih baiknya pendidikan dibawakan sesuai dengan kebutuhan. Dari situlah, kita bisa menilai bagaimana sekolah hadir sebagai fasilitator pendidikan. Alangkah baiknya jika pendidikan di Indonesia juga mampu memahami karakteristik peserta didiknya secara baik dan juga memahami karakteristik potensi daerahnya.

Pengelolah PKBM Miftahun Najah sekaligus kepala sekolah MA Ummul Quro di Banyuwangi ini juga menyertakan harapan terdalamnya untuk pendidikan di Indonesia. ”Kalau saya pribadi ingin kurikulum lebih sampai, lebih fleksibel, dan lebih jangan kaku lah.” Ujarnya. Tak hanya itu, Mungkin bagi para pengajar, hal yang dilakukan untuk mengabdi di PKBM itu hanyalah sesuatu yang kecil. Tapi  Bagi mereka yang terbantukan itu adalah sesuatu kebahagiaan bagi mereka tersendiri.[]

*penulis adalah siswa SMA Nuris Jember dan juga aktif sebagai anggota ekskul jurnalistik

Rizal Dhofer (duduk paling tengah) bersama para tutor PKBM MIftahun Najah
Related Post