Ikhtiar Pesantren dalam Meneguhkan Aslussunnah Wal Jamaah

Penulis: KH. Muhyiddin Abdusshomad*

Pengantar

Tidak diragukan lagi bahwa pesantren merupakan salah satu benteng ajaran Ahlussunnah Wal Jama’ah di Indonesia.  Dengan segala metode pengajaran serta beragam keilmuan yang diajarkan didalamnya, pesantren Indonesia berusaha terus menyebar luaskan ajaran Aswaja. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa pesantren merupakan basis utama penyebaran ajaran Aswaja di Indonesia. Sudah tidak terhitung jumlah alumni pesantren di Indonesia. Sudah tidak terbilang pula berapa banyak pesantren di Indonesia menghasilkan kader-kader Aswaja. Di Indonesia setiap alumni pesantren terhitung sembilan puluh persen dapat di pastikan sebagai penganut Ahlussunnah Wal Jama’ah.

(Baca Juga: celana cingkrang, cadar, dan jenggot dalam perspektif syariah)

Namun, yang menjadi pertannyaan kemudian adalah; apakah mereka telah menjadi kader-kader Aswaja yang mumpuni, yang dapat diandalkan untuk meneguhkan dan memperjuangkan Aswaja di tengah masyarakat? Yang tidak hanya menjadi pengamal ajaran Aswaja, tetapi ” siap” berada di garis terdepan dalam membela ajaran Aswaja, khususnya dalam pertarungan pemikiran dan ideologi saat ini. Pertannyaan ini juga penting, apakah para santri yang mengaku “kader” Aswaja itu sudah membela dan memperjuangkan Aswaja dari kelompok-kelompok seperti Wahabi , Syi’ah, HTI dan lain-lain yang tanpa kenal  lelah menyerang akidah Aswaja dan amaliyyah yang diyakini oleh mayoritas umat Islam di Indonesia ini?

Pertanyaan ini memang harus dikemukakan sebagai bahan introspeksi dan koreksi bersama. Pada umumnya, alumni pesantren kita hanya pandai dan tekun dari sisi amaliah saja, tanpa dibekali dalil-dalil keagamaan sebagai dasar dari akidah dan amaliyyah tersebut. Misalnya santri  hanya terbiasa melakukan tahlilanistighatsah, tawassul dan semacamnya, sayangnya belum mengerti dasar hukum dari Al-Qur’an dan hadits atas keabsahan akidah dan amaliyyah tersebut. Jelas, mayoritas diantara kita adalah Aswaja warisan orang tua atau hanya sekedar taqlid buta kepada para kiyai dan ulama  pesantren yang mengajarkan akidah dan amaliah tersebut.

(Baca juga: dapatkah kita melihat Allah swt di surga?)

Akibatnya dapat diperkirakan, ketika ada “serangan” dari kelompok lain yang menyalahkan keyakinan tersebut, kita pun kelabakan, kebakaran jenggot serta tidak dapat memberikan jawaban apa-apa. Pada beberapa kasus tertentu, akhirnya tanganlah yang berbicara, mengambil  jalan kekerasan akibat ketidakmampuan tersebut.

Ini tentu preseden buruk dalam kehidupan beragama kita. Mencoreng citra agama islam sebagai agama yang mengajarkan perdamaian mengedepankan musyawarah dalam segala persoalan. Seakan-akan islam agama yang mengajarkan kekerasan untuk menyelesaikan suatu persoalan. Salah satu penyebabnya adalah sistem pendidikan yang selama ini dijalankan di pesantren tidak diorientasikan untuk menghadapi realitas nyata yang dihadapi umat saat ini. Khususnya dengan semakin berkembangnya ajaran transnasionalisme yang terus menyerang eksistensi keberagaman golongan Aswaja, umumnya yang diajarkan di pesantren kitab-kitab klasik tanpa ada usaha untuk mengaktualisasikan dengan kondisi kekinian. Para santri tidak diberikan pendalaman tentang ajaran Aswaja secara mendalam begitu pula dengan keterampilan berdialog untuk membendung serangan dari kalangan yang anti Aswaja. Kitab karangan ulama salaf seperti  Aqidatul AwamSullam al-Taufiqal-Hidayahihya’ Ulumiddin dan sebagainya ibarat mutiara untuk mempertahankan aswaja. Namun mutiara itu akan hilang kemilaunya jika tidak ada usaha untuk menyambungkanya dengan kondisi saat ini. Karena sesungguhnya apa yang sekarang dipersoalkan oleh kelompok transnasionalisme adalah persoalan-persoalan klasik yang sudah mendapatkan jawaban secara paripurna oleh ulama salaf. Tinggal bagaimana kita berusaha untuk menggali warisan yang sangat mulia tersebut.

Pelajaran Aswaja yang diajarkan di sekolah, baik di tingkat Tsanawiyah, Aliyah, bahkan Perguruan Tinggi dirasa masih belum mampu untuk menjawab tantangan zaman. Tidak  ada penguatan materi-materi Aswaja khususnya untuk meneguhkan akidah dan amaliyyah yang selalu dipersoalkan. Materi yang disajikan lebih bersifat nostalgia masa lalu, semisal mengenang keberhasilan ulama dalam memperjuangkan agama islam di Indonesia.

Hal ini diperparah dengan lemahnya sumber daya kalangan pesantren dalam mengikuti  perkembangan teknologi. Ketika semua kalangan sudah sibuk bermain dengan dunia maya dan menggunakannya sebagai media dakwah dan menyebarkannya, kita kaum pesantren masih ada yang tidak mengerti apa yang disebut internet, bahkan komputer pun tidak bisa mengoprasikannya. Dan yang paling tragis malah muncul fatwa haram terhadap salah satu media dalam dunia maya tersebut.

Pendidikan Pesantren Masa Depan

Berangkat dari beberapa kekurangan ini, maka sudah seharusnya wajah pendidikan di pesantren semakin diperelok dengan berbagai pendalaman tentang Aswaja. Kekayaan khazanah keislaman klasik yang memiliki pesantren harus dapat dimanfaatkan secara maksimal sehingga dapat mencetak kader Aswaja yang benar-benar memiliki keilmuan yang  mendalam.

Selanjutnya, sudah saatnya  para santri diberi pelajaran khusus tentang beberapa kelompok diluar Aswaja yang berkembang saat ini semisal Hizbut Tahrir, Wahabi/Salafi, Syi’ah, LDII dan semacamnya. Materi ilmu kalam juga harus ditambah dengan penelitian mendalam tentang kelompok-kelompok tersebut.

Urgensitas dari kajian ini sudah tentu mengenali “lawan” kita. Mempelajari kelemahan serta akidah mereka yang menyimpang dari ajaran Aswaja. Tujuan akhirnya adalah agar para santri kita dapat membentengi akidah umat, tidak ikut-ikutan masuk ke dalam kelompok mereka atau yang paling tragis ikut berjuang bersama mereka menyerang akidah Aswaja. Yang harus diperhatikan, kajian Aswaja ini buka dalam rangka memberangus paham yang lain apalagi dengan cara-cara kekerasan. Hal tersebut amat bertentangan dengan strategi dakwah yang diajarkan oleh para pendiri NU.

Dari dahulu para ulama NU selalu menekankan sifat tasamuh terhadap perbedaan, toleransi tidak berarti membenarkan apalagi mendukung pihak lain yang akan mengobok-obok Aswaja, tentu hal ini langkah bunuh diri, akan tetapi hanya bersifat menghargai guna menjaga hubungan kemanusiaan antara warga NU dengan pihak-pihak yang berbeda. Jadi, maksud dari ikhtiar mendalami Aswaja ini adalah lebih kepada konsolidasi ke dalam, meneguhkan keyakinan warga NU akan membenarkan ajaran Aswaja sehingga mereka tidak terpengaruh dengan paham-paham yang banyak menggerogoti warga NU diberbagai daerah seperti Wahabi, Syi’ah, HTI dan lain-lain.

Oleh karena itu, baik sekali jika dibuat semacam kelompok kajian yang secara spesifik dari kalangan santri yang cerdas untuk mengkaji Aswaja secara intens dan dilengkapi dengan kepustakaan yang memadai dibawah bimbingan beberapa guru yang menekuni bidang Aswaja. Pada tahap berikutnya didirikan semacam Aswaja center sebagai pusat kajian Aswaja.

Selanjutnya, semua kemajuan teknologi yang dapat mendukung pendalaman dan dakwah islamiyyah segera dikuasai. Teknologi itu ibarat pisau bermata dua, bisa membahayakan atau menguntungkan. Kita tidak bisa memusuhi atau antipati terhadap kemajuan teknologi, karena tidak ada yang salah dalam teknologi, tinggal bagaimana kita memanfaatkannya sehingga dapat berguna bagi  kita semua.

Inilah semboyan yang selalu didengung-dengungkan pada pendahulu kita:

Berpegang teguh kepada sesuatu yang lama yang masih relevan dan mengambil hasil temuan baru yang lebih baik.

Sejatinya konsep ajaran Aswaja itu telah final sesuai dengan apa yang telah dirumuskan oleh para pendiri NU. Tugas kita sekarang adalah  meneruskan dan mengembangkan sesuai dengan tuntutan zaman. Semisal, Aswaja kaitanya dengan HAM dan demokrasi, Aswaja dan pengentasan kemiskinan dan keterbelakangan, Aswaja dan lingkungan hidup, Aswaja dan dekadesi moral, dan lain sebagainya. Bukan malah “dikacaukan” dibawa kesana kemari untuk kepentingan sesaat.

Untuk tujuan ini maka seluruh unsur yang terlibat dalam proses pendidikan di pesantren, memiliki peran yang sangat penting. Wa bil khusus ustadz dan ustadzah -tanpa melihat bidang pelajaran yang mereka ajarkan-  harus memiliki wawasan keaswajaan yang baik. Mereka adalah ujung tombak pendidikan Aswaja di pesantren. Setiap hari para santri berinteraksi dengan ustadz dan ustadzahnya. Dari merekalah para santri memperoleh pengetahuan ajaran Aswaja.

Sebelum menanamkan ajaran Aswaja kepada para santri, tugas pertama yang dilakukan adalah membekali pemahaman tenaga pendidikannya dengan ajaran Aswaja yang benar sebagaimana telah diajarkan oleh para pendiri NU.

Jika di beberapa lembaga pendidikan sudah di kembangkan konsep “semua guru adalah guru agama” sebagai wujud tanggung jawab mereka untuk menjaga agama peserta didik, maka perlu juga dikembangkan konsep “semua  guru adalah guru Aswaja”, dalam pengertian bahwa semua pendidikan memiliki beban dan tanggung jawab yang sama untuk menanamkan akidah Aswaja kepada peserta didik.

Jika perlu, pada rekrutmen guru dilaksanakan pula tes seleksi “Aqidah”. Apakah aqidah calon guru itu sudah sesuai dengan visi dan misi pesantren terutama paham Aswaja an-Nahdliyyah. Tujuannya jelas agar mereka mampu untuk menanamkan akidah Aswaja  kepada para santri. Di samping itu, agar mereka tidak menjadi api dalam sekam atau musuh dalam selimut, dalam upaya pengembangan Aswaja di lingkungan pesantren.

Related Post