Mengurai Kabut di Cakrawala Pesantren

Penulis: Durrotun Nadhifah*

Di teras masjid burung-burung kecil mendarat loncat ke sana kemari seraya merasakan semilir angin menyela bulu halusnya. Ada satu burung celingukan di tepi teras depan, burung itu menatap pintu gerbang berjeruji besi hitam, gerbang yang tinggi hampir setengah pohon kelapa tertutup rapat meski tak terkunci. Rantainya melilit di gagang gerbang berbandul gembok hitam kepalan tangan orang dewasa.

Di balik pintu jeruji besi, beribu-ribu santriwati tinggal di empat gedung yang saling bertatapan, beberapa santriwati tertidur pulas di lantai kamar belaras kasur tipis setipis karpet. Mereka tidur berjejer bagai ikan asin yang dijemur dan di panggang. Mencuci setumpuk pakaian itu adalah hal yang lumrah bagi santriwati, di tengah-tengah deretan kamar mandi, peluh belasan santriwati berjejer membungkuk memeras pakaian mengucur, meski kurang lebih dua pulu pancuran air dari selang yang tak berkran mengalir deras sehingga menimbulkan cipratan kedinginan.

Suara sikat baju menyaingi mereka yang ngerumpi, sesekali ada seseorang santri yang sembari membilas pakaian tertawa mendengar cerita dari teman sampingnya, tak jarang sikat cuci saling pinjam, dilempar kesana kemari, sabun cuci dan sabun colek pun terkadang hanya satu berbagi.

Di antara santriwati lebih memilih mandi dini hari, santri tak ingin duduk berjongkok bersandar di tiang jemuran menunggu antrean sembari menggigit sikat gigi dengan handuk melilit di leher dan mata menatap kesal ke arah pintu kamar mandi karena merasakan cipratan air dari kolong pintu. Untuk mengantisipasi kejadian tersebut sebagian santri memilih bangun lebih pagi.

(baca juga: Anyaman Kematian yang Melarung Jiwa)

Alya dan Ayla saudara kembar yang tak jarang semua orang tak mengetahui perbedaan antara mereka. Mereka sama dalam fisik namun berbeda prilaku. Berapa tahun sudah mendiami Pesantren Nuris. Merasakan kehidupan pesantren yang tak semua orang rasakan. Ada bahagia dan sedih yang mereka rasa. Namun tampaknya mereka begitu menikmati suasana pesantren.

“Bingung…” Seruku.

Seekor hewan mengejar dengan langkah lajunya. Aku tersesat bingung apa yang harus ku lakukan. Inginku lari dari kenyataan ini namun apa boleh buat, tubuhku kaku entah bagaimana ini dapat terjadi padaku. Nihil. Hewan itu terus saja mengejarku tak menghiraukan tenaga yang kupunya. Semakin dekat, semakin dekat, dekat hingga hewan tersebut hampir menyentuhku

“Arhgg….” Aku terjerat dan tersingkir terpeleset ke dalam jurang, kumersakan sakit yang tiada tara. Meminta pertolongan menjerit. Namun tak ada seorangpun yang mengetahuinya. Kumenangis…. Meminta agar seseorang merasakan apa yang kurasakan, air mata mengalis membasahi garis pipi yang tergambar jelas terpampang. Seseorang datang membangunkanku ketika tangis tumpah ruah bagai aliran hujan. Membasahi tubuh namun air ini nyata, seseorang mengguyur tubuhku dengan segelas air. Terbangun aku. Semua itu merupakan alam bawah sadarku saat ustadzah menerangkan pelajaran dan kutinggal tidur. Ketika kuremang-remang melihat seseorang yang berada di sampingku sekarang, seakan tak percaya kumenggosok-gosok mata ini. Namun terlihat jelas terpampang wajah ustadzah Fatim.

“Maaf Ustazah saya ketiduran,” mohonku pada ustazah.

“Memang selalu saja Kau begitu. Kali ini saya maafkan Kamu, Alya. Namun, saya akan memberimu hukuman atas semua perbuatan ini.” Ustazah menjewer telingaku yang membuat temen sekelas tertawa. ”ikuti saya Alya.” Pinta ustazah pada Alya.

Ustazah membawa Alya untuk memjemur pakaian yang basah sebat tersiram tadi. Seluruh santri melihat kejadian itu. Malu berbalut dingin yang Alya rasakan.

Tet…..tet…… Bel pulang telah berbunyi Alya bergegas membawa tas dan segera kembali ke kamarnya, menutupi rasa malu. Sesampainya di kamar Alya kembali berbuat kegaduhan.

“Ee…. Siapa yang punya sisir rambut kecil buat hewan kecil hitam menggemaskan yang menari-nari ini.” Alya bersorak hingga teman-temannya menutup telinga sambil melotot karena suaranya yang melengking bak piring yang dilempar pecah menggemparkan dunia.

Serentak mereka menjawab, “Jangan rame Alya…!”

“Alya jadi perempuan boten pareng urak-urakan, yang halus gitu kalau bicara.” Ayla saudara kembarnya menasihatinya.

“Enggeh….. teman-teman ada yang punya sisir kutu?” Alya menanyakan pada temennya dengan nada bicara yang halus tak seperti tadi.

“Ini Alya… lain kali kalau bicara seperti ini kan enak.” Marni menasihati sambil menyodorkan sisir pada Alya.

(baca juga: Akara Akalpa)

Alya pun mengambilnya dan memulai aksinya. Satu, dua, tiga, dan bertambah banyak lagi kutu yang Alya dapatkan tak jarang Alya disebut ratu kutu karena hal tersebut. Menurut Alya santri banyak kutu adalah santri yang memang sungguh-sungguh di pesantren. Jadi Alya terbiasa dengan sebutan itu. Selesai melakukan aksinya, Alya keluar dari kamarnya dan meminjam sandal teman tanpa meminta izin terlebih dahulu. Ketika Alya melakukan aksinya seseorang datang dan meminta sandal yang akan dipakai Alya.

“Alya mana sandalnya? Aku juga mau keluar, mau mandi. Kamu pinjam saja ke yang lain, makanya beli sandal agar tidak meminjam seperti ini, namanya ghosob.” Tutur siska.

“Biar dah,”celetuk Alya dengan rasa ego dan tanpa muka bersalah.

“Hem,” diam Siska memahami sifat Alya.

Beda halnya dengan Ayla yang sehariannya sibuk menghafal kalam ilahi, kesunnahannya pun terlaksana dengan baik apalagi wajibnya takkan pernah ada kata lelah dalam menjalani. Ayla tidurnya larut malam karena sibuk beribadat kepada Tuhan sedangkan Alya sangat sulit untuk mengerjakan kesunnahan lebih-lebih tidak melalaikan wajibnya itu suda baik menurut Alya. Sepertiga malam Ayla bangun untuk menunaikan ibadahnya pada Ilahi dan menyempatkan waktu untuk menyantap sahur agar kebesokan harinya tubuhnya fit dan stamina dalam mengerjakan suatu hal yang disunnakan tidak lalai.

Ada saja cobaan yang diterima olenya. Dalam kealimannya ternyata Ayla mempunyai penyakit yang tak kunjung sembuh. Penyakit yang telah lama mendekam di tubuhnya sejak kelahirannya. Ginjalnya sedikit tidak berfungsi dengan baik. Setiap bulan selalu memeriksa keadaannya. Namun, tak ada yang dapat dokter lakukan kecuali ada pendonor yang ikhlas mendonorkan ginjalnya, dokter hanya memberi resep agar ginjalnya tak begitu sakit ketika kambuh selebihnya semua ada di tangan sang pencipta. Ayla orang yang sabar, ia ikhlas menerima apapun yang ia alami. Meski sikap saudara kembarnya selalu membuatnya sakit namun ia tetap saja sabar dan baik terhadap Alya saudaranya.

“Ayla nanti Kamu yang ngerjakan tugas itu ya! Kita kerja sama, Kamu yang kerja nanti aku yang sama.” pinta Alya pada saudaranya seolah tak berdosa.

Ayla yang polos hanya dapat tersenyum dan mengiyakan semua perintah Alya.

###

PANGGILAN DITUJUKAN KEPADA AYLA dan ALYA DITUNGGU KEHADIRANNYA DI GEDUNG PERTEMUAN DIKARENAKAN ORANG TUA TERCINTA SEDANG MENUNGGU ANANDA.

Terdengar pengumuman dari sebuah stand pengeras suara yang membuat keduanya terkejut. Alya yang sedang tidur langsung bangun seketika mendengar pengumuman tersebut, lain halnya denga Ayla yang ketika itu sedang melakukan salat sunnah dhuha seraya memanjatkan doa kepada-Nya. Beranjaklah segera mereka ke gedung pertemuan agar lebih cepat bertemu keluaga karena lama tak bersua rasa rindunya smakin lama terpendam.

“Assalamualaikum!” Keduanya menjabat tangan keluarga yang menemui mereka.

“Waalaikumsalam, gimana kabarnya?”

Mereka berkumpul dan berbincang-bincang lama hingga gedung pertemuan akan segera ditutup kembali, akhirnya keluarga pulang dan mereka kembali ke kamar. Sampai di kamar langsunglah seluruh anggota kamar saling berebut makanan hasil kiriman tadi. Mereka berebut layaknya ayam ketika diberi makan, sampai-sampai tak sengaja tangan temannya ada yang keinjak akibat gerombolan tersebut menyerbu.

“Hey… hati-hati!” Kata Sinta.

“Pelan, liat-liat dong.” Ujar Marni.

“Aduuuhhh.” Sebagian santri mengaduh karena kesakitan.

Mereka  menyerbu karena takut tak kebagian kiriman. Namun semuanya asyik mereka lakukan. Hingga makanan habis tak tersisa.

Suatu ketika Ayla tidak sengaja mengucap kalimat “tidak” pada Alya hingga Alya marah serta membentak-bentak saudaranya. Bukan karena tidak mau menuruti, namun Alya meminta Ayla untuk menyucikan pakaian kotornya ketika Ayla masih melaksanakan kesunnahannya. Semua ucapan Alya lontarkan pada Ayla hingga membuat Ayla jatuh pingsan.

###

Keindahan awan yang menawan, matahari seakan memamerkan cahaya indahnya yang begitu memukau terlihat cerah dengan lukisan indah tuhan. Namun, beda halnya dengan Ayla yang sekarang sedang mempertaruhkan nyawanya di dalam ruang khusus. Sunyi sepi hanya ada suara alat untuk mengukur denyut jantung yang terdengar. Ayla tidak mengetahui sejak kapan penyakit itu bersarang di tubuhnya. Akhir-akhir ini Ayla sering mengeluarkan darah dari hidungnya, keadaannya sangat lemah hingga terpaksa ia berada di ruangan yang senyap ini, tanpa ada seseorang. Dokter mengatakan bahwa penyakit Ayla mengahrsukanya mengalami pencucian darah. Sering kali ketika menjalani pengobatan, rambut Ayla gugur satu per satu akibat obat-obatan yang dokter berikan pada tubuh Ayla. Ia sudah tidak berdaya lagi, Ayla rasa tubuhnya tidak kuat untuk menopang semua obat-obatan yang dimasukkan lewat suntikan. Semangat hidup Ayla sekarang berkurang Ayla tak mampu lagi menderita penyakit yang dideritanya.

Tapi masih tersisa semangat, pesantren membuatnya bertahan menahan sakit. Meski didagnosis karena faktor genetik. Ia baru tau, justru semakin menggebu. Keyakinannya, pesantren adalah rumah tempat pulang yang terindah. Sebulan lagi menjelang akhir.[]

*Penulis adalah alumni MA Unggulan Nuris Jember lulusan tahun 2021. Karya cerpen ini adalah salah satu karya terpilih dalam ajang GSMB tingkat nasional

Related Post