Tata Krama kepada Guru (Bagian #5)

Kelima: Mencatat pelajaran yang penting kemudian mempelajarinya

لاَ تَكْتُبَنَّ فِى كِتَــابٍ غَيْرَ مَـــا            أَفَادَ قَارِئًا يَكُوْنُ مُسْلِمَـــــا

Kitabmu jangan kau coret seenaknya  

agar mudah dimengerti pembacanya

بَلِ اشْتَغِلْ بِــــالْعِلْمِ وَالْمُطَالَعَـةْ           وَاجْتَنِبِ الْجِدَالَ وَالْمُنَازَعَـــةْ

Rajin-rajinlah mengulang pelajaran

hindarilah debat serta pertengkaran

Syarah:

Menulis penjelasan guru bukan asal menulis. Tapi ada batasannya yaitu jangan sampai menulis selain hal-hal yang bermanfaat bagi orang Islam yang membacanya. Jika dirasa tidak akan memberi manfaat, lebih baik tidak perlu ditulis.

Bagi seorang murid, menulis penjelasan guru itu penting. Dan harus diiringi dengan mutalaah atau mengulang-ulang pelajaran, sehingga setiap hari kita akan ada tambahan ilmu. Muhammad ibn al-Hasan ibn ‘Abdullah, murid Abû Yûsuf, mendapat nasihat yang dikutip oleh az-Zarnûjîy:

وَكُنْ مُسْتَفِيْدًا كُلَّ يَوْمٍ زِيَـادَةً            مِنَ الْعِلْمِ وَاسْبَحْ فِى بُحُوْرِ الْفَوَآئِدِ

(تعليم المتعلم ، ص. 28)

Raihlah ilmu setiap hari supaya bertambah,

dan berenanglah di lautan makna

(Ta’lîm al-Muta’allim…, h. 28).

Allah Swt memerintahkan Nabi Muhammad untuk berdoa supaya diberiNya tambahan ilmu:

…رَبِّ زِدْنِى عِلْمًا (سورة طه: 114)

Wahai Tuhanku, tambahkanlah ilmu kepadaku (Qs. Thâhâ: 114).

Keterangan di atas menunjukkan bahwa betapa penting bagi murid untuk menyibukkan diri dengan belajar dan terus mempelajari pelajaran yang sudah disampaikan oleh guru. Sehingga, selalu ada pengetahuan baru setiap hari.

(baca juga: Seri ke-5 Ngaji Aswaja; Kewajiban Taklid dan Fenomena Matinya Kepakaran)

Itu sebabnya, berdebat tentang suatu pemahaman mesti ia jauhi, jika tujuannya hanya untuk meningkatkan gengsi atau saling menjatuhkan. Berdebat itu kosong. Hasilnya hanya kalah dan menang. Bukan kebenaran, malah saling menyalahkan. Kalaupun ada yang didapat, ilmu tersebut tidak akan mengantarkan pada kebaikan pribadi apalagi masyarakat. Dalam hal ini perlu diperhatikan bahwa Nabi Muhammad Saw berpesan:

قَالَ رَسُوْلُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنِ ازْدَادَ عِلْمًا وَلَمْ يَزْدَدْ هُدًى، لَمْ يَزْدَدْ مِنَ اللهِ إِلاَّ بُعْدًا_رواه الديلمى

Barang siapa yang bertambah ilmunya tapi tidak bertambah hidayahnya, maka (itu berarti) ia akan semakin jauh dari Allah Swt— (diriwayatkan oleh ad-Dailamîy)

Ada sebagian orang yang ilmunya bertambah banyak namun tidak dapat meningkatkan ketakwaannya kepada Allah Swt. itu sebagai tanda bahwa ilmunya kurang bermanfaat apalagi ilmunya hanya dijadikan bahan untuk perdebatan yang sia-sia seperti debat kusir dan sebagainya.

Ilmu yang seharusnya dipahami dengan baik dan diimplementasikan dalam wujud amal saleh malah digunakan untuk pamer pengetahuan kepada orang lain. Ilmu semacam ini yang disebut dengan menjauhkan pemiliknya dari Allah Swt. Perihal perdebatan tidak secara keseluruhan dilarang ada waktu-waktu tertentu berdebat itu dibutuhkan dan diperbolehkan tentu dengan syarat yang sesuai dengan petunjuk agama. Ibn Katsir menjelaskan sebagai berikut:

 وَقَوْلُهُ { وَجَادِلْهُم بِالَّتِيْ هِيَ أَحْسَنُ } ، أَيْ مَنْ احْتَاجَ مِنْهُمْ إِلَى مُنَاظَرَةٍ وَجِدَالٍ ، فَلْيَكُنْ بِالْوَجْهِ الْحَسَنِ بِرِفْقٍ وَلَيِّنٍ وَحُسْنِ خِطَابٍ كَقَوْلِهِ تَعَالَى : { وَلاَ تُجَادِلُوْا أَهْلَ الْكِتَابِ إِلاَّ بِالَّتِيْ هِيَ أَحْسَنُ إِلاَّ الَّذِيْنَ ظَلَمُواْ مِنْهُمْ } [ العنكبوت : 46 ] الآية ، فَأَمَرَهُ تَعَالَى بِلَيِّنِ الْجَانِبِ ، كَمَا أَمَرَ بِهِ مُوْسَى وَهَارُوْنَ عَلَيْهِمَا السَّلَامُ حِيْنَ بَعَثَهُمَا إِلَى فِرْعَوْنَ فِيْ قَوْلِهِ : { فَقُولاَ لَهُ قَوْلاً لَّيِّناً لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى } ( طه : 44 )

“Adapun firman Allah Swt yang artinyaBerdebatlah dengan mereka menggunakan cara yang baik” artinya mereka yang perlu dilayani dengan dialog dan debat, hendaklah dilakukan dengan cara yang baik, dengan santun, lemah lembut dan tutur kata yang bagus. Sebagaimana firman Allah Swt yang artinya “Janganlah kalian berdebat dengan ahli kitab (yahudi dan nasrani) melainkan dengan cara yang baik. Kecuali orang-orang yang zalim diantara mereka” Allah Swt memerintahkannya (perdebatan tersebut) agar dilakukan dengan lemah lembut sebagaimana yang Allah Swt perintahkan kepada Musa dan Harun ketika keduanya diutus kepada Firaun, di dalam firman Allah yang artinya “maka berbicaralah kalian (Musa dan Harun) kepadanya dengan lemah lembut mudah-mudahan ia ingat atau takut. (Tafsir ibn Katsir Juz 4 hal 613)

As Syaikh Nashr bin Muhammad bin Ibrahim as Samarkandi ketika menafsirkan ayat 44 Surat Thaha tersebut menjelaskan sebagai berikut:

وَ أَنْتَ لَسْتَ بِأَفْضَلَ مِنْ مُوْسَى وَ هَارُوْنَ وَ الْفَاجِرُ لَيْسَ بِأَخْبَثَ مِنْ فِرْعَوْنَ وَ قَدْ أَمَرَهُمَا اللهُ تَعَالَى بِلَيِّنِ الْقَوْلِ مَعَ فِرْعَوْنَ (بستان العارفين 45(

“Engkau tidak lebih utama dari nabi Musa As dan nabi Harun As; para pendosa tidak lebih buruk dari Fir’aun, Allah Swt. memerintah keduanya (Musa dan Harun) agar bertutur kata dengan lemah lembut kepada Fir’aun.” (Bustanul Arifin hal 45)[AF.Editor]

*terjemahan Kitab Tarbiyatus Shibyan oleh KH. Muhyiddin Abdusshomad, Syaikhul Ma’had Pesantren Nuris Jember

Related Post