Tradisi Ziarah Kubur Menjelang Idulfitri, Haramkah?

Penulis: Ahmad Fathoni*

Ziarah secara etimologi adalah berkunjung. Sedangkan secara terminologi adalah mengunjungi seseorang untuk memuliakannya dan membuatnya senang (al-Imam al-Fyumi dalam kitab al-Misbah al-Munir. Hal: 119, Juz: 17). Adapun yang dimaksud qubur menurut Syaikhul Islam Zakariya al-Anshori adalah lubang yang mencegah keluarnya bau tak sedap  dari tubuh mayit dan mencegah dari binatang buas (Fathul Wahab. Hal:172, Juz: 1). Dengan demikian jelas dari sini, maksud utama dalam berziarah qubur bukan sekedar mendatangi sebuah lubang, melainkan mengunjungi sosok yang ada didalamnya untuk memuliakan dan mendoakannya.

Ziarah kubur memang pernah mengalami fase pelarangan. Disebabkan faktor keimanan umat Islam yang baru mengenal Islam, masih lemah dan rentan berubah-rubah, ditakutkan akan terjadi kemusyrikan dengan menyembah kuburan yang di ziarahi. Tetapi setelah iman umat Islam telah mengakar kuat di relung hati, Rasulullah lantas memerintahkan semua umat muslim berziarah ke kuburan. Sebagaimana riwayat Imam Turmudzi dan Imam Ibnu Majah:

عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللّه صَلَّى اللّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَقَدْ أُذِنَ لِمُحَمَّدٍ فِي زِيَارَةِ قَبْرِ أُمِّهِ فَزُورُوهَا فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْآخِرَةَ

Artinya: “Dari buraidah : Rasulullah bersabda:“Dahulu saya melarang kalian ziarah qubur. Lalu bagi Muhammad telah diperbolehkan menziarahi pusara ibunya. Maka berziarah quburlah kalian, sebab dengan sebab ziarah kalian ingat akhirat”. (Sunan Turmudzi. Hal: 210, Juz: 4)

 عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ أَنَّ رَسُولَ اللّه صَلَّى اللّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا فَإِنَّهَا تُزَهِّدُ فِي الدُّنْيَا وَتُذَكِّرُ الْآخِرَةَ

Artinya: “Dari Ibni Mas’ud, sesungguhnya Rasulullah bersabda: “Dulu saya melarang kalian ziarah qubur. Maka sekarang berziarahlah kalian semua !. karena ziarah qubur menjadikan benci akan dunia dan mengingatkan terhadap akhirat”. (Sunan Ibnu Majah. Hal: 45, juz: 5)

(baca juga: Hujjah Aswaja: Perjamuan Makanan dalam Acara Tahlilan)

Syubhat sekte Wahabi

وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى

“Dan bahwa manusia tidak akan memperoleh kecuali apa yang telah diusahakannya” (QS:al-Najm:39)

Ayat ini sering dijadikan kedok untuk mengingkari kirim pahala terhadap mayit, yang pada akhirnya juga berkelanjutan mengingkari ziarah qubur. Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki dalam kitab Manhaj As-Salaf Fi Fahmi Al-Nushus Baina Al-Nadzoriyyah Wa Al-Tathbiq mengatakan: “Pertama: Secara umum ketika seorang memberikan manfaat, menolong dan membantu orang lain, dapat dipastikan orang tersebut akan menghormati, memuliakan dan mendoakan, seperti para auliya’, ulama, dan sholihin.

Bahkan setelah wafat pun, mereka tetap mengunjungi makam dan mendoakannya. Pada hakikatnya, semua itu merupakan buah hasil dari apa yang pernah ia kerjakan semasa hidup di dunia. Sehingga tradisi mendoakan mayit sama sekali tidak paradoks dengan ayat al-Quran diatas. Kedua: ayat diatas dimunculkan tidak untuk menafikan intifa’ (mengambil manfaat) mayit atas amal yang dilakukan orang yang masih hidup. Seandainya hal itu memang terjadi, maka seharusnya Allah berfirman: ) لا ينتفع إلا بما سعى  )  “Seseorang tidak mendapat manfaat kecuali dengan apa yang pernah diusahakannya”.

Ayat di atas menunjukkan penafian kemampuan seorang yang telah mati untuk memiliki amal orang lain, artinya dia tidak mendapatkan pahala atas pahala yang dilakukan oleh orang lain, sebagaimana tidak akan mendapat dosa atas perbuatan orang lain. Akan tetapi jika ada orang lain yang mentransfer pahala kebaikannya, maka mayit tersebut juga akan menerima pahala yang sama. Sebab pengirm pahala adalah pemilik pahala itu sendiri, maka boleh baginya mentashorufkan sesuai kehendaknya. Wallaahu a’alam bi al-showab.

*Penulis  adalah aktivis Bahtsul Masail Kabupaten Jember

Related Post