Air Langit Para Dewa

oleh: Mausulur Rohman

 

“Mama….Renata berangkat dulu!” Teriakku tergesa-gesa.

“Iya, hati-hati, jangan sampai larut malam.“ Sahut mama, seraya datang menghampiri ke ambang pintu, tersenyum indah seolah-olah merelakan buah hatinya menikmati liburan panjang kali ini. Kusempatkan mencuri pandang dan menikmati senyum itu, senyum yang membuatku tenang, membuat hari-hariku penuh dengan hiasan cinta kasih abadi, terus kupandangi di belakang kaca mobil yaris dengan silver yang mencolok, sampai hilang dari pandangan makrifatku.

“Nunggunya lama yaaa?“ Tanya Saza.

“Enggak kok, hampir 2 jam yang nungguin.” Jawabku dengan wajah disebalkan.

“Maafin aku ya, tadi mobilnya agak eror.”

“Gak apa-apa kok, cuma buatku sedikit sebel,” sambil kulontarkan senyum 5 cm-ku.

Kunikmati perjalanan ini bersama teman-temanku, lagu TonyQ Rastafara dan canda tawa Saza mengiringi perjalan ini, serta hiruk-piruk kegirangan mengelus-elus permukaan kulitku, dan menyulapku hilang ke dalam dunia yang ku tak mengetahuinya. Dunia khayal, tapi tekadang orang merealitakan akan kejadiannya.

Terasa sunyi, gelap mencekam, hanya desiran angin yang terngiang di telinga. Tiba-tiba terbias sinar, terlihat gua tersenyum terhadapku. Seketika itu terdengar teriakan orang dan berhamburan keluar dengan memasang koleksi wajah susahnya. Bulu kudukku terbangun, ketakutan mendengar teriakan mengerikan itu. Berlari, kumasuki gua itu sampai ke ujung, terlihat beribu rumah dilalap rakusnya si jago merah, dan beribu orang terlentang sia-sia dengan luka bakar yang sangat parah. Kupandangi insan malang yang menangis dia atas takdirnya. Tiba-tiba terlihat tangan yang menjulur di balik kobaran api yang menggerogoti sebagian pohon. Ketika kuingin meraihnya, Cantiya mengagetkanku dan kukembali tersadar.

“Udah nyampek Re, itu pantainya!”

Keringat bercucuran, mengalir di pinggir pelipis mataku, kuusap seraya meyakinkan itu hanya mimpi.

Angin pantai menerpa tubuhku, daun kelapa melambai-lambai seolah memberi ucap pada diriku, “Selamat Datang”. Ombak menari gemulai di atas permukaan, senang karena diriku mengunjunginya. Randika berlari ke pinggir pantai, senang bermain dengan gelunyut air yang menggulung-gulung. Sedangkan Saza dan Cantiya asyik berfoto dengan batu alam yang berdiri kokoh di tengah terjangan ombak. Sedangkan aku, berdiri termenung memegang tonggak kayu di bawah bakau, melihat mereka tertawa kegirangan.

“Ayo Re, kok bengong aja, ke sini! “ Ajak Randika

Terbubar dari kebingunganku, sehingga langsung kubergegas menghampirinya .

 

*****

Terlihat sang surya dari ufuk barat tersenyum jingga, memberi firasat agar kami segera pulang, karena dia akan kembali ke singgasananya, dan tidak akan memberi sebersit cahaya miliknya.

Di tengah perjalanan pulang, batinku tak nyaman, pikirku selalu terimajinasi sosok indah di rumah ayah-mama. Dan sesekali kuingat mimpi tadi yang menimpaku, batinku berkecamuk. Pohon di pinggir jalan serasa sedih ketika kumelihatnya, serasa layu ketika kumengamatinya. Ku tak merasakan aliran angin, seolah mereka menjauh dariku. Langit biru tanpa hiasan awan, seolah menjauh tak ingin melihat sesuatu. Firasatku buruk, batinku bergetar ketakutan.

“Ada apa ini?”

“Cantiya! Berhenti di sini saja, aku mau beli sesuatu untuk ibuku.”

“Ooo.. iya dah, hati-hati di jalan Re !”

Ku menuju toko kain Magaraca untuk membeli kain hijau tua dan benang merah kehitam-hitaman titipan ibu. Selanjutnya ku harus mengojek pulang karena mungkin aku butuh cepat. Terkejut diriku tak percaya, hatiku berteriak, batinku berucap disela-sela air mataku, “Apakah ini rumahku?”

“Tidaaaaaaaaaak, Mamaaaaaaaa……..Ayaaaaaaaaaah………..!” Histeris diriku melihat rumah yang hanya tersisa potongan kayu arang dan debu yang berhamburan.

“Re, ayo ikut aku, sekarang ayahmu di rumah sakit,“ tanggap Pak Reza mendengar teriakanku.

Air mataku terus mengalir deras, bercucuran. Kudekap kain hijau tua yang kubawa dan berharap ku masih bisa memberikannya pada ibuku. Wanita tua dengan berjuta senyum indah kini tertikam oleh batuan cobaan Tuhan dan senyuman itu kini terganti oleh rintihan tangis kepedihan.

“Re, ayahmu luka, kakinya tertimbun kayu yang terbakar.“

“Sabar Bu, mungkin ini cobaan buat kita, tetaplah tegar, pasti ada rahasia di balik semua ini.“

Imanku tak tergoyahkan walaupun setan membisikkan kehinaan di batinku, “ Tuhan tak adil.“

Di balik kaca terlihat laki-laki tua yang terdiam tak sadar, menahan amat sakit kakinya yang digigit oleh taring-taring api. Ku tak tega melihatnya, sehingga air mata ini memaksa keluar dari pelupuk mataku.

Sekarang ku tak punya apa-apa lagi, sisa tabungan adalah rentetan rantai bekal hidupku, jika tabungan itu habis aku tak tau harus bagaimana lagi. Kududuk termenung di depan ruangan observasi, sambil memikirkan cara bagaimana ku bisa menutup lubang administrasi dengan jerih payahku.

“Mbak, bapak Anda perlu obat ini.“ Pinta dokter Windra seraya memberikan daftar obat yang harus kubeli.

Sekarang aku tambah bingung. Tabunganku habis untuk membeli obat-obat itu, tapi itu untuk kebaikan ayah. Kebaikan seseorang yang telah mengorbankan raganya untuk kelangsungan hidupku.

“Sekarang aku harus bagaimana Tuhan?“

 

******

“Renata…..!!!“ Terlihat Saza Kisuza, Cantiya Liana Kasih dan Randika Tanamara berlari menghampiri, kuberdiri, lalu kupeluk mereka untuk melepas kerinduanku yang mendalam. Kulampiaskan segala perasaan luka pada mereka, kutaburkan kepingan masalah yang menimbunku pada mereka.

“Sebaiknya kau bekerja di cafe pamanku, bayarannya mungkin sedikit membantu,“ tawar Cantiya.

Wajahku bingar, tapi tertunduk lesu ketika mendengar pertanyaan Saza.

“Terus, rencanya kamu mau kuliah di mana?“

“Aku bingung Za, aku masih punya banyak tanggungan yang harus aku selesaikan.“

“Aku rasa bahasa Inggrismu ok, dan potensi akademikmu ok, ada tes beasiswa ke Australia, tinggal 2 minggu lagi.“

Wajahku gemerlap seketika, serasa ada lorong luas yang membantuku keluar dari lingkaran cobaan ini, mungkin ini bukti dari firman Tuhan, “Setelah ada kesulitan pasti ada kemudahan.“

Semangatku berkobar ketika melihat sesosok laki-laki tua terlentang tak berdaya, kuingin membawanya keluar dari jerat kesakitan yang dirasakannya. Aku mempunyai kesempatan untuk membahagiakannya dengan memperlihatkan bahwa anaknya berhasil mendapatkan sesuatu yang menjadi idaman banyak orang.

“Ayah-ibu, aku akan membuat kalian tersenyum melihat anakmu ini,“ tegas diriku, dan kugantungkan janji itu di langit. Peluh kesah mengiringi perjalanan mozaik hidupku, membasahi kening sempitku, tetapi juga menambah kobaran api di atas niatku.

 

******

Batinku berbisik, “Pena!” Kaulah satu-satunya penentu takdirku, takdir di mana kutetap diam melihat orang yang kusayangi merintih kesakitan, atau takdir di mana mereka tersenyum karena keberhasilanku. Kuharap kau menyatu dengan hatiku. Jikalau ku salah menggerakkanmu, berilah isyarat pada hati ini. Pena….!                                                                                                                                                     Bantulah aku kali ini saja!“

Perang pikiran telah aku lewati, sekarang hanya tawakal kepada Tuhan yang mungkin memihak padaku atau masih ingin mencoba tegar hati ini dengan berjuta kekuasaan-Nya. Walaupun aku satu ruang dengan Saza tapi aku harus sportif, karena kejujuran akan membawa ke dalam lubang kesuksesan. Cahaya menjadi redup, kuhidupkan lampu di beberapa ruang rumahku karena gelap akan tiba menghantui kehidupan manusia di seluruh dunia.

“Assalamualaikum, Renata!!!“ Salam ibuku, serasa dia letih pulang bekerja dari rumah majikannya, yang ku tak tau apakah majikannya baik padanya atau malah sebaliknya, tak tega kumelihat dia setiap hari tiba dengan kondisi seperti itu. Aku takut dia tersiksa dengan penyakit masa lalunya. Cukup sudah semua ini, ku tak ingin menambah beban di pundakku dan menimbun ampas masalah di sekat-sekat kepalaku.

“Tuhan, tolong jaga kedua insan mulia ini?“

********

“Pengumuman bisa dilihat di depan gedung utama, tapi nomor urut 1—10 akan diumumkan langsung di pentas depan, karena mendapat kehormatan dari Bapak Bupati Magelang, Prof. Dr. Rino Gufron, M.pd.,“ terdengar salah satu penyiar di gedung informasi di UNIVERSITAS PADJAJARAN. Ratusan peserta berbondong-bondong menuju gedung utama, penasaran ingin tahu melihat hasil jerih payah mereka.

Ada yang memasang wajah mendung, sehingga membentuk petir di atas kepalanya, mungkin karena sudah putus asa tidak yakin menempati podium-podium istimewa itu, tetapi ada jaga yang memasang wajah senangnya, sehingga muncul puteri Snow White di atas pundaknya. Sedangkan aku gemetar melihat deretan nama, ku urut dari urutan 475 sampai ke atas, tak kunjung ada nama “RENATA CAHYA KUMALA“ yang kutemui.

Tubuhku panas, karena kursi yang kududuki seolah-olah membakarku, menunggu nama RENATA CAHYA KUMALA keluar dari lisan seorang perempuan yang menjadi pembawa acara pada butiran acara pada siang hari itu. Panggung seolah menjauh karena batinku mulai runtuh, tak yakin aku bisa menghantamkan kedua kakiku di panggung takdir itu.

“SAZA KISUZA,“ teriak meriah pembawa acara. Terdengar teriakan meyakinkan dari perempuan itu, Saza menangis sambil memeluk mamanya, sedangkan aku tertunduk kecewa,   kenapa Tuhan tidak menurunkan takdir baik itu saat ini juga. Melihat Saza menempati urutan ke-7, hatiku terdapat sedikit gelembung-gelembung sesat itu. Diriku mulai putus asa ketika tak kunjung terdengar namaku sampai urutan Runner up, ku berjalan meninggalkan kursi panas ini, tapi ku tak tahu kenapa badanku serasa lebih panas, mungkin karena kekecewaan yang mengerubungi tubuhku.

“Dan inilah dia, seorang yang istimewa, menempati podium pertama siapakah dia???“

“RENATA CAHYA KUMALA“. Kedua telingaku terasa kaku, diriku dingin seketika dan kedua kakiku tak bisa diam, ingin berlari mengekspresikan berjuta rasa yang tengah kurasakan saat ini. Rasa yang tak bisa ku visualisasikan di dunia khayalku. Langkah kakiku diiringi sorak-sorai tepuk tangan meriah, disambut senyum hormat Bupati Magelang. Berjuta rasa sekarang mengelilingiku, seraya bersujud menyentuh bumi, bersyukur Dia telah memberikan mimpi itu padaku.

Segerombol pujian datang memenuhi kedua teligaku, jabatan tangan menyerobot tanganku.

“Renata, selamat ya!“ Ujar Saza mengagetkan.

“Ehh, Saza. Iya terima kasih, kalau ke Australia bareng sama aku ya! “

“Iyalah Re,“ jawab Saza sembari menyiramku dengan senyumnya.

“Ngapain di sini? Mau hujan lo, pulang bareng yukk!“

“Enggak Za, nanti masih muter lo, kalau mau nganter aku, kasian ntu mama kamu mungkin kecape’an!“ Seraya kumenunjuk perempuan dengan alis matanya yang tebal.

“Ya udah… duluan ya Re!“

Kutengadahkan pandanganku ke arah langit, awan mulai murung menggerutu, yang awalnya putih bersih kini menjadi ternodai oleh debu-debu kota bak asap pabrik industri. Tetes air mulai dicucurkan olehnya, membuat aspal di depanku mengeluarkan asap serupa kepul rokok pecandu di sampingku. Hawa dingin yang amat menjadikan diriku tak sadar kalau angkot baru saja lewat di depanku. Kukejar tak ingin tertinggal. Hujan semakin deras membuat pohon-pohon di pinggir jalan gemelutuk kedinginan.

“Berhenti di sini Pak! “ Tegas diriku.

“Owh, iya Neng.”

Tak terlihat satu pun tukang ojek yang mangkal, terpaksa kuharus berjalan kaki karena ku tak sabar memberitahu mereka, apa yang sebenarnya kugenggam sekarang. Kuberlari, dihantam serbuan panah air yang bertubi-tubi, tapi itu semua tak berarti bagiku, hasratku berkobar bak api biru yang meredam kepanasan. Tapi, seketika alam membisu, mungkin ini sebab awan menangis melinangkan air matanya, tak tega melihat insan yang tertimbun batu cobaan di punggungnya. Terlihat beribu malaikat berbaris memenuhi jalan sempit rumahku, kepakan sayap malaikat indah menampung air mataku, dan sayap lebarnya menaungiku. Suara tangis orang diterjang badai takdir kekecewaan merasuk dengan paksa ke dalam telingaku. Mataku terbelalak, ku tumpukan kedua lututku di atas lumpur basah di hadapan beribu malaikat yang membawa kedua orang tuaku terbang ke Singgasana, karena Tuhan telah memanggil untuk kembali menghadap kepada-Nya. Air langit para dewa menghujam tubuhku, seraya setitik darinya berbisik di kedua telingaku.

“Tetaplah tegar hadapi dunia panggung sandiwara ini , semakin kau sabar menitih jembatan mozaik hidupmu, semakin cinta Tuhan kami padamu. Sungguh ini bukan realita, ini hanyalah papan permainan yang rumit. Jikalau engkau merasa putus asa dengan rintangan yang menghalangimu, kau akan kalah, dan kau akan jauh dari kemenangan abadi yang menjadi idaman semua insan penuh dosa milik-Nya. Anggaplah kepergian kedua orang ini rintangan yang menghadangmu, kau harus tegar, serupa pohon kelapa yang berdiri kokoh walau di terpa angin dan panas menyengat yang selalu menemaninya. Coba lihat mereka dengan hati kecilmu! Mereka tersenyum bahagia ketika kau sabar, rela melepaskannya pergi menemui panggilan Tuhan kami. Mereka tenang menitih tangga kehidupan abadi sembari tersenyum, melihat kotak amalnya yang cukup memberatkan timbangan kanan malaikat-Nya. Terus kupandangi dengan linangan air mata tersedu-sedu.

Biografi Penulis

Mausulur Rohman adalah siswa SMA kelas XII IPA, kelahiran Banyuwangi tanggal 15 Maret 1998. Alamat rumahnya di daerah Kalibaru Wetan, Tegal Pakis RT. 02 RW. 05. Meskipun siswa ini jago dalam bidang matematika, bahkan sempat lolos seleksi KMNR di Bogor (tingkat nasional) untuk mengikuti lomba di Singapura (tingkat internasional), tetapi ia juga gemar menulis cerpen. Pada edisi kurasi antologi kai ini, Mausul menyumbangkan tiga cerpen terbaiknya, dan salah satu judul cerpennya dijadikan prime cover tittle. Siswa penggemar Andrea Hirata ini memiliki moto yakni, “Usaha dan Doa yang paling utama,. Masalah hasil, serahkan pada Yang Maha Kuasa.” Harapan terbesarnya ke depan adalah meraih kesempatan menjadi mahasiswa di ITB Bandung.

Related Post