Eksistensi Santri Di Pulau Seribu Pura
Oleh: M. Faliqul Ulum
Rasanya campur aduk, ketika hari pertama sampai di Bali. Ada kesan tidak enak dan kikuk begitu sampai di tempat rantau. Rasa kangen yang belum apa-apa sudah terasa namun harapan juga tetap membuat semangat. Mungkin bagi yang sudah biasa merantau kemana-mana, merantau adalah hal yang biasa, namun bagi kami anak pesantren yang baru saja merantau melanjutkan pendidikan merantau adalah hal yang baru yang mungkin saja banyak menimbulakn suka dan duka yang dijalani. Beruntungnya saya tidak sendirian merantau ke Bali. Beberapa teman dari pesantren (PP. Nuris Jember) juga memilih melanjutkan pendidikan di Pulau Dewata.
Bali, Pulau Dewata, Pulau Seribu Pura. Masyarakat asli pulau ini mayoritas memeluk agama Hindhu, meskipun ada juga beberapa komunitas kecil muslim di beberapa tempat seperti Pegayaman (Buleleng), Palasari, Loloan dan Yeh Sumbul (Jembrana) dan Nyuling (Karangasem), atau kampung muslim di Kepaon di Badung. Dengan kondisi seperti ini saya dan kawan-kawan yang dulunya terbiasa tinggal di lingkungan homogen pesantren, mau tidak mau ditantang untuk survive hidup di tengah masyarakat yang adat istiadat, budaya, bahasa hingga agamanya berbeda dengan kami.
Tidak hanya itu, Bali dengan segala pesona dan keindahan alam serta keunikan tradisi dan budayanya merupakan pulau tujuan pariwisata yang begitu memikat baik bagi wisatawan lokal maupun maupun wisatawan mancanegara. Berbagai penghargaan prestisius di bidang pariwisata telah Bali dapatkan. Yang terbaru, Bali dinobatkan sebagai pulau tujuan wisata nomor satu se-Asia, dan menduduki nomor lima tingkat dunia. Banyaknya jumlah wisatawan asing yang datang tentunya harus diimbangi dengan fasilitas yang dibutuhkan bagi para “bule” tersebut, semisal bar, club, karaoke, yang tentu saja sepaket dengan segala macam minuman keras yang harus disediakan untuk menjamu para tamu. Tak mengherankan bila di Bali mudah sekali kita temukan bar, club malam, serta tempat penjualan minuman keras (khamr) yang mana lingkungan seperti ini begitu kontras dengan lingkungan saya di pesantren dulu. Bagi saya dan kawan-kawan yang lain, di Bali ini lah ujian sesungguhnya untuk menerapkan ilmu yang kami dapatkan selama di pesantren.
Selama kurang lebih 4 tahun menempuh pendidikan di Pulau Dewata, banyak sekali pengalaman hidup yang kami dapatkan. Di Bali itu masyarakaynya mayoritas umat Hindhu, sehingga jenis makanan yang beredar di Bali beraneka ragam. Ada jenis makanan yang haram bagi kaum muslim seperti daging babi. Hal ini mengharuskan kami untuk ekstra hati-hati dalam memilih makanan. Bila di pesantren dulu tiap pergantian waktu shalat pasti terdengar suara adzan dikumandangkan, maka di Bali kami mengandalkan alarm dari android untuk mengetahui pergantian waktu shalat karena memang jumlah masjid yang ada terbatas, dan adzan yang dikumandangkan masjid-masjid disini tidak sekeras kumandang adzan di Jawa. Selain itu di Bali banyak berkeliaran anjing, baik anjing yang hidup liar maupun anjing peliharaan. Saya sendiri awalnya sempat shock dengan berkeliarannya anjing ini karena selain was-was takut terkena najisnya, juga takut dengan gonggongannya. Maklum baik di rumah maupun di pesantren dulu g ada anjing. Hehe. Yang gawat lagi di Bali fasilitas kost-kostan untuk tempat tinggal tidak mengenal sistem pemisahan anatara kost putra dan kost putri. Jadi dalam kamar dalam satu komplek kost bebas untuk ditempati oleh siapapun, baik laki-laki dan perempuan. Ditambah lagi dengan kondisi kost-kostan tersebut tidak dalam pengawasan langsung dari pemilik kost (karena biasanya pemilik kost tinggal di rumah pribadi). Hal ini tentu saja memperbesar peluang terjadinya kemaksiatan. Hidup di lingkungan seperti ini tentu saja dibutuhkan keimanan dan keteguhan hati yang tinggi agar tidak mudah terjerumus ke dalam kemaksiatan. Disinilah peran sesame alumni pesantren untuk saling menasehati satu sama lain.
Cerita di atas mungkin sebagian dari pengalaman “melas” kami selama tinggal di Bali. Pengalaman baiknya banyak juga. Bali seperti yang sudah kita bahas di atas merupakan tujuan wisata yang menawarkan keeksotisan alam yang dipadu dengan budaya dan tradisi yang unik. Sehingga ketika kami merasakan penat dan bosan menghadapi kuliah, kami memiliki banyak opsi tempat wisata untuk refreshing. Selain itu umat Hindhu Bali memiliki banyak sekali upacara agama dan hari raya. Hal ini berdampak pada banyaknya hari libur kuliah di kampus. Alhamdulillah. Kwkwkwk. Pengalaman terpenting yang kami dapatkan selama tinggal di Bali sebagai bekal dalam hidup bermasyarakat yaitu toleransi dan sikap saling menghargai, saling menghormati antar suku, saling menghormati antar pemeluk agama. Hal ini sangat penting karena dengan sikap toleransi dan saling menghargai antar suku, antar umat beragama maka akan tercipta kehidupan yang harmonis demi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.
Di kampus (Universitas Udayana) kami dipertemukan dengan kawan-kawan dari berbagai latar belakang yang berbeda, baik suku, agama dan budayanya. Memang mayoritas mahasiswa di Udayana merupakan warga asli Bali, namun jumlah mahasiswa dari daerah lain juga tidak kalah banyak, dari Jawa, Medan, Lombok, Papua, NTT, NTB, Kalimantan bahkan mahasiswa dari negara lain. Berada di tengah sebuah kominitas yang plural seperti ini tidak membuat kami yang lulusan pesantren ini mejadi minder. Kami sebagai alumni PP. Nuris membuktikan diri bahwa alumni pesantren mampu tampil aktif di dalam berbagai bidang di lingkungan universitas. Rekan saya Muhammad Danial terpilih menjadi Ketua Umum di UKM Mahasisw Pecinta Alam (Mapala) Wanaprasta Dharma Universutas Udayana masa bakti 2014-2015. Rekan saya yang lain, Muslim sukses tampil sebagai Ketua Umum Forum Persatuan Mahasiswa Islam (FPMI) Universitas Udayana masa bakti 2014-2015. Ada juga Ahmad Fauzi yang menjadi anggota Pusat Komunikasi Daerah (Puskomda) Lembaga Dakwah Kampus wilayah Bali. Penulis sendiri pernah menjabat sebagai ketua Rohis IAHA Fakultas Peternakan Universitas Udayana masa bakti 2014-2016.
Kesuksesan kami tampil memimpin berbagai organisasi di atas tidak lepas dari peran pesantren yang menempa dan membentuk karakter serta kepribadian kami. Selain itu, ilmu dan pendidikan yang kami dapatkan dari pesantren juga menjadi benteng pertahanan agar kami mampu bertahan di tengah derasnya arus demoralisasi di yang terjadi di Bali. Tanpa ilmu agama yang kami dapatkan dari Kyai serta para asatidz di pesantren, kami mungkin bagaikan orang buta yang kehilangan tongkatnya, terombang ambing tanpa arah, terhempas ke dalam jurang kenistaan yang menganga, lalu hidup dalam ruang gelap bernama penyesalan. Terima kasih untuk Kyaiku. Terima kasih untuk asatidzku. Terima kasih, Nurisku.