Letre’

Oleh Alivia N Aisyi

Senja itu, perca-perca kain akibat pertengkaran di rumah berhamburan di mana-mana, vas bunga yang biasa menjadi hiasan indah di meja ruang tamu kini menjelma pemandangan berantakan, pecah berkeping-keping dan menajam. Darah pun bercucuran akibat injakan kaki anak-anak suamiku. Ya, mereka berusaha memusnahkanku dari pandangannya.

Sejak awal semua memang tidak indah, namun karena pertemuan pertama itu aku tercuri hati oleh Rokib, seorang duda dengan dua anak yang beranjak remaja, anak pertama Hasan sedang menempuh S1 dan yang kedua Humaidi yang masih kelas sepuluh SMA.

Aku yang masih perawan kala itu, hidup di pulau Garam, pulau yang orang biasa menyebut tanahnya Sakera. Walaupun umurku masih belum genap dua puluh tahun tidak akan menolak lamaran duda yang begitu mapan, duda yang istrinya meninggal tertabrak mobil bulan lalu.

“Sudah seminggu bapak tidak pulang! Aku muak dengan wajahmu, tidak akan ada yang bisa menggantikan posisi ibu!” Itu kalimat terakhir yang aku dengar sebelum aku meninggalkan rumah itu. Aku meloncat lewat jendela kamar yang biasa kugunakan untuk bercumbu dengan fajar.

Hari ini akhirnya aku sampai di rumah orang tuaku setelah tiga hari perjalanan, sebuah rumah yang dilengkapi Tanian Lanjhang[1] dengan interior khas budaya Madura yakni yang hanya memiliki satu pintu di depan, dihiasi dengan ukiran-ukiran asli Madura, dengan warna hijau dan merah, lambang kesetiaan dan perjuangan.

Aku tidak mengetuk pintu, langsung masuk ke dalam kamar. Namun, hati ini gelisah karena aku meninggalkan rumah tanpa izin suamiku yang sedang pergi. Dia hanya mengatakan bahwa ke luar kota untuk pekerjaan selama dua minggu.
“Sudah Leha kamu turuti saja nasihat ibu, jangan lupa ketika sampai di pasar kamu membeli  bahan-bahan yang dibutuhkan, sekarang pulanglah dan lakukan apa yang ibu perintahkan. Dari leluhur-leluhurmu dulu, strategi ini tak pernah gagal.” Kata ibu, setelah ku ceritakan keadaan rumah tanggaku.

Nasihat ibu adalah oleh-oleh yang ku bawa pulang. Sementara ayah hanya menolak kehadiranku dengan alasan karena pulang tidak bersama suami. Terpaksa hari itu juga aku putuskan untuk langsung kembali ke rumah suamiku. Perjalanan yang ditempuh selama 3 hari lagi akan tepat di hari kepulangan suamiku.

“Ah, semoga aku bisa mendahului,” batinku.

**

Aku sampai di rumah, satu jam kemudian suamiku datang. Anak-anaknya tetap bersikap tidak ramah, bahkan menatapku saja mereka enggan, padahal aku tidak ada keinginan menduduki tempat permaisuri itu, takdir yang membawaku ke kerajaan ini.

“Kamu pasti lelah, biar aku buatkan air hangat ya, dan aku akan siapkan makan malam untuk kalian,”

Mereka bercanda gurau bahagia seperti tidak terjadi apa-apa, darah-darah dua minggu lalu pasti sudah terkubur bersama pecahan lainnya di taman halaman belakang. Mereka seakan tidak mendengar tawaranku, kecuali suamiku Rokib. Namun aku mengalah dan mencoba bersabar  dan nanti mereka pasti akan berubah, batinku. Aku pun melangkah menuju dapur, tapi seraya diiringi perasaan, ada sesuatu yang harus ku pecahkan.

“Ya… pesan ibu!”

Sudah ku lepaskan celana dalam saat menyiapkan air panas. Sop buntut sudah siap sama persis dengan pesan ibu, dimasak bersama celana dalam itu. Rasanya ingin muntah. Tapi biarlah, sajian saat ini akan menjadi obat untuk kesedihan.

“Sop buntut spesial sudah siap, sangat tepat disantap malam ini karena cuaca hujan, dengan petir menyambar keheningan kita.”

“Kamu tak ikut makan, Leha?”

“Tidak, aku sudah makan tadi. Aku mau mencuci baju dulu, makanlah dengan lahap.”

Ibu benar, sedetik setelah Humaidi dan Rokib menyantap sop spesial itu, Rokib semakin tidak ingin jauh dariku, Humaidi ketika berangkat sekolah ia selalu minta diantar olehku, dia mencium tanganku.

“Humaidi, sejak kapan kau terkena racunnya? Dia yang mengambil ayah dari ibu!”

Hasan semakin membenciku melihat kerukunanku dengan Humaidi, padahal bagaimana mungkin aku yang mengambil ibunya, sedangkan aku sebelumnya tidak pernah mengenal keluarga ini.

Fitnahan-fitnahan oleh kebencian Hasan semakin hari semakin menyakitkan. Aku kesal, mengapa ia tak mau makan sop buntut malam itu? Padahal hujan sangat deras. Ah, ia memang batu koral yang tak bisa hancur hanya karena hujan. Namun, aku tidak bisa menanti hujan mengikis batu itu, akan ku hantam batu itu dengan granat yang ku rakit sendiri.

“Antar aku ke rumah ibu, aku rindu padanya.”

“Baik Leha. Sekarang juga akan aku antar kamu. Karena kamu permaisuriku, apa yang kamu butuhkan akan selalu aku penuhi.”

Sop itu benar-benar ajaib. Semua berubah kecuali Hasan.

Aku hanya sebentar di rumah ibu, hanya menjemput resep leluhur ibu. Perjalanan pulang selama tiga hari dari rumah ibu benar-benar menyenangkan, Rokib sangat mengistimewakanku. Semua yang ku inginkan bahkan aku tidak memintanya ia langsung memenuhi. Sekali lagi, sop resep ibu benar-benar luar biasa.

Sesampai di rumah, sudah larut malam. Rokib lelah dan langsung tertidur pulas, beruntung kita tak ada janji. Humaidi sedang tertidur pulas di kamarnya dan Hasan memang jarang pulang, ia sibuk mengerjakan tugas skripsinya. Perlahan saja ku amati sekeliling rumah, dari ruang tamu hingga halaman belakang, ku lihat ke loteng dan semua aman, tak ada tanda-tanda akan kehadiran seseorang, tinggal menunggu jarum pendek dan panjang jam ke angka dua belas. Gelisah dan ada rasa takut, namun aku harus melakukannya, kata ibu ini adalah resep granat.

Jarum jam pun saling bertemu di persimpangan dua belas, pakaian yang ku kenakan pun kini sudah bertemu dengan lantai dapur, tak ada kain sehelai pun yang melekat, di tanganku sudah terdapat empat celana dalam dan empat daun sirih ruas sejajar yang masing-masing terdapat namaku, Rokib, Hasan dan Humaidi. Walau terasa dingin aku tidak peduli, hujan semakin kencang, petir pun juga semakin marah berteriak tepat di telingaku. Aku tetap tak peduli, meski hanya bercahaya petir, ku gali tanah halaman belakang untuk keempat benda yang ada di tanganku ini. Aku kubur dengan perlahan karena ada beberapa kata kunci yang harus aku baca. Hatiku tiba-tiba gugup, gemetar dan ternyata terlihat dari pintu dapur sepasang mata yang dari tadi memperhatikanku dengan penuh amarah, bukan Humaidi bukan Rokib.

Jember, 05 Oktober 2015

 

 

 

[1] Permukiman tradisional Madura adalah suatu kumpulan rumah yang terdiri atas keluarga keluarga yang mengikatnya. Letaknya sangat berdekatan dengan lahan garapan, mata air atau sungai. Antara permukiman dengan lahan garapan hanya dibatasi tanaman hidup atau peninggian tanah yang disebut galengan atau tabun, sehingga masing-masing kelompok menjadi terpisah oleh lahan garapannya. Satu kelompok rumah terdiri atas 2 sampai 10 rumah, atau dihuni sepuluh keluarga yaitu keluarga batih yang terdiri dari orang tua, anak, cucu, cicit dan seterusnya. Jadi hubungan keluarga kandung merupakan ciri khas dari kelompok ini. https://id.wikipedia.org/wiki/Tanean_Lanjhang

Related Post