Jakarta –
Jakarta, nama yang tersemat kegarangan didalamnya. Begitulah anggapan orang-orang pada Kota yang tak lagi dijuluki Metropolitan tapi kota yang dijuluki Megapolitan ini. Jakarta merupakan salah satu kota yang memiliki daya tarik tersendiri bagi setiap warga di negeri ini. Dengan tujuan yang berbeda-beda, mereka berbondong-bondong datang ke kota yang penuh kemacetan ini. Salah satu dari mereka ialah seorang pemuda desa yang bertubuh kecil dan berkulit gelap, ia adalah saya, Ahmad Sya’roni. Sebagai mahasiswa saya berusaha beradaptasi dengan lingkungan sekitar yang merupakan lingkungan yang baru bagi saya. Beradaptasi dengan kemacetan, watak orang-orang yang berbeda, budaya, dan bahasa yang beragam. Kehidupan jakarta memberikan banyak pelajaran bagi saya baik pelajaran intelektual maupun pelajaran emosional. Terkadang banyak orang-orang yang berasumsi bahwa kehidupan di Jakarta itu sangat keras dan menyeramkan. Akan tetapi, bagi saya semua kehidupan sama saja baik di desa maupun di kota karena yang paling penting bagi kita adalah selalu berusaha beradaptasi dengan baik yang tentunya tetap memegang prinsip-prinsip kehidupan yang sifatnya fundamental. Jika bicara masalah kehidupan kampus jakarta, sebenarnya tidak terdapat banyak perbedaan hanya saja bahasa yang menjadi kebiasaan kita akan jarang sekali terdengar disekitar kita. Akan tetapi, kita akan lebih kaya pengalaman mengingat teman-teman mahasiswa lain yang berasal dari seluruh daerah dengan bahasa, suku, maupun budaya yang berbeda-beda di bumi Indonesia ini, bahkan tak jarang kita mengenal atau beradaptasi dengan mahasiswa yang berasal dari luar negeri seperti Pattani, Australia, dan beberapa negara lainnya.
Kehidupan jakarta juga memberikan warna suka bagi saya bahkan tak jarang warna dukapun mewarnai kehidupan saya di Ibu kota ini. Maklum, dimana ada suka pasti ada duka kan. Suka ketika saya bisa bertukar pikiran dengan mahasiswa lain dalam suatu wadah organisasi maupun UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa). Disana saya bisa tertawa lepas dan berbagi pengalaman bahkan tak jarang saya pun belajar banyak hal dari bentuk Civil Society tersebut. Bercanda dan berbagi informasi dengan para Alumni PP. Nurul Islam pun menjadi salah satu pemberi warna dalam kehidupan saya di jakarta yang terwadahi dengan wadah yang bernama IKSAN UIN SYAHID (Ikatan Santri Alumni Nuris UIN Syarif Hidayatullah). Walhasil, kehidupan organisasilah yang berperan besar memberi warna indah bagi saya di Ibu kota ini. Hal itu mungkin dikarenakan saya menyukai organisasi, seperti ketika di PP. Nurul Islam saya juga banyak masuk dalam kegiatan seperti Pustaka MN, LPBA (Lembaga Pengembangan Bahasa Asing), M sains, dan beberapa kegiatan atau organisasi yang menjadi fasilitas di Pondok tercinta, PP. Nurul Islam Jember. Namun, duka pun juga menyelimuti kehidupan saya. Terkadang saya juga merasa rindu pada keluarga dirumah, bapak dan ibu yang rela meneteskan keringatnya demi mewujudkan harapan saya. Hal itu menjadi duka yang terberat bagi saya. Selain itu, masalah-masalah yang terkejar dengan deadline tugas maupun hal lainnya membuat saya kadang juga merasa putus asa. Namun, saya sadar bahwa kedua orang tua saya memiliki harapan dan cita-cita yang besar pada saya maka mana mungkin harapan dan cita-cita yang besar tersebut hancur hanya karena rintangan berupa kerikil kecil saja.
Saya memutuskan merantau karena saya terinspirasi pesan dari kakak kelas saya yang kuliah di salah satu kampus industri di D.I. Yogyakarta. Ia pernah berkata, “Seseorang itu bisa berkembang hanya pada saat ia kepepet dan keadaan kepepet itu tidak bisa kita wujudkan ketika kita masih bersama dengan orang tua (tidak merantau), begitulah kita sebut dengan The Power of Kepepet.” Dari sana saya terinspirasi untuk menata diri menjadi lebih baik lagi dengan berusaha mandiri menjalankan dan mengatur segala aspek kehidupan saya tanpa bantuan orang tua. Meskipun tak ada orang tua yang tega melepas anaknya begitu saja, namun setidaknya kita sudah berusaha. Dan Jakarta menjadi pilihan tempat perantauan saya dikarenakan saya terinspirasi dari kakak kelas yang lebih dulu merantau ke jakarta. Ia begitu kuat dan tangguh beradaptasi dengan lingkungan jakarta. Ia adalah Fajrul Falah, alumni MA “Unggulan” Nuris tahun 2014.
Sekelumit kisah saya dalam mengarungi kehidupan jakarta, seiring berjalannya waktu kisah tersebut akan menjadi sejarah terindah dalam lembaran kehidupan saya. Apapun yang saya raih saat ini hingga bisa kuliah di salah satu Universitas ternama di Indonesia tidak lain hanyalah berkat doa dari KH. Muhyiddin Abdusshomad dan Dr. Nyai Hj. Fatimah, M.Pd.I, juga berkat para majlis pengasuh PP. Nurul Islam, serta guru-guru saya yang sabar membimbing saya hingga bisa meraih separuh dari mimpi-mimpi saya. Juga berkat dari doa kedua orang tua saya dan doa dari orang sekitar saya baik saudara maupun para santri yang menjadi teman saya. Maka tak ada yang bisa saya gunakan untuk membalas jasa orang disekitar saya, hanya kata Terimakasih yang bisa saya ucapkan saat ini. Semoga kesuksesan saya kelak sedikit menjadi tanda terimakasih saya pada mereka. Saya berpesan buat adik-adik santri yang lain, berusahalah semaksimal mungkin menikmati kehidupan pondok pesantren yang sangat indah saat ini karena waktu tak pernah terulang lagi dan tak lupa selalu berusaha meraih mimpi-mimpi untuk menjadi kenyataan. Man Jadda Wajada.
*Alumni SMA Nuris lulusan tahun 2014/2015