Penetapan Awal dan Akhir Puasa

Masih ada perbedaan di kalangan umat islam tentang penetapan awal dan akhir Ramadhan. Sebagian menggunakan ru’yah (melihat bulan) dan sebagian lain memakai hisab (hitungan). Bagaimanakah sebenarnya? Cara manakah yang lebih tepat dan sesuai dengan petunjuk Nabi Muhammad SAW?

Ada dua cara yang di sepakati oleh  jumhur (mayoritas) ulama untuk menentukan awal dan akhir puasa, yakni dengan melihat bulan atau dengan menyempurnakan hitungan bulan Sya’ban. Sebagaimana yang dikatakan oleh DR. Ahmad al-Syarbashi seorag dosen di Universitas al-Azhar Mesir.

مِنَ الْمُتَّفَقِ عَلَيْهِ بَيْنَ جُمْهُوْرِ الْعُلَمَاءِ أَنَّ شَهْرَ رَمَضَانَ يَثْبُتُ بِأَحَدِ أَمْرَيْنِ. اْلأَوْلُ رُؤْيَةُ هِلاَلِ شَهْرِ رَمَضَانَ، إِذَا كَانَتْ السَّمَاءُ خَالِيَةً مِمَّا يَمْنَعُ الرُّؤْيَةَ كَالْغَيْمِ وَالسَّحَابِ، أَوِالدُّخَانِ وَاْلغُبَارِ أَوْ نَحْوِ ذَلِكَ. الثَّانِي إِكْمَالُ شَهْرِ شَعْبَانَ ثَلَاثِيْنَ يَوْمًا. وَذَلِكَ إِذَا كَانَتْ هُنَاكَ حَائِلٌ يَحُوْلُ دُوْنَ رُؤْيَةِ اْلهِلاَلِ فِى لَيْلَةِ الثَّلاَثِيْنَ بِسَبَبِ السَّحْبِ أَوِالْغُيُوْمِ أَوْنَحْوِهَا. (يسئلونك فى الدين والحياة، ج٤، ص ٣٥)ُ

“Termasuk hal yang disepakati di kalangan jumhur ulama bahwa penepatan awal Ramadhan itu dilakukan dengan salah satu dari dua cara. Pertama, melihat hilal bulan Ramadhan, bila tidak ada yang menghalangi pandangan, seperti mendung, awan, asap, debu atau yang lainnya. Cara kedua adalah dengan menggenapkan bulan Sya’ban sebanyak tiga puluh hari. Ini dilakukan jika ada hal-hal yang menjadi penghalang untuk melihat hilal pada malam ke tiga piluh karena ada mendung, awan atau yang lainnya.”(Yas’alunaka fi al-Din al-Hayah Juz IV, Hal 35). Kesimpulan ini diperolehkan  dari Hadits Nabi SAW:

صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَافْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِيْنَ يَوْمًا. (صحيح البخاري، رقم١٧٧٦)

“Berpuasalah kalian apabila telah melihat bulan dan berbuatlah (tidak berpuasa) kalian apabila telah melihat bulan. Namun jika pandanganmu terhalang oleh awan, maka sempurnakan bulan Sya’ban itu sampai tiga puluh hari.”(Shahih al-Bukhari. [1776])

Oleh karena itu, seseorang dilarang memulai puasa ataupun mengakhirinya sebelum ada ru’yah. Rasulullah SAW bersabda:

عَنْ عَبْدِ اللًّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللًّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللًّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ ذَكَرَ رَمَضَانَ فَقَالَ لَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْا الْهِلَالَ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّي تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ. (صحيح البخاري، رقم ١٧٧٣)

“Dari Abdullah bin ‘Umar RA, bahwa suatu ketika Rasulullah SAW bercerita tentang bulan Ramadhan. Rasul bersabda, “Janganlah kalian berpuasa sehingga kamu sekalian melihat bulan, dan janganlah kamu berbuka (tidak berpuasa)sampai kamu melihat bulan. Namun jika pandanganmu tertutup mendung, maka perkirakanlah jumlah harinya.”(Shahih Bukhari,[1773])

Bukti-bukti diatas menunjukkan bahwa untuk menentukan awal ataupun akhir puasa, ru’yah al-hilal (melihat bulan)merupakan cara yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Lalu, kaitannya dengan hadits NA\abi Muhammad SAW:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِىَ اللهِ عَنْهُمَا عَنِ النَّبِيِّ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّمَ أَنَّهُ قاَ لَ إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَةٌ لاَنَكْتُبُ ولاَ نَحْسُبُ الشَّهْرَ هَكَذاَ وَهَكَذَا يَعْنيِ مَرَّةً تِسْعَةً وَعِشْرِيْنَ وَمَرَّةً ثَلاَثِيْنَ.(صحيح البخاري،رقم١٧٨)

“ Dari Ibn ‘Umar RA, dari Nabi SAW, bahwa beliau bersabda, “Kami adalah  umat yang  tidak dapat menulis dan berhitung. Satu bulan itu seperti ini, seperti ini”. Maksudnya satu saat berjumlah dua puluh sembilan dan  pada waktu yang lain mencapai tiga puluh hari.”(shahih al-Bukhari, [1780])

Hadist inidijadikan sebagai dasar oleh kelompok yang menggunakan hisab untuk melemahkan pendapat yang memakai ru’yah. menurut mereka, Hadist ini menjadi bukti bahwa Nabi SAW menggunakan ru’yah dalam keadaan terpaksa, sebab umat beliau tidak mampu menulis, membaca serta melakukan hisab. Melihat kondisi umat yang seperti itu, makam wajar jika Nabi SAW menggunakan ru’yah untuk menentukan awal dan akhir puasa. Ini dilakukan untuk m,emudahkan kaumnya agar mereka tidak menemui kesulitan ketika akan memulai atau mengalhiri puasanya. Atas dasar ini, menurut mereka, penggunaan ru’yah  tidak relevan lagi, karena sudah banyak ahli hisab. Dan fasilitas untuk melakukan hisab sudah tersedia, sehingga tidak sulit lagi untuk melakukannya.

(Baca juga: Hujjah Aswaja : Perjamuan Makanan dalam Acara Tahlilan)

Menjawab keraguan ini, tentu kita harus kembali pada sejarah. Apakah benar semua sahabat Nabi SAW tidak ada yang ahli ilmu hisab, sehingga harus menggunakan  ru’yah. Jawabannya tentu tidak. Karena ada beberapa sahabat yang diperintahkan Rasulullah SAW belajar tulis-menulis untuk dijadikan sebagai juru tulis beliau, seperti sahabat ‘Ali bin Abi Thalib, ‘Ustman bin ‘Affan, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Mu’awiyah dan lainnya. Oleh karena itu, yang dimaksud dalam Hadits itu adalah mayoritas sahabat, bukan sahabat secara keseluruhan.

Selain itu, di Negara Arab, jauh sebelum Rasulullah SAW diutus, telah ada tempat untuk mempelajari ilmu hisab. Lima ratus tahun sebelum Nabi ‘Isa AS lahir, seorang filosof yang bernama Phitagoras yang hidup pada abad ke VI SM telah membangun suatu lembaga pendidikan khusus yang mengajarkan tentang ilmu hisab. Bahkan sebagian pakar mengatakan bahwa ilmu hisab merupakan ilmu yang tertua di dunia, karena ada sebelum terjadi banjir Nabi Nuh AS. Ini menunjukan bahwa ilmu hisab telah ada sebelum zaman Rasulullah SAW. Dan di antara sahabat Nabi, sebenarnya telah ada yang mahir dalam ilmu hisab, semisal Ibn ‘Abbas. (Menentukn Awal dam Akhir Puasa Ramadhan dengan Ru’yah dan Hisab, 16-20) Dengan salasan inilah, maka keraguan tersebut dapat terbantahkan. Dari itu, penentuan awal dan akhir Ramadhan adalah dengan ru’yah, bukan dengan hisab.

Sumber: KH.Muhyiddin Abdushomad.2010.Fiqih Tradisionalis.Surabaya: Khalista.

Related Post