Qadha’ Shalat untuk Orang yang Sudah Mati

Soal:

Salah seorang keluarga si A meninggal dunia. Selama dua bulan terakhir, dia tidak mengerjakan shalat karena sakit. Lalu dia berwasiat, kalau mati nanti shalatnya diqadha’ oleh ahli warisnya. Bagaimana hukumnya mengqadha’ shalat untuk orang yang sudah mati?

Jawab:

Shalat merupakan ibadah mahdhah, yaitu ibadah yang dilakukan seorang hamba dengan langsung berhubungan dengan Sang Khaliq. Maka, pertanggungjawabannya kepada Allah secara pribadi. Berkaitan dengan shalat yang pernah ditinggalkan oleh orang yang mati, maka tidak ada kewajiban qadha’ bagi ahli warisnya. Demikian juga, mereka tidak berkewajiban menebusnya dengan harta yang ditinggalkan si mayyit. Hanya saja, sebagian ulama Syafi’iyyah berpendapat bahwa shalat yang ditinggalkan si mayyit boleh diqadha’ oleh ahli warisnya, baik sebelum meninggal dunia dia berwasiat atau tidak.

(فائدة) مَنْ مَاتَ عَلَيْهِ صَلاَةً فَلَا قَضَاءَ وَلَافِدْيَةَ وَفِى قَوْلٍ كَجَمْعٍ مُجْتَهِدِيْنَ أَنَّهَا تُقْضَى عَنْهُ لِخَبَرِاْلبُخَارِي وَغَيْرِهِ وَمِنْ ثَمَّ اخْتاَرَهُ جَمْعٌ مِنْ أَئِمَّتِنَا وَفَعَلَ بِهِ السُّبْكِيُّ عَنْ بَعْضِ أَقَارِبِهِ وَنَقَلَ ابْنُ بُرْهَانٍ عَنِ القَدِيْمِ أَنَّهُ يَلْزَمُ الوَلِيَّ إِنْ خَلَفَ تِرْكَةً أَنْ يُّصَلِيَ عَنْهُ كَالصَّوْمِ. (إعانة الطالبين، ج  ١ص ٢٤)

“Barang siapa yang mati dan punya tanggungan shalat, maka tidak wajib qadha’ dan membayar tebusan (oleh ahli warisnya). Dan dalam satu pendapat seperti pendapat segolongan mujtahid, bahwa shalat itu diqadha’ karena ada hadits riwayat Imam Bukhari dan lainnya. Dari sanalah, lalu segolongan imam-imam kita (Syafi’iyyah) memilihnya. Imam Subki pernah mengerjakan (qadha’ shalat) itu untuk kerabatnya. Ibn Burhan menukil dari qaul qadim bahwa jika si mayyit meninggalkan harta, maka keluarganya wajib mengqadha’ shalat untuknya, sebagaimana puasa.” (I’anah al-Thalibin, juz I, hal 24)

Baca Juga : (Zakat untuk Guru Ngaji)

Jadi, kalau mengikuti pendapat ini, maka shalat yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia itu boleh diganti (qadha’) oleh keluarganya.

Sumber: KH Muhyiddin Abdusshomad. 2010. Fiqih Tradisionalis. Surabaya: Khalista.

Related Post