Filosofi Air

*Penulis : Ayu Novita Sari

Penulis adalah siswa kelas XI IPS 1 SMA Nuris Jember. Dia pernah menjuarai lomba menulis tingkat nasional.

“ Kita seperti AIR melewati segala halangan dan rintangan, tetapi kita tetap satu tujuan.”

America, Juli 2016

Pendar cahaya menyapa dalam suka

Laut mewah tersenyum merekah

Melampaui udara menyisir dunia

Melayangkan tubuh, membentang seluruh

Senja telah berkali-kali menghilang. Malam yang gigil, secangkir kopi menyapa menyalami, seakan menaburkan setangkai mawar rontok. Terasa mengambang di kota awan. Kerlap-kerlip lampu kota menjadi kunang-kunang malam. Hening, ketenangan yang menyelimuti diri.

Dalam relung paling dalam, masa lalu seakan terekam. Hanya masalah waktu dan tempat yang tepat. Senyum teduh dua kawan seperjuangan, kembali terlintas menari dalam pikiran.

Ingin menggantikan awan malam dengan mentari siang dengan caraku sendiri.

Angin berbisik lembut seakan menyampaikan rindu dari negeri seberang. Masa lalu mengiang-ngiang, dialog percakapan, tawa lepas, dan tangisan senyap.

Perlahan aku berjalan menuju suatu tempat yang membuatku teriak lepas. Teringat sebuah dialog kawan.

“ Katanya televisi adalah jendela dunia.”

“Kata siapa, tuh buka jendela kamar biar loe tahu dunia yang sebenarnya.”

***

Jember, Juli 2005

Terik matahari merasuk kepori-pori kulit. Mendung yang tadinya datang menggelapkan alam, diselamatkan dengan cahaya kemenangan. Genangan air terpecah-pecah akibat kaki yang hingar bingar.

Seseorang memandang heran. Kaki panjangnya beberapa menit yang lalu menginjakkan tanah kota yang terasa berbeda.

“ Kita naik angkot saja ya Dre!.”

Perjalanan terasa suram,ditambah bau badan akibat perjalanan tiga hari dua malam. Resah gelisah menari manjadi satu. Bayangan akan tempat menyeramkan membuat Andre terbungkam.

Tidak menunggu lama dari Terminal Tawang Alun Jember menuju tempat tujuan hanya membutuhkan waktu setengah jam.

Harumya tanah setelah hujan yang turun menebarkan aroma segar. Gedung-gedung bercat serba hijau membuat Andre ketakutan. Ia mengikuti langkah Mak Ida yang seakan menjadi juara atas kemenangannya hari ini. Ratusan mata memandangi seakan menodong.

Di sebuah ruang redup, terdapat meja jati disana. Andre hanya mendengar suara putaran kipas angin, pelupuk matanya mengitari seisi seantero, dan tepat di sebuah kursi gagah sedang duduk disana, seseorang.

“ Assalamualaikum ustad.” Sapa Mak Ida.

Percakapan panjang terjadi, membuat Andre malas mendengarnya.

“Mak, Andre ke kamar mandi dulu ya.” Belum mengiakan Andre langsung meninggalkan Mak Ida.

Ternyata awan mendung masih tersisa. Andre menyisiri jalan dengan perlahan. Ia keluar hanya ingin lari dari waktu. Sesekali ia melihat gedung-gedung yang akan ia tempati.

Brak… . karena keasikan melihat pemandangan ia sampai menabrak seseorang.

“ Afwan, akhi.” Dengan cepat seseorang itu membereskan buku-bukunya. Andre terdiam membisu, “ Bukannya ini daerah putra, kenapa ada santri putri disini?.” Ia melihat ruangan tempat perempuan itu keluar ternyata ruangan jurnalistik.

Merasa sudah lama ia berjalan, ia kembali keruangan ustad tadi. Ia melihat disana Mak sudah berdiri menunggu.

“ Bukan Mak dan Abah tak sayang padamu Andre. Tempat ini, tempat yang pantas untuk kamu mencari arti dirimu, duniamu, dan tujuan hidupmu.” Andre hanya terdiam, mengumpulkan tekad untuk mengucapkan sesuatu.

“ Ayo ustad dimana kamar tempat saya tinggal?.” Ucap Andre, dengan cepat mengambil tas bawaannya.

Perlahan ia berbalik arah meninggalkan Mak, tanpa menyalaminya.

“Andre.” Mak berlari mendekati Andre.

“Satu pesan Mak, Palembang tanah kelahiranmu. Kembalilah nak suatu hari nanti, Mak dan Abah menunggu.” Mak memeluk Andre dengan erat. Perlahan Mak meninggalkan Andre di tempat yang memiliki nama Pondok  Pesantren.

***

Rupannya rembulan sedang berbahagia malam ini. Cahanya jatuh tepat di wajah yang sedang berdiri disalah satu jendela kamar. Andre merasa sepi dalam keramaian. Pikirannya melayang ke pulau seberang. Terasa baru kemarin bermain bola bersama teman kecilnya. Baru kemarin ia manangis kesakitan akan luka bengkak akibat jatuh di pelukan abahnya. Sekarang ia merasa asing di pulau orang tanah yang ia pijak terasa aneh dalam dirinya.

“ Memang susah untuk mewujudkan keinginan menjadi kenyataan. Lama kelamaan kamu pasti bisakokmenyesuaikan diri sama tanah Jawa. Ingat kawan Allah memberikan apa yang kita butuhkan bukan apa yang kita inginkan.” Suara itu melebur lamunan Andre. Andre menatap heran keteman sekamarnya itu.

“ Maaf perkenalkan namaku Rendi, ayo jamaah magrib di masjid.” Ajaknya.

“ Kamu duluan aku nyusul.” Jawab Andre.

Tempat ia sujud kali ini membuatnya teringat sujud-sujud bersama Abah. Andre tidak ingin kelihatan lemah, ia ingin membuktikan bahwa dirinya bisa mencari dunianya.

Diruang kamarnya, ia banyak diam. Adaptasi dengan orang baru lain suku dan budaya sangat mudah untuk dilakukannya. Tetapi bukan hal itu yang membuatnya diam hanya menunggu ketenangan hati.

“ Ndre kamu dipanggil Ustad Salman di ruangannya sekarang.” Ucap Rendi.

“ Untuk apa?.”

“ Entahlah.”

Andre langsung bergegas beriringan menuju ruang Ustad Salman. Ia merasa angin sedang ribut di luar. Sinar rembulan tidak sampai sempurna ke pelataran pesantren. Lantaran tersangkut dan membias oleh dedaunan rimbun.

“ Aku nunggu diluar ya Dre.” Ucap Rendi. Andre hanya mengangguk mengiakan.

Di dalam ruangan Ustad Salman sudah duduk tenang di singgahsananya.

“ Assalamualaikum.”

“ Waalaikumsalam, silahkan duduk Dre. Jadi ini daftar peraturan dan surat keterangan kamu masuk kelas. Sekarang kamu boleh mengikuti rangkaian kegiatan pesantren, beradaptasilah. Ingat Mak Abahmu di Palembang.”

“ Terima kasih, ustad.”

Rendi masih menunggu di luar ruangan. Mereka berjalan beriringan. Angin malam dengan nakal melambaikan dedaunan malam. Dingin merasuk ke tulang dalam. Menghempas mamainkan alunan musik bambu. Awan malam amat sangat menakutkan.

“ Daftar peraturan.” Tanya Rendi.

“ Gua nggak suka diatur, gua mau hidup dengan cara gua sendiri. Mending loe simpan aja kertas ini.” Dengan cepat Andre mengambil tangan Rendi dan menaruh kertas itu ketelapak tangannya.

Angin mulai mengencangkan langkahnya. Dengan lihai memainkan sarung mereka. Senyap menyapa mengganggu. Suara siulan bambu membunyikan ratapan alam. Malam sudah larut dan bulan ingin menyelesaikan tugasnya. Tetapi, salah sepasang mata masih belum terpejam.

***

“ Jadi, ini teman baru kalian, Andre dari Palembang.” Belasan pasang mata menatap ke arah Andre. Andre mendapati satu pasang mata yang tak asing baginya. Benar saja, disana terdapat Rendi.

Tidak terlalu buruk hari ini, Andre menikmati suasana belajar yang cukup menyenangkan. Di sebuah pohon kapas di tengah lapangan belakang pesantren, ia duduk dengan memainkan buku dan bolpoinnya. Birunya awan dan lembutnya angin, membawa ketenangan dalam hidupnya.

Bentangan langit membuatnya teringat akan Palembang. “ Apa kabarnya Mak dan Abah disana?.” Lamunannya jauh mengambang menari bersama awan. Ia tidur terlentang, seakan dunia berada dalam genggamannya.

“Di saat dunia seakan menjauhi kita, hanya alamlah yang setia mendengarkan kita. ( Seseorang itu tersenyum). Gimana udah mendingan?.” Sontak Andre bangun dan mencari sumber suara itu.

“ Ini juga tempat buat aku berimajinasi dengan semesta lepas. Sunyi, damai, dan jauh dari dunia yang rumit.” Lanjut seseorang itu.

“ Jadi tempat ini sudah ada pemiliknya. Maaf kalau saya mengganggu anda.” Andre langsung bangkit bejalan meninggalkan seseorang itu.

“ Namaku Irul, kita bisa jadi teman. Menempati tempat ini bersama-sama dan berimajinasi lepas ke alam semesta.” Hati Andre merasa terenyuh, baru kali ini ada seseorang yang nyambung dengan pemikirannya.

***

Mega merah menampilkan keajaiban waktunya. Para santri menjalankan rutinitasnya dengan disiplin jamaah, ngaji, dan hafalan kitab. Disini tidak aneh melihat banyak santri yang hafalan di atas pohon, belajar sambil menjemur baju, hafalan sambil jalan, dan yang paling menakjubkan belajar di WC. Rajin dan disiplin adalah teman sehari-hari para santri. Pelanggaran juga sangat ditegaskan, siapa yang tidak taat peraturan  akan mendapatkan konsukuensinya.

Di dalam sejuknya angin malam, awan malam dengan lihai menari di sekitar cahaya rembulan .

“Makasih Rul udah mau jadi temenku.” Ucap Andre memecah keheningan. Irul hanya tersenyum. “ Kayaknya cacing di perutku udah pada kelaparan. Cari makan yuk.” Rengeknya.

“ Aku tahu tempat yang tepat kita datangi.” Dengan di temani kunang-kunang malam mereka beriringan menuju suatu tempat. Ternyata tempat yang tepat yang dimaksud Irul. Dapur. Dengan cepat mereka mencari sesuatu yang bisa dimakan. Tetapi nihil makanan sisa tadi sore sudah habis. Ketika asyik mencari, Andre melihat bayangan dari balik rak piring. Perlahan ia mendekati rak itu, dan ternyata. Deg…, pemilik bayangan itu adalah Rendi.

“ Kamu ngapain disini Dre?.” Andre gelagapan. Di lain tempat Irul  mendengar ada keributan Irul langsung bergegas ke sumber suara.

“ Rendi?.”

“ Irul, ngapain di dapur?.”

“ Kita lapar jadinya pergi ke dapur, oh ya kenalin Dre ini Rendi. Teman dekatku juga.” Andre tersenyum.

“ Aku udah kenal, bahkan kita sekamar dan sekelas.” Rendi merasa ada perbedaan pada diri Andre jauh lebih baik. “ Aku punya ide tempat lain selain dapur buat kita makan. Ikut aku yuk.” Tanpa berfikir panjang Rendi dan Irul mengikuti langkah Andre.

Rupanya bulan, bintang, awan malam sedang bersahabat malam ini. Rumput bergoyang lembut ketika terhampas angin halus. Tepat di balik gedung batu bata Andre berhenti. “ Kita makan di balik gedung ini, aku yakin banyak pedagang kaki lima. Intinya kita lompat gedung sekarang. Nggak usah banyak komen biar nggak nimbulin keramain.” Mereka berdua terdiam, dengan apa yang dilakukan Andre. Ini pelanggaran kalau sampai pengurus pondok tahu mereka akan dihukum. Tetapi dengan tenang Andre tetap melancarkan aksinya. Dengan ragu Rendi dan Irul mengikuti Andre. Tidak butuh waktu lama mereka sudah berhasil melompati gedung itu.

Tanpa merasa bersalah Andre memesan bakso dan dengan lahapnya menyantap bulatan-bulatan bakso di dalam mangkoknya. Rendi dan Irul makan dengan ditemani rasa tidak tenang. Waktu menunjukkan setengah sepuluh. Dengan cepat mereka memanjat gedung yang tadi. Tak diduga ada Ustad Salman berkeliling mengamankan pondok. Di balik pohon mereka bertiga menahan nafas, agar pelanggaran mereka tidak tercium oleh Ustad Salman. Ternyata memang alam sedang bersahabat dengan mereka. Ustad Salman lanjut ke tempat lain. Dengan secepat kilat mereka lari ke kamar mereka, sebelum berpisah mereka tertawa atas apa yang mereka lakukan malam ini.

Malam larut menyisakan kisah alam yang seakan manja. Hati yang tadinya terbungkus awan mendung yang mengakibatkan hujan terjatuh sakit berubah menjadi pelangi indah, seakan menjadi  lampu bagi alam yang. Air hujan yang terpisah menyatu menjadi mineral alam yang menyejukkan.

***

Waktu mulai datang mengurai, dan lembaran kisah yang mulai menyatu. Ruang yang dulu menjadi bencana, berubah menjadi cita yang terencana. Kisah kawan seperjuangan tak terasa sudah seumur masa jabatan presiden.

“ Malam ini aku mau ke kos-kosan kakak ku lagi aku mendapat pesan dari perizinan kalau dia sakit lagi. Maaf ya Rul nggak bisa nemenin kalian lagi di ruang jurnalistik.” Jelas Rendi.

“ Nggak pa pa kok akhi, yang penting oleh-olehnya.” Jawab Irul. Tak lama kemudian mereka berpisah.

Sore ini burung ternyata sedang berimigrasi, berkicau seakan sebagai paduan suara alam. Rapat jurnalistik kali ini adalah rapat bulanan yang ditunggu-tunggu bagi santri jurnalistik putra, karena mereka akan rapat dengan santri jurnalistik putri.

Ruang rapat tidak jauh dari ruang jurnalistik Arul. Ketika hendak masuk ruangan.

“ Rul kelihatan Rendi nggak, soalnya ada rapat pengurus sekarang dan yang mimpin Ustad Salman bahayakan kalau di nggak hadir.” Ucap Andre.

“ Rendi ke kos-kosan kakaknya sekarang, kakaknya sakit lagi katanya.” Andre tak mengomentari dan langsung pergi meninggalkan Irul. Tanpa perintah Irul langsung masuk ke ruangan rapat. Rapat berjalan lancar.

Ketika Irul asyik berbicara dengan Sandi tim jurnalistiknya tiba-tiba ada santri putri yang mendekatinya dan ingin berbicara dengannya. Tasya, dia adalah pimpinan redaksi jurnalistik dari santri putri. Dengan hati yang penasaran Irul menunduk mendengarkan perkatan perempuan itu.

“ Afwan akhi, saya hanya ingin bertanya lelaki yang bersama akhi waktu sebelum masuk ruangan tadi, kalau boleh tau siapa namanya?.” Hati Irul merasakan kaget yang sangat dahsyat. Tetapi, ia menyembunyikan itu semua.

“ Dia teman saya Andre namanya ukhti, ada yang bisa saya bantu?.” Dengan malu-malu Tasya memberikan selembar kertas yang terlipat rapi, lalu pergi berlalu meninggalkan Irul dengan segala kebingungannya.

Terik surya merasuk menembus kain baju. Desir debu dan angin tidak terasa akibat sinar ultraviolet. Halusnya rumput taman mengelus kaki yang tak beralas. Mereka bertiga membicarakan mimpi yang telah mereka rangkai selama bersama. Mendapat beasiswa di luar negeri, target terakhir selama enam tahun di pesantren. Tetapi, semua keseriusan itu terlebur dengan topik yang tak terduga dari Irul.

“ Ndre ada titipan nih buat kamu.” Ucap Irul.

“ Dari siapa?.” Tanya Andre.

“ Kamu lihat sendiri siapa pengirimnya.” Ungkap Irul. Setelah dibuka Andre senyum-senyum tidak jelas, yang membuat Irul dan Rendi tertawa keheranan. Kini mereka semakin memahami perbedaan yang melengkapi dunia mereka, teman yang selalu mendukung dikala terjatuh tidak ketulung, dan teman yang selalu mengingatkan dikala karir naik daun. Tempat yang awalnya terfikir menjadi  tempat di atas awan mendung yang menyelubung jauh dari dunia. Sekarang menjadi tempat yang sangat dirindukan. Pesantren.

***

Muhadloroh acara yang ditunggu-tunggu kelas lima untuk menampilkan segala bakatnya untuk dipersembahkan ke kakak kelas enam yang akan melaksanakan ujian akhir agar menjadi hiburan sebelum siap berperang. Awan malam yang menyapa ramah sermah rapat yang dilaksanakan santri kelas lima. Pembagian tugas dilakukan secara adil menurut persetujuan seluruh santri kelas lima. Mereka bertiga mendapatkan peran yang pas untuk dipersembahkan Andre sebagai penanggung jawab dengan kepemimpinannya yang dipercaya sangat bijaksana, Irul penanggung jawab skenario drama yang dipercaya tulisannya sangat menggemaskan di hati penonton dan pembacanya, dan Rendi berpidato Bahasa Mandarin dengan kefasihan bahasa luarnya.

Muhadloroh akan dilaksanakan satu bulan lagi. Kesibukan para santri kelas lima sudah terlihat segala persiapan penampilannya. Dengan tidak mengesampingkan kewajiban mereka ibadah, sekolah, hafalan kitab, mereka tetap bersemangat tanpa rasa lelah. Muhadloroh kurang satu minggu lagi kesibukan mereka makin bertambah, semagat mereka naik menjadi seratus level karena penampilan mereka akan dihadiri oleh para pengasuh terutama Kyai.

Malam minggu yang sangat sibuk, dekor pentas masih belum terangkai jelas akan menggunakan apa dan formasi peletakannya. Waktu menunjukkan jam sepuluh malam tetapi, mereka tetap berkejar dan akan berlembur sampai waktu subuh datang.

“ Ndre aku mau keluar sebentar kalau ada yang nyarik, kamu bikin alasan yang masuk akal. Ok!” Ujar Rendi.

“ Kamu jangan keluar sekarang, kalau Ustad Salman tahu gimana mending besok malam aja. Apalagi kamu ketua keamanan pondok kan.” Sergah Andre.

(Baca juga : Cerpen Ini Ada Karena Dihukum )

“ Ustad Salman nggak bakalan curiga, ustad fikir aku ada sama kalian kan. Toh juga aku nggak kemana-mana mau ke kos-kosan kakakku. Kakakku butuh aku sekarang Ndre, nantik jam dua pagi aku janji bakalan balik.” Tanpa mendengarkan Andre mengiakan Rendi langsung pergi membawa tasnya. Tidak ambil pusing Andre melanjutkan kesibukannya bersama santri yang lain.

Waktu menunjukkan jam dua pagi kegiatan mereka tinggal yang ringan-ringan sebagian dari mereka sudah tidak bisa menahan kantuk lagi sehingga pergi ke pulau kapuk. Tetapi, Irul masih mondar mandir di teras aula berharap Rendi menepati janjinya.

“ Ndre kamu nggak mau tidur?.” Tanya Irul.

“ Kamu tidur duluan aja, aku masih mau diluar.” Tanpa bertanya lagi Irul bergegas meninggal Andre bergabung dengan yang lain yang sudah duluan pergi ke pulau kapuk.

***

Lelapnya tidur akibat capek yang menyerang, terganggu akibat keramaian yang mengiang. Andre berusaha membangunkan matanya yang terekat erat akibat kantuk. Setelah berhasil ia melihat sekelilingnya sudah kosong, teringgal barang barang pentas yang berserakan. Andre bergegas keluar mencari asal keramaian. Ia melihat seluruh santri putra nuris berada di halaman masjid yang luas. Dengan tertatih-tatih ia mengangkat sarungnya untuk mempermudah langkah larinya. Ia melihat ada Ustad Salman disana. Betapa kagetnya Andre ketika melihat sahabat seperjuangannya selama lima tahun di pondok tersungkur, terpeluk oleh Irul. Rendi. Andre tidak tahu apa yang terjadi, peristiwa yang mengakibatkan Rendi menjadi tontonan ribuan santri.

“ Rendi, jelasin apa yang membuat semua ini terjadi.” Tanya Andre. Irul pun ikut terdiam. Tak menunggu waktu lama sederet polisi berdiri di depan mereka dan menyeret Rendi ke dalam mobil. Rendi sempat tersenyum ke Arah mereka berdua, suara cacian para santri ribuan pasang kaki semakin membuat Andre kebingungan.

“ Irul, cuma kamu yang bisa jelasin apa yang terjadi sama Rendi.” Irul terdiam lama dan mengatur nafas untuk menjelaskan kepada Andre.

“ Ustad Salman menggerebek kos-kosan kakaknya Rendi dan Ustad mendapati ada perempuan yang tidur di samping Rendi. Kakaknya Rendi nggak   ada di sana waktu itu.” Andre terdiam tersipuh menjatuhkan dirinya ke tanah. Ia tidak percaya orang yang selama ini ia kenal sebagai salah satu orang yang memotivasi dunianya, melakukan hal yang sekeji ini. “ Kita teman yang tahu Rendi itu siapa, teman tidak pernah benci walaupun dia dibenci oleh seluruh dunia. Kita harus tetap di samping Rendi, ngedukung dia supaya percaya kalau dunia dia masih ada Ndre.” Andre bangkit dan tersenyum. Ia percaya kalau dunia mereka masih ada.

Waktu yang menegangkan datang, pertunjukan muhadloroh sudah di depan mata. “ Kita tunjukkan yang terbaik, kita persembahkan ini semua untuk Rendi, aku yakin dia hadir diantara ribuan orang yang tidak menginginkan kehadirannya itu.” Andre tersenyum dan memeluk Irul yang selalu berada di samping duniannya.

Ibarat film yang kehilangan tokoh utamanya, mereka lanjut merangkai mimpi yang sempat mereka tulis bertiga, dan sekarang harus di perjuangkan hanya berdua. Rindu. Tawa suka mengiang dikala sunyi bertengker di hati mereka, apa boleh buat hanya keajaiban waktu dan ruang yang akan mempertemukan mereka bertiga.

***

Kelas tertingi, kelas di atas kelas yang sangat penting dan momen yang tidak pernah terlupakan kini sudah dicapai Andre dan Irul. Kelas enam kelas yang sangat menentukan perjuangan mereka selama enam tahun. Kelas yang akan mengulang pelajaran dari kelas satu. Hafalan yang tidak ada hentinya.

Sedih karena hanya berjuang berdua menjadi motivasi mereka untuk tetap mau membuktikan kepada dunia kalau mereka ada.

Kesibukan Irul bertambah dengan kegiatan jurnalistiknya. Bahagia dirinya ketika membaca pamflet yang berisi tentang sayembara cerpen yang diadakan pengasuh. Semangat menulisnya bertambah, angin malam menjadi teman sejatinya ketika lembur sampai malam.

Andre semakin sibuk dengan tugasnya mengurus bahasa yang berlaku di pesantren. Mereka sekarang  jarang bercerita di bawah pohon kapas tempat mereka dulu. Sibuk dengan karir masing-masing.

Pengumuman sayembara yang ditunggu-tunggu sudah terpampang di mading, tidak menyangka Irul lah yang keluar menjadi pemenang. Ucapan selamat dari ustad panitia menjadi semangatnya untuk menulis lebih baik lagi.

***

Di ruangan jurnalistik Irul dengan lentiknya mengajak menari jari-jarinya dengan tuts komputer. Tiba-tiba.

“ Rul gua mau ngomong penting sama loe.” Ujar Andre dengan nada tinggi. Dengan sigap Irul mengikuti langkah Andre ke luar ruangan.

“ Gua nggak suka cara loe yang kayak gini, loe kurang tenar apa lagi sih Rul. Loe udah terkenal, semua orang udah tahu kalau kamu pintar nulis. Jadi kalok loe ikut sayembara nulis ya pasti loe yang menang. Loe jadi orang serakah banget tahu nggak.” Sentak Andre.

“ Jadi kamu ikutan sayembara ini Ndre, aku nggak tahu kalau kamu7 ikut. Lagian aku ikutan ini bukan karena aku pengen tenar t5api ada alasan lain Ndre.” Jelas Irul.

“ Gua kira setelah Rendi pergi loe yang paling bisa ngertiin gua. Tapi apa Rul, loe nggak jauh berbeda sama sampah.” Andre langsung pergi meninggalkan Irul.

Dengan teriak sekuat tenaga Irul berkata “ Dan loe lebih dari sampah kalau loe nggak bisa bersikap dewasa pada dunia.”

Angin ternyata tak lagi sebagai selimut mereka. Tahun-tahun terakhir yang diharapkan tahun yang paling mengesankan ternyata tak sejalan dengan keadaan.

Ketika shalat magrib Andre merasa ada Abah hadir di sampingnya. Lima tahun ia tidak pulang ke Palembang, bertemu dengan keluarga besarnya. Hari- hari liburnya di habiskan di rumah sahabatnya Irul di Surabaya dan Rendi Malang. Rindu, satu kata itu yang selalu melekat padanya tetapi susah ia utarakan pada dunia.

“ Ndre?.” Suara itu langsung melayngkan pikirannya pada kampung asalnya. Abah. Andre langsung menoleh, dan benar saja Abahnya sudah duduk di sampingnya.

Di bawah sinar hangat rembulan ayah anak itu bercengkrama. Seakan mencari mutiara yang berada di tengah lautan samudra. Abah merasakan rindu yang amat sangat di dalam dadanya.

“ Sebegitu marahnya kamu sama abah nak. Sampai surat dari abah dan mak tak pernah kau balas. Kabar sehat sekalipun tak kau kirim pada abah. Seakan kau tak menganggap abah ada. ( Seperti menahan kata dan mengambil nafas panjang ) mak sudah meninggal dua tahun yang lalu, abah sudah mengabarimu tapi kau tak membalas surat abah.” Andre seperti mendapatkan bencana yang bertubi-tubi. Ia harus rela kehilangan Rendi, kehilangan Irul, dan sekarang ia harus merelakan Maknya perempuan yang mengajarinya arti dari kehidupan.

“ Abah tidak bisa lama-lama disini, cukup tahu kalau kamu sehat itu sudah lebih dari senang untuk Abah. Ini pesan dari Almh. Makmu.” Andre tak menjawab ia, juga tak menatap Abahnya. Air bening mengarus seperti sungai. Rindu, yang ia simpan secuil terobati.

Untuk Ananda Andre Firdaus

Mungkin saat ananda membaca surat dari Mak, Mak sudah bahagia di atas sana melihat kamu sudah menemukan duniamu lewat pesantren ini. Maaf kan semua kesalahan Mak nak. Satu pesan Mak untukmu bahagiakan orang-orang terdekatmu. Takdhim lah pada semua ustad-ustadmu. Jangan lupa temui abah di kota kelahiranmu.

Pulanglah Ndre Abah menunggumu disana.

Palembang

Seperti hujan yang mengalir, hati Andre terasa terguyur. Ia menjadi orang yang paling kecil saat ini. Betapa dosannya Andre ketika dia tahu Mak tercintanya telah meninggalkannya untuk selama-lamanya.

***

Waktu yang sudah direncanakan tak sesuai dengan skenario yang telah tertuliskan. Tahun-tahun yang bagi seluruh santri kelas enam adalah tahun kemenangan tidak untuk oorang yang sedang berada dalam titik kegalauan persahabatan. Ruangan wisuda seakan mengingatkan dialog Rendib yang pernah terjadi.

“Eh, nantik kalau udah waktunya wisuda, aku bakalan pidato bahasa Mandarin ngewakilin kelas enam. Keren kan!.”

Kyai mulai memasuki ruangan wisuda, sambutan hangat kyai pada para peserta wisuda adalah sambutan yang ditunggu-tunggu selama enam tahun. Pesan terakhir yang paling menyentuh dalam hati. “ Jadilah orang yang berpengaruh nak, jangan menjadi orang yang terpengaruh. Bertemanlah dengan orang pintar maka kamu akan ikut pintar. Bagaikan kamu berteman dengan orang yang jualan parfum maka kamu akan ikut harum.”

Irul dan Andre saling berpandangan dalam jarak jauh. Pengumuman santri lulusan terbaik membuat para santri merasakan sakit perut saking merindingnya.

“ Lulusan terbaik tahun ajaran 2009-2010 adalah ananda, Irul Abdullah. Ananda Irul dimohon ke atas panggung.”

“ Assalamualaikum, terima kasih ke pada Allah yang telah memberikan kepintaran ke pada kita semua. Ini adalah kemenangan kita semua hanya saja wujudkan di perwakilkan kepada saya. Terima kasih untuk sang murabbi kita kyai, ustad-ustad, umi dan abi, dan kedua sahabat saya yang mungkin melihat saya di depan sini, kalian berdua adalah salah satu alasan saya tetap berada di pesantren ini sampai saya bisa berada dihadapan kalian semua.”

Di dalam kamar waktu berkemas Andre masih melihat gerak-gerik Irul. Andre merasa berat meninggalkan temannya itu tapi egois masih bersahabat dengannya. Ketika Andre mencoba mengambilkan kardus bawaan Irul, selembar foto terjatuh. Itu adalah foto Tasya. Betapa kagetnya hati Andre. Saat yang bersamaan Irul melihat itu semua.

“ Jadi selama ini kamu.” Ucap Andre terpotong.

“ Ia aku memendam rasa pada Tasya. Tapi kenyataannya Tasya memendam rasa sama kamu Ndre, dan aku menyimpan itu semua selama enam tahun dari kamu. Terima kasih udah mau jadi matahari dalam duniaku,”

Mungkin itu adalah kata terakhir yang akan di dengar Andre. Selepas itu semua ia mempersiapkan segala sesuatu syarat masuk kuliah. Irul sudah berada di ruang dan waktu yang berbeda..

***

Palembang, Juni 2016

Bulan sabit berganti bulan purnama. Januari bertemu lagi dengan januari. Satu tahun lebih Andre bergelut dengan dunia jurnalistiknya. Matahari menggantikan dinginnya embun pagi yang gigil, berharap Andre menemukan mataharinya yang telah lama menghilang. Seminar kali ini tidak seperti biasannya, harapannya tetap berharap bertemu dengan sahabatnya yang hidup dalam dunia tulis.

Nihil. Dari awal acara sampai akhir tak ada satupun tanda-tanda kehadiran sahabatnya itu. Ketika ia menyisiri pintu keluar ia menyenggol seorang perempuan sehingga buku bawaannya terjatuh. “ Maaf.” Kata Andre. Perempuan itu langsung berkata.

“ Maaf kamu yang namanya Andre bukan. Saya Caca teman Rendi.” Betapa terkejutnya Andre mendengar nama itu.

“ Aku tahu tentang kalian, dulu waktu Rendi masih di Indonesia dan masih menjadi seorang santri. Dia sering ke kosan kakaknya, aku sering lewat di depan kosannya itu. Tetapi malam itu malam terakhir yang aku adalah orang terbodoh yang telah menghancurkan dunia Rendi.” Andre mulai nyambung dengan apa yang perempuan itu katakan. Dengan menarik nafas panjang Caca melanjutkan penjelasannya.

“ Malam itu aku minta tolong ke Rendi buat nyariin kos-kosan, setelah menemukan tempat yang pas, aku ketakutan di daerah itu. Tanpa Rendi ketahui aku mengikutinya sampai ke kos-kosan kakaknya. Lama aku di luar kamar kos-kosannya aku merasa ketakutan dan aku masuk. Saat aku menulis surat ucapan terima kasih segerombolan orang menggerebeg kamar itu. dari kamar itu aku tahu kehidupan pesantren Rendi, ia memajang foto temannya salah satunya ada kamu Andre dan malam itu aku sempat membaca di bawah foto kalian Rendi menulis. “ Kita seperti AIR ( Andre, Irul, Rendi) melewati segala halangan dan rintangan, tetapi kita tetap satu tujuan.” Maaf ya Ndre.

“ Sekarang Rendi ada dimana.”

“ Dia nggak patah semangat setelah, dikeluarkan dari pesantren ia melanjutkan sekolah tekhnik dan sekarang mendapatkan beasiswa di China.” Ucapan terima kasih Andre adalah akhir dari dialog mereka.

Ia langsung pergi menemui abah di rumah.

“ Tekad Andre sudah sudah bulat bah, benar kata abah kesempatan tidak akan datang dua kali. Andre akan ambil beasiswa kuliah Andre di Amerika.” Abah tersenyum melihat Andre kecil telah kembali dalam pelukan dadanya. Air mata suka yang selama bertahun-tahun hilang kini kembali.

Rupanya angin menyampaikan kedinginan yang telah lama merasuk dalam badan. Awan malam seakan mengiringi langkah pasti yang sempat hilang.

***

America, Juli 2016

Kota Wasingthon ruangan yang akan menjadi saksi abadi rindu yang telah lama mendalam. Di jembatan kota Wasinghton Andre menunggu dengan di temani gerimis halus yang jatuh bergantian. Memori itu terulang lagi, seakan film dengan alur mundur.

“ Assalamualaikum, akhi. Afwan.” Ucap seseorang. Dengan cepat Andre mamalingkan kepalanya. Rendi. Sahabat yang bertahun-tahun menghilang tanpa kabar.

“ Mentang-mentang bahasa inggrisnya bagus, udah ada di Amerika aja. Gimana kabar keluarga di Palembang. ( Andre tersenyum) Ustad Salman?.”

“ Keluarga Palembang sehat semua. Ustad Salman di nikahb tahun kemarin sama ustadzah pondok putri.” Jelas Andre.

“ Irul?.” Tanya Rendi.

“ Mulai kejadian egois itu, kita jarang komunikasi. Aku yang salah aku marah tanpa sebab ke Irul. Irul nggak salah apa-apa dalam sayembara itu, mungkin hanya keirianku aja, ini semua terjadi.”

“ Sayembara sastra?. Waktu itu sih, sebenarnya aku datang waktu pertunjukan muhadloroh kkalian. Irul mendapati aku di belakang panggung kita sempat cerita-cerita, Irul juga menyinggung sayembara itu. Ia mengikuti sayembara karena untuk membayar ujian, umunya ngabarin kalau uminya nggak punya uang, itu alasan Irul ikut sayembara sastra itu.” Jelas Rendi.

“ Kangen banget sama anak yang satu itu.”

“ Ndre kalau seumpamanya, Irul ada disini kamu mau teriak apa?”

“ Iruuuul……, loe bukan sampahhhhh.”

“ Karena kita AIR, bagaimanapun seseorang ingin memisahkan kita, kita akan tetap bersatu.” Irul langsung berada di belakang mereka.

Hujan mulai menyelimuti rindu-rindu yang terpisah. Mimpi-mimpi yang terangkai bukan sekedar fana tetapi kenyataan. Tempat  yang penuh hidayah sang pencipta, membuktikan. Seperti kalimat jika tidak tersusun dari kata, kalimat itu tidak akan mempunyai arti.

Kau yang berdarah muda lentikkan karya. Dengar di ujung sana, dengan hati terbuka. Peka rasa.

Jember, 6 Oktober 2017

Di suatu tempat

Yang melebur bersama butiran hujan.

Related Post