Dilema Pesantren Modern dan Eksistensi di Masyarakat

Penulis: M. Izzul Aroby*

Sebelum meneruskan tulisan, yang perlu digaris bawah adalah maqom penulis bukan maqom pemberi saran maupun pengkritik kebijakan pesantren, tetapi hanya ingin menuliskan tentang yang terlintas di kepala.

Jamak diketahui, periode ini banyak bermunculan pesantren modern yang menggabungkan ngaji kitab kuning dan kurikulum sekolah. Suatu perpaduan yang apik untuk mencetak generasi yang mumpuni di bidang agama dan umum.

Pesantren modern juga turut membentuk karakteristik santri modern berbeda dengan santri generasi salaf, adapun yang akan menjadi objek tulisan ini adalah tentang hubungan santri dengan masyarakat. Santri pondok salaf bermukim di pesantren dan dekat dengan masyarakat, dalam bersosial sehari-hari, terjadi interaksi intens antara santri dan masyarakat, baik interaksi jual beli, menggunakan jasa maupun saling bercengkrama di waktu senggang. Tidak jarang diketahui di waktu panen para santri membantu masyarakat memanen dengan imbalan upah hasil panen. Berawal dari interaksi tersebut, terciptalah suasana yang harmonis saling mengenal antara santri dan masyarakat.

Mari kita tarik ke pesantren modern, pesantren modern dengan bangunan yang kokoh dan pagar di setiap pembatasnya menyebabkan kurangnya interaksi antara santri dengan masyarakat, ditambah dengan tersedianya semua fasilitas keseharian seperti toko kelontong hingga perlengkapan belajar membuat santri modern tidak perlu menembus gerbang untuk mencukupi kebutuhan sehari harinya. Praktis santri hanya akan berkutat di dalam pondok dan minim bersosialisasi dengan masyarakat sekitar pesantren. Bahkan tidak jarang santri yang telah mengenyam pendidikan di suatu pesantren selama 3 tahun akan kesulitan jika ditanya nama tetangga yang ada disekitar pesantren.

(baca juga: Swallow, Alternatif Hapuskan Kebiasaan Ghasab)

Dr. Kuntowijoyo menyebutkan “Ketika pesantren masih kecil dengan sedikit santri, pesantren sepenuhnya milik lembaga desa, tempat anak-anak belajar, ketika pesantren sudah membesar, ia akan lepas dari desanya dan berdiri sendiri, akhirnya akan menjadi lembaga yang terasing dari desanya.”

Ungkapan Dr Kuntowijoyo tersebut setali dengan kondisi di beberapa pesantren modern. Akar pesantren yang berawal dari pendidikan kecil berbasis milik bersama masyarakat desa dibuktikan dengan nama nama pesantren yang masyhur dengan nama desa tempat pesantren didirikan, semisal Pondok Lirboyo lebih familiar dari pada Pondok Hidayatul Mubtadiin, Darul Ulum Jombang masyhur dengan nama Pondok Rejoso dan banyak lagi.Dikotomi antara santri dan masyarakat yang tinggal dipesantren akibat kurangnya interaksi merupakan salah satu efek dari ketatnya peraturan yang dibuat lembaga pesantren untuk mengatur ribuan santrinya.

Menyikapi masalah ini tidak ada yang pihak yang dapat dipojokkan secara sepihak, beberapa model inisiatif pembelajaran harus diterapkan kepada santri untuk bekal bergaul dengan masyarakat, semisal menciptakan rasa tolong menolong antarsesama santri, selalu memberikan dorongan dan motivasi pada santri untuk ikut serat berbaur dengan masyarakat tatkala pulang saat masa liburan hingga membiasakan budaya saling senyum, salam, dan menyapa kepada sesama dengan harapan santri modern ketika boyong dari pesantren tidak hanya membawa segudang ilmu umum dan agama, melainkan fasih dalam bergaul dan membimbing masyarakat.

Waallahu a’lamu.

*Penulis adalah alumni MA Unggulan Nuris, kini melanjutkan studi sarjana di Polije

Related Post