Delapan Perkara yang Membatalkan Puasa

Penulis; Muhammad Hamdi, S.Sy*

Menjaga diri supaya puasa tetap sah merupakan perkara yang sangat penting, sebab supaya tidak mempunyai tanggungan kewajiban mengqadha’ setelah selesainya bulab Ramadhan. Maka dari itu, mengetahui apa saja yang membatalkan puasa merupakan hal yang diharuskan. Demikian akan diulas 8 hal yang bisa membatalkan puasa seseorang:

1. Riddah; memutus keislaman, baik dengan niat, ucapan ataupun pekerjaan. Riddah ini membatalkan puasa walaupun dilakukan dalam waktu yang singkat.

2. Haid, nifas, wiladah (melahirkan). Ketiganya ini membatalkan puasa walaupun terjadi singkat saja saat sedang berpuasa.

3. Gila, walaupun sebentar.

4. Epilepsi (ighma’) dan mabuk. Keduanya ini membatalkan puasa apabila dialami pada siang hari penuh saat berpuasa. Namun apabila sempat sembuh pada saat puasa, walaupun sebentar, maka puasanya sah (demikianlah pendapat yang kuat versi Imam ar-Romli). Sedangkan menurut Ibnu Hajar al-Haytami, apabila epilepsi dan mabuk tersebut terjadi karena kesembronoan, maka bisa membatalkan walaupun sebentar. Sedangkan menurut selain Imam ar-Romli dan Ibnu Hajar, keduanya bisa membatalkan apabila sembrono dan terjadi sehari penuh saat berpuasa.

(baca juga: Puasa Ramadan Pengapai Pahala di Umur yang Hilang)

5. Penyakit epilepsi atau ayan adalah kondisi yang dapat menjadikan seseorang mengalami kejang secara berulang. Kerusakan atau perubahan di dalam otak diketahui sebagai penyebab pada sebagian kecil kasus epilepsi.

6.Jima’ (berhubungan intim). Jima’ ini membatalkan puasa apabila dilakukan secara sengaja, mengerti keharamannya dan tidak dipaksa. Selain membatalkan puasa, juga mewajibkan 5 konsekwensi, yaitu: Mendapatkan dosa, Puasa hari itu tetap wajib dilanjutkan walaupun sudah batal, Dita’zir (dihukum) oleh hakim bagi yang tidak bertaubat, Mengqadha’ puasanya, Membayar Kaffarah (pelebur kesalahan) Udzma (tingkat tinggi), yaitu salah satu dari 3 perkara berikut ini secara berurutan; memerdekakan budak yang beriman yang tidak memiliki kecacatan yang menghalangi si budak bekerja. Apabila tidak mampu memerdekakan budak, maka diganti puasa dua bulan berturut-turut. Apabila tidak mampu berpuasa dua bulan ini, maka diganti dengan member makan 60 orang miskin, dimana setiap orang miskin satu mud. Apabila tidak mampu juga member makan orang miskin, maka Kaffarah Udzma ini menjadi tanggungan atau hutang baginya.

Kewajiban Kaffarah Udzma ini hanyalah bagi pihak laki-laki, sedangkan bagi pihak perempuan tidak wajib. Kewajiban ini juga berlipat-lipat apabila jima’ dilakukan lebih dari satu hari, semisal dua hari puasa melakukannya, maka ada dua kewajiban Kaffarah Udzma ini.

6. Masuknya benda ke dalam tubuh dari lubang tembus (manfadz) yang terbuka. Jadi disyaratkan yang masuk harus berupa benda, sehingga tidak membatalkan puasa apabila yang masuk ke dalam tubuh hanya berupa angin, rasa dan baunya makanan (tanpa disertai benda dari makanan tersebut). Begitu juga syaratnya harus masuk melalui lubang tembus yang terbuka, sehingga tidak membatalkan apabila masuknya melalui lubang tembus yang tidak terbuka, semisal masuknya minyak atau air ke dalam tubuh melalui lubang pori-pori kulit.

7. Istimna’, yaitu usaha mengeluarkan air mani (sperma), baik dengan tangan sendiri atau tangan wanita yang halal baginya. Begitu juga sebab memikirkan sesuatu atau juga melihat sesuatu yang disyahwati, dengan syarat apabila mengetahui kalau dua penyebab ini bisa menyebabkan keluarnya air mani bagi dirinya. Begitu juga apabila disebabkan mudhaja’ah, yakni tidur-tiduran miring dengan saling berpelukan. Namun keluarnya air mani sebab mudhaja’ah ini membatalkan apabila dilakukan tanpa ada penghalang sesama kulit yang bersentuhan.  Dan tidak hanya mudhaja’ah, melainkan semua bentuk praktek pertemuan kulit dengan perempuan yang tidak disertai penghalang, apabila keluar air mani maka membatalkan puasa. Dengan demikian apabila disertai penghalang, maka puasa tidak batal saat keluar mani.

8. Istiqa’ah, yaitu mengusahakan dan menyengaja keluarnya muntah, maka bisa membatalkan puasa walaupun sedikit.

Sumber; at-Taqriratussadidah fil Masa’il al-Mufidah, Hal 449-455

*penulis adalah staf pengajar BMK di MA Unggulan Nuris

Related Post