Jati Diri yang Terus Dicari

Penulis: Faidiyatul Hidayah Elbas*

Saya SHILA OKTAVIA ELBAS dan Crew yang bertugas mengucapkan terima kasih dan sampai jumpa,,,,

Usai sudah tugasku hari ini, melelahkan tapi hanya ini yang bisa ku persembahkan untuk pesantren tercinta. Aku memang tidak bisa banyak disegala bidang tapi aku bisa mengabdikan diriku dengan apa yang sudah menjadi bakat dan minatku. Di siang hari ini masjid kebanggaan pesantrenku ini menjadi tempat ku bekerja paruh waktu, selain mengerjakan soal soal yang menurutku rumit di kelas panas tak akan jadi masalah. Haus pun aku masih bisa menahannya sampai nanti aku kembali ke pondok. Tak banyak orang yang ingin tahu akan pengabdianku malah sebagian besar dari mereka meremehkanku dan hanya datang ketika membutuhkanku. Itulah hidup, memang tak mudah.

(Baca juga: anugrah Tuhan)

Aku banyak belajar dari beberapa guru khususnya guru mapel bahasa indonesia. Aku bukanlah siswi yang pandai didalam kelas dan aku juga bukan siswi yang berkecukupan seperti kebanyakan teman teman ku. Sedari aku SMP dulu, aku sudah memilih jalanku yang seperti ini. Aku bukan berasal dari keluarga harmonis, menurutku aku hanya kesepian dengan ayah yang entah sekarang dimana dan ibu yang beruntung. Karena diluar sana banyak anak broken home yang malah tak beraturan bagaimana hidupnya. Semenjak guru bahasa idonesiaku mengenalkan sastra, gairahku untuk menguasainya semakin hari semakin meningkat bagaimana tidak, disana aku bisa bebas mengekpresikan diriku sendiri secara bebas. Aku malah bertekad akan menjadi sukses di sastra tuk membanggakan orang tua dan guruku juga.

(Baca juga: Risalah embun)

Dahulu sewaktu aku kecil aku hanya hidup dengan kakek dan nenekku saja, ibuku sedang berkerja di luar negeri. Aku tak segampang ini tumbuh menjadi seorang perempuan dewasa yang hari hariku selalu dihiasi sepi, sepi dan sepi. Tapi semenjak aku masuk pesantren rasa sepi itu seperti terusir oleh kehadiran canda tawa dari teman temanku. Baru hidup seperti hidup yang sebenarnya aku merasa tak lagi sendiri dan sepi.

Tiba tiba di pagi hari yang sedikit mendung aku dijemput oleh bibiku entahlah dia hanya mengatakan bahwa kakek sangat merindukanku. Diperjalanan senyum ini tak bisa lepas dari bibirku, sedari malam tadi aku merasa sangat merindukan sesosok kakek yang sudah ku anggap sebagai ayah. Namun apa yang kulihat ketika sampai dirumah kakekku berbaring lemah dengan suara nafas kembang kempis hampir habis.

“Tidak,,tidak lagi aku kehilang,,,,hiks. Tuhan tolong jangan kau bawa kakek saya sekarang.” Namun doaku ternyata hanya percuma bekal dari pesantren ku gunakan terus melanturkan ayat ayat Al-Qur’an.

“Jika kalian mengaji saat ada keluarga yang sakaratul maut itu akan memudahkan dicabutnya ruh dari raganya,,” ucap ustazahku saat pengajian di pondok.

Semenjak kejadian itu aku menjadi seorang pribadi yang selalu melankolis yang menarik lagi dalam hidup tapi demi ibu dan nenek aku menggunakan topeng kedustaan. Wajah yang selalu datar tanpa senyum ku ubah menjadi wajah yang menebarkan senyum di pondok ini aku rela menghabiskan waktuku dengan berbagai kegiatan dan lomba sastra, akupun rela sakit karna sastra. Ambisiku dalam sastra seperti sudah tak terbendung lagi karena apa? Ketika aku hanya berdiam diri di kelas aku yang sedih nan rapuh itu tampak pada orang lain aku tidak suka di kasihani. Aku lebih suka mengukir warna pada hari orang yang ku kasihani dan kusayangi.

Kini tak ada orang yang melihat sisi sepi dalam diriku. Semua kulakukan sebagai seorang santri dengan meninggalkan nenek di rumah sendiri, aku yakin Tuhan akan terus melindungi.

 “Shila,kamu mau bayar kapan uang iuran yanh 300 ribu itu?” tanya temanku.

 “Sabarlah dulu aku masih mengumpulkan uangnya” jawabku jujur.

Ibu memang selalu mengirimku uang bulanan tuk bayar sekolah dan juga uang jajan sesuai jatah. Aku tak tega meminta uang padanya nantinya beliau akan pusing mencari kemana, jadi jatahku itu kusisihkan dan kutabungkan untuk setiap kebutuhanku. Bukanlah hal yang sulit macam seperti itu. Ustadzah-ustadzah di pondok banyak mengajariku bahwa barokah itu akan ada pada orang yang meyakininya.

Sebentar lagi adalah waktunya tuk tunjukan semua ilmu yang ku punya dan ku kaji. Tak harus menyiksa diri yang penting terus berusaha dan berdoa. Suatu saat nanti aku akan menjadi apa dan bagaiman.Karena hal yang harus ki cari masih tetap jati diri yang entah kapan akan kutemui.

Penulis merupakan alumni SMA Nuris Jember

Related Post