Penulis: M. Irfan Maulana*
Persaksian malam menjelma tuah bagi jalanku, menghantar suap air menuju bendung harap pengemis, lalu memenggalnya hingga menjadi reruntuh langit. Sepi menangis tersedu. Aku, patung jalan kota tanya.
Sesunyi tanah menyihir waktu menjadi dusta, melayang lambai menuju kampung beranak pinak tunas fajar, hingga menjulang menjadi rindu yang fana. Bumiku luruh dalam seduh peluh. Aku, layang yang terpendam.
(Baca juga: bukan puisi ibu)
Kabar yang memar kini samar, di beranda samudra ia kembali menemuiku sebagai surat kabar, di dalamnya memikul serumpun doa-doa kakek, yang runtuh sebab titah agama. aku terlantar dalam doaku sendiri. Dia menjelma kaktus.
Doa sepanjang debu telah menyelimutinya, menjadi kawan bincang kala rindu bergelantung, angin mungkin masih dan akan tetap setia, bercumbu dengan hilir yang mengalir pada duri jemarinya. Doakan dia.
(Baca juga: seorang malaikat titipan tuhan)
Suap menjadi pijak yang beriman, menelanjangi diri menjadi putri yang malu, atas tindak yang tak pernah tunduk pada cadik yang mengantarnya pulang. Hingga detik menjadi denyut, pagi selamanya akan bermunajat, mengharap tunas-tunasnya lahir di kebun air mata. Aku menjelma Kuasa yang gagal.
Jember, 18 oktober 2020
Sumber gambar: lifestyle.kompas.com
Penulis merupakan siswa MA Unggulan Nuris kelas XII PK 1 dan aktif di kegiatan penulisan kreatif sastra