Penulis: Wildan Hidayat*
“berikanlah kepada
kaisar
apa yang wajib
kau berikan padanya
sebagai wujud cintamu pada Negara”
Apa lagi yang harus kami berikan?
semua telah dirampas oleh cukong
yang di mulutnya bersemayam omong kosong
negara!
Kota-kota di seberang desa itu
melagukan hikayat orang-orang asing
terlelap dalam kemasan susu kaleng
dibelai aroma kota dari asap knalpot
hingga menyerahkan hidup pada plastik, merk
pakaian,
dan menanam beton di ketiak mereka yang lunglai.
Tubuhku, manekin tua, terjebak dalam etalase
dari sebuah toko yang menjual segala jenis sampah: bau amis negara, bangkai janji,
identitas palsu, musik sumbang di jam malam.
(Baca juga: misteri yang berselindung)
Pengakuan diri yang retak, di
sayu redup mata ibu
memakan sisa daur-ulang politik dari kejahatan masa silam
Tubuh yang semakin tak terawatt
juga menumpahkan segalanya di sini:
sungai yang tabah memeram murka
Hutan yang sabar menyimpan luka, lautan yang tetap berdoa dalam duka
burung-burung yang tak
pernah berhenti
untuk memahami isyarat langit gelap
yang suram oleh asap busuk itu
terkapar di atas tanah, bersama abu bekas hutan terbakar
tanah yang hitam, tempat darahku menetes
akibat tendangan serdadu serdadu yang kehilangan hasrat menjadi manusia
darah yang kusimpan di kantong ingatan!
tubuh tua renta yang kumuh, menengadahkan
wajahnya ke langit
doa doa melambung ke udara, bagai ribuan
balon kosong menghambur ke cakrawala
mengetuk ngetuk pintu langit, menggetarkan awan awan yang kering hujan
bersama puja puji yang rapuh
pohon –pohon ditumbangkan!
burung-burung enggan yang terbang
baru pulang dari hutan sebrang, menangis sepanjang petang
mencari ke manakah istri istri mereka menghilang
Mereka tak melihat istri istri mereka!
hanya ada sungai sungai suci
tertutup kayu kayu yang diikat satu satu!
di bawah cahaya rembulan,
terbentang potongan potongan kayu, dan sehampar hutan yang terbakar.
di desa!
nyawa anak anak melayang
di sebuah kubangan bekas tambang, ibu ibu
mengeja bayangan anak mereka
dengan air mata yang jatuh di tubuh malam.
sawah
menjelma hamparan ketakutan
padi tumbuh jadi debu, keringat kami mengalir jadi debu
sampai pada mimpi pun, kami tak mampu berlari dari debu debu
yang membacakan cerita perihal negara
sebuah mimpi buruk!
(Baca juga: kebun air mata)
di mata anak muda,
telah kau bangun pavliliun megah
dari sebuah prestise: perampasan dengan dalih pembangunan; dan peristiwa
pembunuhan di depan gedung tua yang kau sulam dengan ornamen euforia.
di laut
mimpi para leluhur kami
tenggelam dan tersangkut di antara batu karang
lalu perlahan susut di lekung selangkangmu
Ibu masih berdiri di pinggir jalan
seraya mengepalkan tangan kirinya!
mayat bapak yang penuh darah
kuanyam kembali dengan selembar kain hitam bergambar bintang merah: sebuah panji
perlawanan atas segala perampasan.
Setelah kematian ibu
kucopot kepalaku, ku potong tubuhku
kupasrahkan pada arus sungai yang meliuk liuk mengantarkan rindunya pada palung
muara
gunung gunung susut, sehampar pulau
susut, langit kusut, dan lautan mulai surut
hanya ada tangis dari tubuh bumi yang kecut!
urat-urat menyapu batu-batu
suara-suara membangunkan patahan reranting yang dininabobokan oleh setumpuk
penyesalan
Tapi batu dan patahan
ranting itu,
terus meracau segalanya lewat desir angina
dan gemuruh arus sungai yang kian asing.
Jember, 10-17 Oktober 2020
Sumber gambar: sdi.id
Penulis merupakan siswa MA Unggulan Nuris kelas XII PK 1 dan aktif di kegiatan penulisan kreatif sastra