Sebilah Nasihat

Penulis: Muhammad Hasbi Farih*

Pada saat umurku mencapai 16 tahun, aku masuk di kawasan yang sangat diberkahi oleh Tuhan. Di dalam tempat itu terdapat orang-orang yang ketika berjalan menuju tempat lain, malaikat menghamparkan sayapnya demi memuliakannya. Tempat dimana para pencari secercah cahaya Ilahi berkumpul.  

Banyak angan-angan yang belum pernah ku capai. Ku rasakan betapa pahitnya mewujudkan apa yang ku harapkan. Tapi aku tidak ingin menjadi orang gagal dengan keistiqomahan, mutholaah, musyawarah, juga dalam hal pengabdian. Mengamalkan juga sedang ku usahakan demi mendapat berkah dan manfaat.

Kuteringat dengan cerita ulama yang selama 40 tahun menuntut ilmu tetapi masih belum tercapai keinginannya. Kemudian beliau menemukan sebuah batu yang berlubang hanya sebab tetesan-tetesan air yang setiap hari menjatuhi batu tersebut sehingga batu terseut berlubang. Beliau berkata dalam hatinya, “Batu yang keras bisa dilubangi dengan air yang sifatnya lunak.”

Setelah melihat kejadian yang ia temukan tempo hari ia memiliki sebuah pemikiran baru dan ia kembali ke majelis yang ia tingalkan sebelumnya, “Semangat, sabar dan istiqomah bisa membuka pintu kesuksesan.” Inilah yang berada di fikiran beliau.

Ia Setiap hari menahan rasa kantuk demi menegakkan kepalanya ke Baitullah untuk memohon hajat yang ia harapkan tercapai. Ia setia melaksnakan sebuah pertemuan di sepertiga malam yang menjadi waktu istijabah menurut ahlul hikmah.

Dalam angannya bukan hanya ia yang bisa menikmati indahnya keilmuan akan tetapi juga orang lain. Ia bukan hanya belajar untuk memahamkan dirinya tetapi juga belajar bagaimana cara memahamkan orang lain.

Setelah itu, ia tidur sejenak menunggu fajar shodiq yang diiringi lantunan adzan. Setelah melakukan kewajibannya, ia mengambil waktu untuk menghafalkan sebuah nadhoman atau urutan bait-bait syair yang berisi ilmu nahwu dan karangan oleh ulama non-arab bernama al alamah Muhammad bin Abdullah bin malik al Andalusia meskipun orang ajam (Non-Arab) dengan legalitas keilmuannya beliau mampu meringkas kitab pertamanya yang berisi 2000 bait menjadi 1000 bait sehingga beliau memeberi nama pada karangannya tersebut dengan nama Alfiyah Ibnu Malik.

(baca juga: Anyaman Kematian yang Melarung Nyawa)

Kitab ini sangat digemari oleh kalangan santri, bahkan, kitab ini sampai diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa misalnya Spanyol, Inggris, Indonesia, Portugis, dan lain-lain. Ini menjadi bukti bahwa ilmu beliau bermanfaat dikarenakan dengan penuh keikhlasannya dalam mengarang beliau tumpahkan hanya ingin mengharap ridho Allah SWT.

***

Matahari telah muncul di arah timur diamana bunga mulai memencarkan pesonanya. Hewan mulai mengeluarkan suara merdunya, manusia mulai melakukan segala aktivitasnya. Tak luput pula di pesantren bel mulai bergeming yang membuat suasana tergesa-gesa khususnya bagi santri .

Para ustad mulai berkeliling pesantren untuk membangunkan santri yang maish terlelap termasuk Abdullah santri yang berasal dari Jember yang dikenal sulit bangunnya. Sampai-sampai ada tiga ustadz yang mengelilinginya.

Mimpi-mimpi telah Abdullah anyam dengan baik di kepala. Cahaya-cahaya telah berkelap-kelip. Tetapi ada yang ganjil dengan itu semua. Mengapa bumi rasanya seperti digunjangkan?

“Hei, Dul bangun!” Sambil menyemprotkan senjatanya ke mukanya.

“Mmm, capek saya tadz.” Rengek Abdullah yang malas bangun

“Ayo Dul, bangun, ini sudah jam setengah tujuh, santri lain sudah mau berangkat ke madrasah. Kalo kamu gak mau berangkat aku akan langsung menghubungi orang tuamau.” Ancam salah satu ustad kepada Abdullah

“Beh…beh…tadz aku bangun…” sambil merasa kesal Abdullah bangun

Abdullah adalah santri agak nakal tapi gampang khilaf dan paling takut dengan orang tuanya, beda halnya dengan Hamid yang termasuk santri sholeh, pendiam, ganteng, pinter, yang penting orangnya perfect.

Setelah itu ia bergegas untuk melakukan segala aktivitasnya, meskipun pada akhirnya ia harus rela dijemur di depan kelas. Tapi ia selalu ingat pada tunggakan pembayaran yang menjadi tanggungan orang tuanya. Tepatnya pukul 07.15 WIB, lantas ia melangkahkan kakinya menuju kelasnya. Sampai disana ia langsung ditegur oleh ustad yang pada saat itu lagi menerangkan.

“Kenapa kamu terlambat!? Padahal semua ustadz sudah sepakat memberikan dispensasi waktu lima menit dari pukul 07.00 bagi santri yang terlambat.” Tanya ustad yang sedikit naik nada bertannyanya.

“Maaf ustadz, saya tidak tidur malam hari.” Bela Abdullah

“Kenapa?” Tanya ustad kembali

“Saya nggak tidur karena mutholaah Alfiyah dan pelajaran lalu.” Bela Abdullah yang merasa alasannya baik.

“Aktivitasmu memang baik, tapi caranya salah, ibarat kamu mencuci baju dengan air kencing.” Balas ustad yang membuat Abdullah menyesal telah menjawab demikian.

“Sekarang kamu harus melunasi kewajibanmu kali ini yaitu rela menjemur badanmu di depan kelas.” Perintah ustad kepada Abdulah.

“Enggeh ustadz.” Meskipun ia memiliki kecerdasan lebih, ternyata ia juga mempunyai tanda besar.

Dan Abdullah pun berdiri di depan kelas, bukan hanya diam tetapi ia juga memanfaatkan momen ini untuk mengulang kembali apa yang telah ia mutholaah tadi malam.

*Penulis adalah alumnus MA Unggulan Nuris Jember tahun 2021, karya cerpen ini adalah salah satu karya cerpen terbaik dalam ajang GSMB tingkat nasional tahun 2020 di Surakarta

Related Post