Mata Hati yang Biru

Penulis:M. Irfan Maulana*

 “Adnan!” kawan penaku meneriakkan suara seraknya padaku. Memang itulah aku, Adnan, hanya Adnan, tak ada depannya maupun belakangnya. Dua tahun silam, nama ini dijatuhkan oleh tuhan padaku. Pada saat umurku menginjak dua dekade, Sekolah Menengah Atas.

Selama 16 tahun, namaku Aland, Aland Sashfu. Aku juga tidak tahu apa artinya nama itu. Waktu namaku diubah, umurku genap 2 dekade atau 16 tahun yang lalu. Pada saat aku bermain-main dengan hobiku. Saat itu tim sekolahku tanding melawan tim sekolah sebelah yang telah menjadi musuh bebuyutan. Bola yang besarnya melebihi kepala itu mengenai tulang dadaku. Dan akhirnya, jantungkupun melemah hanya gara-gara hobiku, Basket.

Lamunanku kabur disebabkan teriakan Ardhi. Lalu, akupun bergegas menuju padanya yang dari tadi telah menungguku yang sedang melamun.”Akankah kau menunggunya lagi? Jangan mau kau! Bukankah ia yang telah membuatmu bolos sekolah kemarin?” begitulah kata Ardhi, yang sejak lama telah menjadi teman penaku.

Ardhi pernah berkata padaku, jika aku adalah orang yang aneh semenjak ia pindah kota, dari Kota Jakarta menuju Kota Banyuwangi. Sebab, iamenyatakan aku tak pernah mau mendekati yang namanya cinta.

“Jangan ramai kau Dhi! Tau apa kau soal aku!” gertakku pada Ardhi. “Aku tak tahu kau!? Biarlah, jelas-jelas aku adalah teman dekatmu semenjak SMP dulu.” Balasnya dengan raut muka seperti sapi yang kehilangan ekornya.

Dua hari yang lalu, salah seorang teman permpuan dari kelas lain mengajakku pergi menuju kantin sekolah. Berdua, hanya berdua, aku dan dia. Sementara ini ia kujuluki dengan si “misterius” sebab ia yang menjadikan si Aland Menjadi Si Adnan. Saat itulah keringat dari tubuhku menjadi dingin, keluar tak terkendali, otot-otot tanganku bergetar, dan akupun merasakan rasa dari dua tahun silam, saat bertanding melawan sekolahsebelah itu.

(baca juga: Bara Berdebur Debu)

Saat mentari berganti bulan dan bulan berganti mentari, akupun enggan menuju sekolah. Sebab sisa-sisa dengannya masih berada. Utuh, dan tak mungkin menghilang. Dirumahpun aku hanya tidur tak ada yang lain.

Dan kini saat kemarin menjadi lusa, aku teguhkan hati dan tubuhku. Detik-detik pelajaranpun mengalir sesuai jalurnya. Tinggallah kini jam istirahat. Si “misterius” kembali menemuiku, dan mengajakku pergi. Kali ini bukan menuju kekantin meainkan menuju ke taman sekah yang telah diperbarui beberapa bulan lalu.

Seperti awan yang menagiskan hujan, ketika percakapanku dengannya selesai, dan bel masuk memanggil, ia sempat mengatakan “ Aku memperhatikanmu sejak namamu masih Aland, saat itu aku masih belum kuat untuk menerima jawabanmu, tapi kini, akupun siap, pasti kau mengerti kan?” dia benar-benar mengatakannya padaku. “Maaf ya, waktuku telah dekat, jadi nanti saja jawabannya.” Jawabku singkat padanya.

“Ardhi, bergegaslah cepat! Lajukan motornya lebih cepat!” perintahku pada Ardhi, sebab, jantungku kini sangat lunglai, lemas, sudah tak kuasa berdenyut. Dalam perjalanan, angin-angin jalanamenyampaikan pesan yang dibawakan untukku “Adnan, mari pulang, kini bukanlah disini tempatmu.” Ialah pesan dari Tuhan.

Setibanya dirumah, Ardhi menuntunku menuju ke kamarku dan mamapun khawatir padaku. Ardhi menceritakan kejadian saat di sekolah pada mamasecara detail. Aku menuliskan sedikit story kecil pada buku catatanku.

*****

“Adnan, bangun nak! Makan malamnya sudah siap,” teriakku pada anakku yang di bilang aneh oleh teman-temannya. Aku bergegas menuju kamarnya membangunkannya dengan irih, “Adnan, bangun nak, sudah petang,” aku mulai khawatir ada sesuatu yang terjadi padanya. Kupegang lengannya, buruk! Kusentuh lehernya, nihil! Juga pada arah jantungnya, akupun memeluknya. Akankah secepat ini kau meninggalkan mamamu ini nak? Maafkan mama yang selama tak dapat mengerti padamu nak,” air mataku tak mau berhenti, seperti air terjun yang baru terbentuk.

Aku mencoba menghubungi sanak keluargaku, juga para teman-teman Adnan yang sangat perhatian padanya. Yang palimh terpukul diantara temannya Adnan adalah Ardhi, juga si “misterius”. Ketika dokter sedang memeriksa jasad Adnan, Ardhi memeriksa seluruh ruangan kamar Adnan, dan ia menemukan,

Cinta…..
Mungkinkah kau datang
Akankah kau menjelma sebagai kawan?

Cinta…..
Mungkinkah kau itu
Mengendap diam-diam dalam jantungku

Cinta…..
Benarkanlah dirimu
Yang selama ini kudiamkan
Kiran, nama ituah yang misterius
Kabarkan pada semua si Aland telah menjadi Adnan,
Kabarkan pada si “Misterius” akupun mencintainya
                                                                        ADNAN
Dan Kiranpun juga membacanya dengan mata hati birunya.

*Penulis adalah lulusan MA Unggulan Nuris tahun 2021

Related Post