Penulis: Sixel Ade*
Masih terngiang suara deru-menderu kemarahan itu. Berperang akan menahan kejengkelan yang menjadi-jadi di dalam hati. Andai saja dapat kutunjukkan kobaran api yang melahap ban karet, dan itu adalah perasaan ku. Dari manakah aku harus mencari jawaban dari keputusan yang sangat canggung ini? Perasaa dilema yang mungkin kau tak pernah merasakannya. Lelahku saat kau memerlukan bantuan, selalu saja ku ulurkan waktu. Entah mengapa hal yang tak begitu penting hari itu menjadi ratu dalam ego ku. Tapi tak sedikitpun dirimu membentak ataupun memojokkan ku. Kau biarkan aku menyesal pada akhir waktu.
‘’Selamat malam sayang.’’ Suara lirih mu yang membisik di telingaku kala aku mencoba terlelap, namun sebenarnya aku masih tercegak. Kau eluskan tangan hangat mu kepada helai-helai rambut ku. Aroma parfummu yang khas membuat kantuk semakin membekuk. Tidak lain kau menemaniku hingga aku benar-benar hanyut dalam mimpi terindah. Tidak terasa mataku dibuat silau oleh sinar mentari yang menerobos melaui jendela kamar ku. Hidungku mencium aroma-aroma menggugah selera, terdengar jelas, meskipun sukma ku belum menyatu seutuhnya. Ku langkahkan kaki kecil ku mengikuti aroma itu. Nampak dari balik pintu dapur Bunda sedang memasak untuk sarapan kami.
Ayaaah….. teriak ku pada lelaki gagah yang menjadikan ku seorang putri kerajaan. Kemudian ia menggenggam tangan kecil ku yang hampir terjatuh karena terlalu kencang berlari. Senyuman lebarnya pertanda ia memberiku semangat untuk bangkit kembali setelah kegagalan ku. Seketika tangisan pecah hingga membuatnya risau. Seorang bocah yang menginginkan mainan hari itu juga harus segera ada dihadapannya. Hal yang seperti itu berlangsung cukup lama hingga membuat Si bocah beranjak remaja. Tak pernah terbayang semua akn menjadi kelam seketika setelah ku rasakan bahwa mentari tak terbit pagi ini. Mengapa? Siapa yang dapat menjelaskannya padaku? Kemanakah aku harus berpulang?. Dimana pelabuhan ternyaman untuk kusinggah?. Melihat semua berlalu secepat daun gugur. Tak dapat terpungkiri bahwa mereka adalah yang ku sia-sia kan kesabarannya.
(baca juga: Rindu Berkabut)
Mungkin hatimu telah lelah menghadapi diriku. Betapa susahnya aku disini tanpa dirimu. Betapa teganya engkau membuangku jauh dari mu? Tersadar akan kesalahan ku yang telah banyak melukai lubuk hati mu. Ternyata menjadi dewasa itu sangat sepah, ingin ku kembali kecil seperti dahulu. Yang hanya bermain di sepanjang waktu. Tanpa harus memikirkan cara pecahkan masalah ku. Semua itu harus ku lakukan sendiri, dan pasti tanpa dirimu. aku ingin berada di lingkaran pengawasan mu seperti dahulu. Dimana kau mencariku kala tak ada, namun saat ini kau membuangku? Mengapa? Apakah aku sudah tidak berguna lagi?. Sungguh tak pernah terpikir bahwa kau sekejam itu. Disini aku tak nyaman, makan ku tak enak, tidur ku tak nyenyak, kamar ku sempit, apapun harus bersabar. Aku ingin pulang, ingin disayang-sayang. Ingin ku manjadi balita lagi, agar selalu dimengerti. Keinginan ku bukan disini. Apakah ini adalah hukuman untuk ku yang telah banyak durhaka? Agar ku banyak belajar hukum-hukum agamanya?.
Tak sadarkah kamu bahwa ia hanyalah rindu, juga hawa nafsu yang berkecamuk parah karena gejolak egomu. Bukankah hatimu sendiri yang memintanya? Namun otakmu yang menolaknya?. Menitih bukan hanya sebelah kaki, namun kedua-duanya. Berhari-hari kau mengenyam kasih hingga tak tercabik oleh waktu, tiba-tiba kita harus berpencar di bawah langit menuju lubang tak terselubung. Kita harus terpisah menjalani takdir diri yang terarsip di angkasa. Semula kita begitu dekat, lantas terpisah jauh oleh lempengan waktu.
Aku tiba-tiba menjadi kehilangan sesuatu yang familiar di antara kutub kesunyian. Kusebut saja kutub rindu. Sesuatu yang semerbak kini telah kehilangan aromanya. Ku lihat bangunan kokoh itu bertebaran menjadi serpihan debu ulah uap air di atas sana. Nampak dimata namun benar-benar tidak dapat ku sanggah wujudnya. Kita bagaikan orang tak punya pilihan di tengah rimbunnya hutan tak bertanda. Tenanglah, kita masih punya hati yangtak pernah kehilangan arah tempat bertuju di perjalanan berikutnya.
Ayah, Bunda, saya bahagia di tempat baru ini. Di alam lain ku titahkan sesuatu yang berbeda. Kini ku terguyur embun kesucian hingga mengalir semua kelam-kelam lampau mengikat. Seluruh hati dan jiwaku membatu karenanya. Ayah, Bunda, kini air mata ini tak lagi tercucur sederas waktu itu. Akan selalu ku panjatkan permohonan suci untuk engkau yang telah memberiku pelajaran semulia ini. Semua itu bukan hanya sebatas candaan. Akan ku buat kau merasa beruntung karena memiliki aku.
Mimpi itu berulang-ulang dalam tidurku. Tak hanya sekali ia datang, bara api itu sangat jelas berada di puncak gunung. Tanpa ragu aku mencari bara api itu. Aku menemukannya, di puncak gunung belerang dengan tempat yang sama persis tergambar dalam mimpiku waktu itu. Perlahan ku langkahkan kaki mencari petunjuk. Hingga lelaki berambut panjang itu berkata
‘’Carilah. Sesungguhnya apa yang kau cari ada di sini. Ia memiliki gelang yang sama seperti mu. Lemparlah bola permatanya dan ikutilah arah panahnya.”
(baca juga: Memeluk Hujan)
Aku mencari siapakah ibuku sebenarnya, mengapa warna kulit juga mata ku berbeda jauh dengannya. Aku yakin bahwa ibuku bukan dia. Namun wanita yang sedang berada di depan mataku ini. Aku benar-benar menjumpainya. Dan bagaimana cara ku membuktikan bahwa ia benar-benar ibu kandung ku?. Karna setelah mengamatinya aku tidak menemukan gelang seperti ini di tubuhnya. Ada sosok yang selalu mengantarku jauh terlelap di dalam mimpi hingga akhirnya ku menjumpai wanita ini. Ia sering menyanyikan kidungan jawa ataupun nasihat-nasihat melalui mimpiku, aku sangat mengingatnya dalam otak ku bahkan itu telah terarsip rapat-rapat. Lalu aku memancingnya
“Lare putra ingkang wengi…” Lalu ia dapat melanjutkan kata-kataku. Matanya berbinar, senyumannya mulai tampak menyungging bibirnya. Wanita itu menyanyikan kidungan jawa persis seperti dalam mimpiku.
“Silir banyu moto mili-mili nyapu janji…” Dengan perlahan ia memainkan cengkok khasnya. Akupun dapat melanjutkan kidungan itu dengan semprna, dari itulah aku meyakini ia adalah ibu kandung ku. Yang selama ini hilang tersapu arus tsunami dasyat kala kegelapan menyapu ratakan desa ku.
Ketika pulang nanti, aku tak ingin mengulang semua kesalahan ku padamu. Aku ingin berbakti padamu, karena aku takut tak ada kesempatan lagi setelah itu. Allah telah menakdirkan sesuatu yang berbeda dalam hidup ku. Sangatlah istimewa, yang orang lain belum tentu dapat merasakannya. Menjadi seorang santri, bukanlah kemauan ku. Namun ini adalah sebuah takdir, kadangkala sesuatu yang engaku sukai hanyalah menyesatkan dan yang engkau benci adalah yang menenangkan. Siapa yang tidak suka dalam kebebasan, siapa yang tidak ingin sama dengan yang lainnya. Jika engkau menuruti itu semua, maka habislah semua harapanmu sebelumya.[]
*penulis adalah alumnus SMK Nuris Jember, jurusan TKJ, tahun 2022