Penulis: Ahmad Rizqi Yansah*
Suatu pagi dihari yang cerah, aku memutuskan untuk pergi ke perpustakaan kampus, yang terleletak tepat di jantung kampusku. Perpustakaan itu berdiri dengan megah serta berada di samping masjid kampus. Hingga akhirnya ada satu kejadian yang membuatku harus menanggung malu.
Jantungku berdegup kencang karena panik bukan main. Bagaimana tidak, flashdisk yang berisikan data-data penting selama kuliah, termasuk skripsi, hilang di dalam perpustakaan. Rasa takut dalam diri kemudian membuncah lantaran aku tak mempunyai back up data skripsi.
Aku mencari di seluruh sudut perpustakaan sampai bertanya sana-sini juga ke petugas. Hasilnya nihil, flashdisk berisi data penting tak jua ditemukan. Di hari yang sama ketika flashdisk milikku hilang, ada beberapa teman yang juga ikut ke perpustakaan. Salah satunya Reza. Mantan teman dekatku yang beberapa bulan terakhir ini aku sering cek cok dan perang dingin dengannya.
(Baca juga: lantung-di-cakrawala)
Perasaanku tertutup dan akal sehatku menuduh Reza sebagai dalang hilangnya flashdisk di perpustakaan. Ketika aku berada di kelas saat hendak memulai perkuliahan tanpa tedeng aling-aling aku menuju ke tempat duduk reza.
“Kamu kemanakah flashdisk milikku, Za?” cetusku.
“Apa maksudmu?” Reza menimpali bingung.
“Jangan pura-pura tak tahu, kamu pasti yang mengambil flashdisk punyaku ketika kita berada di perpustakaan tempo hari,” desaku.
“Ha?” Reza berdiri terpancing.
“Jangan asal nuduh, aku sama sekali tak tahu,” nada suaranya mulai ikut naik.
Sadar ada keributan di kelas, semua mata orang di kelas tertuju pada kami. Kini, aku dan reza saling berhadapan berdiri. Bagai dua orang yang siap berkelahi. Temanku Boy lalu berdiri mencoba menengahi.
“Ada apa ini ribut-ribut?”
“Ini si Reza maling flashdisk di perpustakaan,” ungkapku. Tak terima disebut maling, Reza kemudian mulai menarik kerah kaosku.
“Jangan omonganmu, hati-hati kalau bicara!” ujar Reza marah.
Ketika di ujung tanduk dan hampir terjadi perkelahian, Pak Sony kemudian masuk kelas. Ia kaget karena melihat pemandangan kelas yang sudah memanas. Pak Sony lalu bertanya setengah bingung.
“Ada apa ini? Sudah jangan ribut di kelas,” ungkapnya hendak melerai.Kemudian Boy menceritakan apa yang sedang terjadi. Pak Sony lantas mengeluarkan sesuatu di dalam tasnya.
“Tadi ada petugas perpustakaan menghampiri bapak memberikan FD ini. Si petugas ngomong kalau FD ini terjatuh di tangga perpus. Setelah di cek ternyata ini punya kamu, Marsel,” jelas Pak Sony.
Hatiku bergetar kencang, antara senang dan malu. Senang FD milikku ditemukan, malu karena sudah menuduh reza tanpa bukti kuat. Pak Sony pun kemudian mencoba mendamaikan aku dan Reza. Lantara salah, aku langsung meminta maaf kepada Reza karena sudah menuduhnya sembarangan. Mulanya Reza enggan untuk menerima maaf sebab ia kesal bukan main sudah dituduh sembarangan. Namun Pak Sony dan teman di kelas mencoba mencairkan suasana dan menjelaskan ini cuma salah paham. Sebagai gantinya aku pun berjanji akan memberikan Reza makan siang.
Pak Sony juga memberikan petuah agar tak main tuduh ke orang, meski orang itu sedang punya masalah denganku. Apa pun yang terjadi, kita harus berpikir jernih. Aku kemudian meminta maaf ke Reza, Pak Sony, dan teman-teman di kelas.
Penulis merupakan siswa kelas X PK MA Unggulan Nuris