Penulis: Aldhila Ayu Widianingrum*
Jika aku belum sanggup berkenalan dengan angka yang kau tulis, kata-katamu mampu menggenapkan apa yang sedang kuganjilkan, kubiarkan sebilah rumus betah singgah di kepala ayah, yang sedang menggenapkanku di tiap – tiap angka lima.
Pagi-pagi ayah sudah merebus angka agar aku mudah memisahkan cara logikaku, menyajikan secangkir teori untuk kuseduh penuh penghayatan. Tiba-tiba ibu iba melihatku, akhirnya ia membagikan sepotong bilangan yang renyah dengan kelezatannya.
Tak sengaja Aku melihat pak pos sibuk meletakkan majalah penuh dengan tulisan sandi morse, terlihat lebih sulit jika menebak hasil penyilangan ayah. Objeknya penuh titik dan garis dimana mana, persis penyajian ayah tiap pagi, terdapat sederet angka penuh penyebutan tiap satuannya, aku sangat tertarik.
(baca juga: Bukan Puisi Ibu)
Esoknya ayah melintasi jawaban yang kutegakkan, peluncuran dadu menggelinding lebih cepat daripada takdir, ayah tak lagi terlihat dari kemisterian piring hitam. Penyesalan apa yang membuatku takut di dalam ketertarikanku.
Minggu ini ku memeluk bimbang rumus pitagoras yang merayap sendirian. Ibarat cangkir kosong tiap pagi.
Ayah telah menitipkanku pada perumahan ramai santri, tak ada lagi penyajian dan seduhan dari ayah lagi, bahkan menunggu pagi pun tak ada lagi berita baik dengan kekenyangan asupanku.
Ayahku,
*Penulis merupakan alumnus MA Unggulan Nuris