Reinkarnasi Syirawaih

Penulis: Iffah Nurul Hidayah*

Perkenalkan Kami adalah Iblis, reinkarnasi pertama Thau’n Syirawaih dan reinkarnasi kedua Corona.

            Ratusan tahun silam masih dekat dengan ujung lunar, hitungan ke enam. Oh iya, para leluhurku besar di sana, membangun keluarga yang tampaknya berbahagia. Yaitu mengalir bersama darah merah tikus pasar, tikus parit serta tikus-tikus lainnya. Hingga akhirnya mengungsi, bersembunyi bersama angin yang terus-terusan hijrah. Apik menggarap tugas-tugas Tuhan di turunan bumi. Nah, para leluhurku ini juga terus-terusan mendapat nilai mendekati sempurna dari Tuhan.

            Perfecto!

                                                                        ***

2019

Kami diutus, bukan untuk bermalas-malasan, mengingat beribu-ribu hari, berjuta-juta jam kami tak pernah tidak naik kelas, sama sekali tidak pernah. Kata sesepuh kami juara 1, tapi juara satu kami bukan di mata Tuhan. Sesuai titah, pesan, serta peraturan turun menurun yang selalu terlaksana. Di dekat mata-mata sipit kami melirik. Menaruh simpati luar biasa yang mungkin akan sedikit membuat hitungan nafas mereka berwarna. Biru pilu, merah marah, hitam runyam juga warna-warna indah lainnya. Kami mengajaknya bermain di kandang mereka sendiri. Ah, bukannya mereka memang suka bermain. Sepak-menyepak misalnya. Lalu, bagaimana mereka akan menyepak kami? Cuih!  Kami akan lihat seberapa mengesankan mereka meluncurkan sepakannya.

Di penghujung tahun, kami hanya membobol setidaknya 600 nafas, pergerakan lambat. Nilai kami merosot deras, serupa air terjun yang rontok menghantam bentang bebatuan yang tergeletak di bentang tanah. Terjun bebas di antara dua kutub. Namun membeku ketika telah sampai bawah. Kami terancam, dan benar saja. Dari akhirat kami diteriaki. Pasalnya kami memang tak becus.

2020

            Kami masih di kandang mereka, menyusun taktik, dan 1001 trik. Istirahat sejenak sembari menyaksikan, mengawasi hingga mereka lelah lengah. Mengevaluasi kinerja yang dianggap buruk oleh sesepuh. Kami butuh secangkir kopi juga inspirasi yang akan kami sulap menjadi sebuah konspirasi. Kami duduk sejenak di teras kehampaan. Pemandangan yang luar biasa dari manusia-manusia yang terkantuk-kantuk di depan monitor komputer. Sesekali mereka terdiam, bosan sendirian. Tapi bukankah dahulu kala, kekasih Tuhan telah bersabda agar mereka tak mendekati ia yang telah kami jadikan hunian. Mulanya kami berjalan mendekat, meraih dan menggenggam tangannya kemudian mereka seharian tak bisa tidur setelah bersin dan batuk tak henti-henti. Seminggu setelah itu, mereka mulai memukul-mukul dadanya sendiri. Perlahan mereka juga kehilangan nafas.

            “Tak akan sampai di negeri ini. Mereka tak suka panas, bisa mati nanti.” Celos mereka asal khatulistiwa.

Bagus juga isi ruang otak mereka, mungkin karena makanan otak-otak yang dibawanya ke otak bukan pada lambung. Mereka tetap tenang dengan perlawanan ulang kami di negeri-negeri seberang. Apa istilahnya? Ah iya, mereka sering mengatakan santuy. Mereka belum pernah tahu mungkin. Kami berasal dari sepanas-panasnya tempat. Kami sudah siap berangkat, tinggal memutar kemudi, sebentar lagi kami tiba berkunjung.

Sampai pada bulan ke dua tahun 2020 romawi, kami sudah bisa foya-foya. Mencicip tiap hirup mereka, manusia. Merasakan denyut nadinya yang tiada henti menangis hingga sesenggukan, meraung-raung seperti kucing yang memang tidak bisa meraung.

                                                                        ***

Kami mendengar lantunan lantang dari mantan budak berkulit hitam itu. Menyebut-nyebut Tuhan Yang Maha Besar. Kami turut serta dalam rombongan kekasih Tuhan. Menanti waktu yang telah kami tandai dengan patahan-patahan mahkota di sekeliling tubuh kami. Kami pun turut menumpang pada punuk unta, ekor unta atau mungkin pada bulu mata lentik unta.

“Sampai kapan kita akan ada di sini?” Tanya salah satu kepala keluarga yang merebahkan tubuhnya di lengkungan bulu mata unta.

“Tunggu sebentar lagi, ketika rombongan ini berhenti, kita akan menjemput beberapa saudara di parit dekat kebun kurma itu untuk kita ikut sertakan,” si penumpang punuk unta menjawab sembari melahirkan tiga bayi kembar.

(baca juga: Menghitung 6666 Sajak Langit)

Setelahnya kami bersyair, menyambut saudara-saudara kami yang akan menunaikan ibadah bersama. Kami lantas menggarap tugas, yang kami anggap sebagai ibadah utama kami. Membuat hunian baru yang akan kami tetapkan menjadi rumah sah kepemilikan kami. Satu dari mereka mulai mengeluh, berguling-guling menahan pedih.

Lantunan lantang “Allahu Akbar” Masih berkumandang rindang. Antonim dari pendengarnya yang mulai muring-muring.

“Tetaplah Kalian di rumah dan tangisi dosa-dosa kalian,” Khalifah pertama mereka bertutur. Memberi nasihat untuk mereka yang masih berguling-guling. Pemimpin mereka yang juga sekaligus kekasih Tuhan benar-benar imbang menyaingi kami. Membuat seluruh umatnya mengikuti apa yang pemimpinnya titahkan. Di sisi lain mereka akan saling membunuh jika mereka terus berkunjung. Memerangi nyawanya sendiri.

                                                                        ***

Apa kabar dengan bumi? Masihkah ombak-ombak pantai yang katanya indah menyapu pasir pantai? Masihkah pepohonan hutan melahirkan tunas? Masihkah hilir sungai mengalir, atau malah berganti hilir mudik yang mondar-mandir. Kami melihat mereka yang tak bisa melihat kami. Cekikikan menertawakan kawannya yang tak sengaja tersandung tali sepatunya sendiri. Melihat bapak-bapak yang asyik mengepul asap di warung kopi. Melihat ibu-ibu yang sibuk gosip kesana-kemari. Melihat juga mendengar.

“Aku nanti ingin pergi ke swalayan, bedak-bedakku habis,” dia yang berambut warna-warni itu menggandeng erat lelaki di sampingnya. Sepertinya mereka adalah sepasang kekasih.

“Lah, buat apa, keluar ya nggak keliatan mukanya. Kan pakai masker” lelakinya membalas sesuai fakta.

“Kalau aku nggak cantik nanti kamu putusin aku,” Wanita itu semakin menggelayut pada lengan lelakinya.

Sesepuh sekali lagi berteriak dari akhirat menggunakan corongan yang ia bawa dari dunia dulu. Menyuruh kami membisiki di ke empat telinga cucu cicit Adam tersebut. Sebenarnya sekalipun tak diteriaki kami juga akan berbisik. Ah, percayalah, kami benar-benar mahir di mata pelajaran ini. Bukankah ini seru?

Di waktu yang sama kami menonton manusia sedang berbondong-bondong mengunci pintu rumah. Melakukan aktivitas lewat layar canggih ciptaan mereka sendiri. Semakin mereka bersembunyi sepertinya akan semakin mudah kami mencari. Kalian tidak lupa bahwa kami telah menyiapkan 1001 trik bukan? Kami tidak akan pernah kehabisan cara wahai manusia, wahai yang Tuhan ciptakan dari gumpalan tanah. Sekarang lihat.

“Le, makan dulu Le!”

Tak ada sahutan.

Beberapa menit kemudian panggilan dari sosok ibu yang sedang menyapu sisa debu datang lagi.

“Le, sholat dulu Le!”

Yang dipanggil masih tak bergeming.

Sampai akhirnya ujung sapu sang ibu telah sampai di ambang pintu.

“Kamu ini punya telinga atau tidak? Disuruh makan nggak jawab, disuruh sholat nggak bergerak.”

“Iya Bu, sebentar lagi, sebentar lagi,” Ia masih sibuk dengan layar canggihnya ternyata. Enggan meletakkannya walau hanya sejenak. Kami cekikikan sendiri melihatnya.

                                                                        ***

            Usia kami adalah sepanjang waktu bergelinding. Kami menjadi penduduk yang tinggal bersamaan dengan manusia. Bersamaan pula menjalankan tugas dari Tuhan. Sedangkan reinkarnasi ke-dua kami telah berumur 14 bulan. Kami penyebab warna-warninya setiap nafas dari mereka. Memonokromkan hidup mereka hingga mereka nyaris gila. Gila dengan kesendirian, gila dengan hal canggih yang mereka sebut handphone, gila dengan ketakutan, gila dengan pikiran mereka yang  selalu kami bisikkan kesesatan, gila dengan konspirasi,  gila, gila dan gila.

            Mereka lupa pada pesan kekasih Tuhan, mereka lupa untuk menjernihkan pikiran mereka, mempositifkan pikiran mereka lupa untuk bersyukur serta mengingat selalu Tuhan. Mereka lupa untuk melantunkan sajak langit yang mereka sebut Al-qur’an, lupa untuk melantunkan pujian-puijian kepada Tuhan. Hingga rumah ibadah mereka kosongkan, sekosong pikiran mereka. Mereka lupa, lupa dan lupa.

            Karena sesungguhnya kami telah meminta kepada Tuhan sewaktu diturun-paksakannya kami dari surga. Persis pada kitab sajak langit mereka.

“Karena Engkau telah menghukumku tersesat, maka aku benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan-Mu yang lurus, kemudian aku akan mendatangi mereka dari kanan dan kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur” (QS. Al-A’raf 16-17)        

Dengan demikian, perkenalkan Kami adalah Iblis, reinkarnasi pertama Thau’n Syirawaih dan reinkarnasi ke dua Corona.

*Penulis adalah lulusan MA Unggulan Nuris tahun 2022, kini kuliah sarjana hukum di UIN Khas Jember

Related Post