Kamilah Huruf yang Bersuara pada Semesta

Penulis: Wilda Indana Lazulfa*

            Kulayangkan surat ini untuk kalian, dengan segala penampungan emosi yang telah lama menua.

            Kami adalah segala huruf yang kalian lahirkan sendiri dari rahim akal. Kalian sungguh kreatif. Terima kasih atas penciptaanya dengan bentuk sesempurna ini. Dulu, kami tidak ada, tidak bernyawa. Bahkan jasad kami adalah angin tanpa bentuk pasti. Kalian yang menciptakan kami meski dengan tujuan menguntungkan diri sendiri. Hanya Tuhan yang telah menyimpan rencana setiap hati. Ia menurunkan kami pada otak kalian meski awalnya masih dalam bentuk gambaran. Kami senang saat kalian tersenyum melihat raga ini. Tapi sekarang, kami berpenyakitan sebab senyum kalian telah bercampur alhohol juga bir beracun yang mematikan!

            Berseling dengan waktu yang bosan, kami berkembang. Itu juga berkat kalian. Kami mempunyai bentuk beragam. Kami menjadi simbol. Ada simbol kekuatan, simbol kedamaian, ada pula yang menjadikan kami simbol suasana, curahan hati. Sungguh damai. Kami menjadi salah satu dari hal yang paling kalian butuhkan.

            Lalu, di saat tahun tak melulu setia, ia bergilir mengganti nama, kami mengalami perubahan. Banyak yang menyebutnya tahun Romawi. Kami terbagi menjadi beberapa keluarga. Lihatlah, kami menjadi beraneka ragam. Beraneka rasa dengan aroma yang khas di dari setiap keluarga. Warna kami bukan lagi gambar atau simbol simbol yang mulai kedaluarsa. Kami adalah abjad yang kalian manjakan. Sungguh kisah asmara kita saat itu tak bisa dihilangkan, tidak akan pernah bisa, bahkan jika hanya disingkirkan atau digantikan dengan kisah pecintaan lain. Kita saling bercumbu. Saling melempar senyum. Juga tanganmu yang seharum bunga jasmine membelai lembut penuh keagungan, membuat kami melahirkan bangsa yang lebih banyak. Tidak ada yang melarang,  bangsamu dan bangsaku tak terhalang oleh sebenang kain sutrapun. Kelembutanmu menyambut kami melebihi lembutnya angin senja atau seutas benang obras. Tapi, perlu aku cetuskan, kenangan itu hanya menjadi sejarah yang tersusun di kitab kalian. Sejarah yang selalu kalian banggakan.

            Lalu, jikalau kalian bertanya tujuan dari kami mengirim surat ini, kami hanya ingin berterus terang pasal yang kami jenuhkan. Tidak harus kami selalu yang mengerti apa yang kalian curahkan, kalian adukan. Kami menuntut hak yang seharusnya kami dapat. Manjakan kami lagi dengan kecerdasan-kecerdasan yang masih bersisa. Seperti Khawarismi yang telah menjalin kesepakatan dengan kami. Ia memanjakan kami sepanjang hari terkecuali pada waktu ia memanja pada Yang Maha Pencipta. Lalu, kami membalasnya dengan melahirkan Kitab Aljabr wal Muqobalah. Seterusnya, selama ia tak lelah mencumbui kami, tak lelah pula kami lahirkan padanya anak-anak kalimat yang berguna. Hingga ia tiada, anaknya masih terus hidup, tumbuh di setiap janin jiwa.

(baca juga: Perempuan Berkalung Senja)

            Begitu pula dengan kisah yang kami rajut dengan Ibnu Sina dan Alzahrawi. Merekalah yang menjadi bapak bagi jantung yang mengalirkan darah pada alam keharmonisan. Ah, kau semua pasti sudah tahu cerita keduanya. Cerita yang mengalir dari ibu ke anak atau guru ke murid untuk selalu menyirami api semangat dengan pupuk tawakal. Berharap yang diceritakan akan memakan lahap selai nasehat, juga mencontoh langkah para sejarah. Mungkin, harapan itu menjadi nyata sementara. Bisa kau lihat, setiap anak berkuncir dua melangkah kaki menuju wanita dewasa berkaca mata ke dalam tempat bertulis Taman Kanak-Kanak. Ia membawa buku bersampul coklat dengan gambar buah kesukaan yang di dalamnya tertidurlah kami dengan bentuk yang tak sempurna. Ia memperlihatkan kami pada wanita berkaca mata.

            “Bu Gulu, Bu Gulu, lihat! Aku sudah bisa menulis.”

            Ia tersenyum girang bisa melahirkan kami dengan segala kecacatan. Tidak hanya dalam buku. Omongannya pun masih cadel sana-sini. Ia menciptakan kerusakan pada tubuh kami, kami membalas dengan menabur seribu butir buah harapan di lapang dadanya. Lalu, tumbuhlah kebun lebat di hari kemudian yang menyejukkan aliran darahnya.

            Seperti itulah kurang lebih negeri kami dulu. Bayi yang terlahir selalu diajarkan untuk memanggil nama kami dengan segala kelucuannya, segala kecadelan yang malah menjadi pusat pujian, juga segala kenangan tanpa gigi yang pasti kalian semua miliki. Juga pada latin anak usia lima tahun yang baru saja kami ceritakan. Pada anak SMP yang duduk di penghujung senja dengan buku diary yang menjadi bank langganannya untuk menabung segala kenangan.

            Bukankah begitu hubungan kita yang seharusnya terjalin? Waktu dimana ia bisa menarik garis pada tabel kesetiaan, dimana hujan menjadi pusat perhatian yang mengirimi sebungkus hadiah besar berisi rasa penasaran, juga matahari, bintang, bulan, dan keluarga lainnya yang semakin tak sabar untuk kalian pegang, bahkan angin yang kini telah girang kepalang setelah dirinya menemukan sebagian kecil surat identitas.

            Wahai kekasih yang masih dan selalu terkasih meski kalian sudah tak lagi romantis dalam berkisah.

            Apa kalian tahu sekacau apa negara kami saat memasuki era tangis berjubah tawa yang awalnya menyediakan untuk kalian rumah canda berbahasa? Kami lahir untuk kalian, dari kalian, dan selamanya akan bagitu. Tapi kami di sini seperti hidup tanpa kepala. Kalian memenggal kami, melupakan segala cinta yang dulu selalu saling bertemu, bahkan kami merasa bukan lagi pemilik dari masing-masing raga. Banyak suara cekcok menusuk kami. Membunuh dengan senjata sastra, kata-kata, bahkan kalian sendiri tidak mengerti bahwa jasad kalian lama tak bernyawa. Lihat, kalian menjadi bahan tawaan, topik hangat untuk saling bertukar berita. Para setan senang mendapat teman. Bahkan diantaranya, tak perlu lagi repot-repot memberi bisikan mesrah agar kalian terpesona.

            Lalu, sekarang apa yang kalian harapkan? Saling bertukar hoaks yang barakhir dengan membunuh sesama? Bertukar cekcok yang merambas sampai hati yang telah mati bahkan tembus hingga ujung kaki. Kalian bangga dengan itu semua. Seperti meraih medali matematika saat kalian masih memiliki rambut berkepang dua. Senang, tawa, juga air mata kalian lahirkan dari bekas pemerkosaan terhadap kami. Kami bukan lagi huruf-huruf suci. Tak lagi melihat purnama dengan penuh keterpesonaan. Dunia kami telah gelap, sebab setiap tubuh yang digantung dalam akses segala media telah kalian rampas. Kalian gunakan dengan perlakuan tuan tanpa akar. Dunia kami muram, tak ada lagi cahaya jingga yang setia setiap mega-mega memeluk senja. Tak ada pula arti kata kitab syahadat yang berguna untuk penyambutan di kala kalian mulai mencumbui. Tak ada mentari, tak ada bulan yang orbitnya beraturan. Di sini mereka keluar bersamaan mengundang kegilaan, lalu mereka pun pergi bersama, gelap gulita sudah negeri kami yang tak berisi apa. Kunang-kunang enggan memberi kami pencahayaan, enggan membantu pada yang sudah ternodai. Maukah kalian bertanya siapa penyebab hancurnya negeri ini seperti kalian bertanya berita apa yang ter-hots pagi ini di setiap harinya lalu muncullah seribu undangan kebohongan yang tambah memasung kami dengan jagal kalian yang berbau anyir.           

            Dengan surat ini kami lampirkan buah-buah rindu yang telah menjadi pembunuh setiap kesucian. Juga aroma busuk kegelisahan melihat kalian memaku kepala diri sendiri. Setiap senyawa oksigen di sini telah mabuk dengan kata yang tambah menodai. Berlarian membawa sekantong alam basi dengan laler yang ganas serakah berebut tiket menuju jalan mati. Kalian yang menciptakan nuansa ini. Kami dibuang-buang seperti tak milik satu artipun. Kalian melahirkan kata yang tak perlu, membuat bumi kenyang kata lalu memuntahkannya. Jadilah kami yang tergantung dalam angin peperangan, seakan-akan kami yang mengundangnya. Kami yang dibekali kalian awan ketiadaan, menyibukkan kami dengan rasa gelisah bersalah yang seharusnya tidak terpinggul di panggul kami. Sementara kalian semakin berpesta, menyalakan kembang api yang berteriak,  “Bajingan!”

            Demi mentari dan rembulan yang saling bercinta melahirkan kegilaan, demi bumi yang memahat kami targantung dalam segala dosa, juga demi tawamu semua yang mengandung alkohol juga bir memabukkan membuat nyeri kepala, inilah surat yang kami sulam dengan rapi agar kalian mengerti. Dan ini pula yang menjadi awal sejarah bangsa kami mengirimimu surat cinta yang beradu rindu.

            Salam hangat dari kami, A sampai Z. Juga salam dari kematian kami yang telah lama bersarang laba-laba.

Di dalam kegelapan, tanpa ada waktu yang berjalan.

*Penulis merupakan alumnus SMA Nuris Jember tahun 2023 yang bergiat pada gerakan literasi santri di Pesantren Nuris Jember

Related Post