Penulis: Wilda Indana Lazulfa*
Dari balik kaca mata korneanya yang hanya bisa jatuh cinta kepada senja, ia yakin dengan semburat warna dari segala jenis benda-benda, bahwa mereka hanyalah jingga, persis senja yang menjadi motif di baju-baju yang dijual oleh pasar atau mal dengan harga murah dan mahal. Tapi ini tidak hanya soal motif di kain baju, melainkan semua benda yang ada seperti cat rumah, perhiasan perhiasan yang jadi terlihat mewah serupa emas murni, makanan dan minuman yang jadi sulit untuk dibedakan, hanya dengan aroma dan rasa sebagai identitas mereka, pohon pohon yang menguning jingga dengan daunnya yang persis tumbuhan tumbuhan yang menua pada umumnya, atau tanah sekaligus kerikil dan batu besar yang nampak kekuningan seperti haus dan minta hujan segera tiba, tapi tubuhnya basah.
Ini adalah negeri senja selanjutnya. Setelah sebelumnya ia berkelana dalam negeri dengan matahari yang tak bosan bosan untuk menggantung hingga hanya separuh dari tubuhnya yang terendam lautan lepas dan menintikkan semburat jingga kemerah-merahan[1], ia kembali manaungi negeri senja. Entah negeri yang mana kali ini. Dilihatnya, matahari masih kokoh pada puncak langit hingga menghilangkan setiap bayangan yang mungkin juga berwarna jingga.
Di sini, tidak ada laut yang menyapa matanya dengan penuh kelembutan. Semua tertutup bangunan bangunan jingga yang berhasil menjadikan lautan sebagai pijakan. Ada terbesit rindu dalam hatinya tentang laut yang memakan matahari saat langit sedang merah membara. Mungkin di kota atau negeri ini, rindu terlalu melampau pada senja di muka laut hingga warna mereka menjadi jingga. Karena semestinya, senja adalah tempat menuang cinta, tempat menabung rindu, hingga pariwisata bagi para mata yang ingin dimanjakan.
Tidak ada laut, hanya ada sungai sungai kecil di depan rumah atau di gorong gorong bacin dengan segala beban kotoran yang berhasil dilihat dari cerobong tanah karya para cacing. Kakinya menelusuri aliran sungai yang serupa bisikan rindu pada debur ombak di kaki pantai hingga sepatunya yang bertubukkan dengan tanah menghasilkan alunan tap tap tap dengan sedikit suara sret karena tapaknya yang menyeret.
Benar benar tak terlihat adanya laut, hanya suara debur ombak dari ujung sana yang menabrak latar belakang bangunan bangunan kokoh. Dilihatnya, matahari mulai menjingga mengikuti selera warna di kehidupan negeri ini. Ia ingin sekali berlari mencumbui bibir pantai dan berpelukkan dengan senja yang menebar buih merahnya pada mega mega dengan air laut yang tak luput menjadi merah karena ia adalah cermin yang menyimpan dan memantulkan merah membaranya dari sang bagaskara. Tapi di tempat pijaknya saat ini, tidak terlihat laut.
Laut hilang, hanya suaranya yang nyaring karena entah di bangunan ke berapa di belakang sana ia menyembur punggung punggung bangunan, menjilatnya, memandikannya, karena pada senja ini laut harusnya tenang. Hanya deburan deburan kecil yang manja memaikan lumut lumut kuning di belakang bangunan. Karena tak terlihat laut untuk memanjakan cintanya, ia hanya menikmati suara debar debur dari ombak kecil yang menari. Menghirup angin senja yang tak bisa dibilang segar. Lantas seseorang lain di belakang tubuhnya memberi tepukkan kecil agar ia berbalik hingga mereka saling bertatap muka.
“ Kau bernama Sukab? Pria yang terlanjur mencintai senja?”
Ia bicara tanpa suara. Siapa yang akan percaya bahwa di negeri senja lainnya ada sebuah kota atau bahkan negeri itu sendiri yang penduduknya berbicara tanpa suara. Ini sudah negeri yang kesekian yang ia jajah, karena ia mencintai senja. Namun senja kali ini bukan tentang mega merah yang menjadi taungan matahari yang sempurna separuhnya tenggelam di cakrawala, dengan gelombang laut yang menggulung pelan berkejar kejaran berwarna merah menyala memantulkan semburat dari matahari, juga mega dan angin sepoi yang bercumbu dengan langit merah menyala di tepi pantai yang biasa ia nikmati sekian kali di sekian banyaknya negeri senja dengan kakinya yang basah karena dicumbu oleh ombak yang terhempas ke pantai, lalu ditarik kembali ke arah lautan lepas. Negeri ini tentang warna jingga yang merasuk ke semua macam benda, namun matahari tetap berjalan normal. Ada pagi, siang, senja, malam, atau mungkin waktu malam yang lebih larut dari malam yang sangat kelam.
(baca juga: Perempuan Berkalung Senja)
Negeri ini juga tentang pendengar alunan debur ombak yang menabrak di langit langit belakang bangunan bangunan kokoh dan menjadi satu satunya lagu disana. Mereka berbicara hanya dengan cara saling pandang, maka sinyal dari otak lawan bicara sudah bisa langsung tertangkap. Ia, yang sudah dikenal sebagai orang yang mengembara cinta pada senja, tidak lagi heran dengan cara bicara mereka. Bahkan dunia melayang mungkin saja ada, dengan warna senja yang juga melayang hingga setiap orang bisa menangkapnya seperti menangkap kunang kunang di kegelapan malam. Tapi ia heran, mengapa senja tenggelam pada benda benda. Ia juga memperhatikan warna kulit orang dihadapannya yang menyerupai warna jingga.
“ Iya, aku Sukab, datang dari negeri terlarang yaitu negeri senja karena dipastikan terkena wabah rindu pada langit yang jingga”
Sukab belajar komunikasi dengan sangat gesit hingga ia sudah mampu meniru cara bicara penduduk di negeri dengan bendanya yang menjadi senja. Atau bukan dia yang mampu belajar cepat, tapi kini ia adalah salah satu benda dari negeri senja. Karena baru disadarinya bahwa baju yang ia kenakan juga sudah berubah menjadi warna jingga kemerah merahan, entah warna apa sebelumnya karena ia hanya mementingkan warna kemerahan dari langit senja. Juga kulitnya menyerupai warna jingga. Begitupun dengan nasib sepatu, rambut, bahkan sehelai larik kertas berisi surat balasan untuk kekasihnya yang belum juga ia kirimkan, mungkin karena kini cintanya hanya mentasbihi nama senja dengan matahari yang gagah menabur benih jingga kemerahan, ditambah angin malang karena ia akan bertemu malam yang membuatnya menjadi dingin.
“ Selamat datang di negeri kami. Ini adalah negeri dengan semua benda menjadi senja”
Sukab menjawabnya dengan anggukkan dan sedikit senyuman karena nyatanya ia sudah faham sejak sajak ini menulisnya sebagai penginjak negeri senja. Ia tak pernah merasa heran dengan cara berkomunikasi, karena semua memiliki ciri khasnya sendiri. Ia hanya belum mengerti dimana negeri senja ini tergeletak di antara seribu planet yang menyerupai bumi, atau di antara seribu galaksi yang menyerupai bima sakti, atau di antara seribu pintu dunia yang semua berisi hasil yang berbeda. Hidup ini terlalu luas, hingga sebagai tokoh yang bertugas berkelana pada negeri senjapun, tak ada habis habisnya. Itu baru negeri senja. Pasti ada juga tokoh yang berpetualang di negeri pagi, negeri siang, negeri malam, atau negeri fajar. Hal hal seperti itu tak pernah menjadi pertanyaan dalam diri Sukab yang telah banyak kali menerima keanehan. Tapi di negeri ini, ia hanya mempertanyakan satu hal yaitu, dari setiap warna, mengapa senja yang mereka serap? Apa karena terlalu cinta? Atau memang senja di langit sudah bosan dengan jingganya yang tak habis habis dimangsa waktu, hingga ia bagikan kepada para penghuni, baik benda hidup ataupun benda mati.
Mereka sama sama sepakat untuk berjalan, menyelusuri tanah dengan segala kerikilnya yang menjingga kekuning kuningan.
“ Suatu kehormatan kau datang ke negeri ini Sukab. Ini adalah negeri dengan umur tahun 2100, perkenalkan, aku Jaka”
Perbincangan itu begitu saja masuk ke dalam memori Sukab. Ia termangut mangut.
Keadaan negeri ini sunyi. Komunikasi bukan lewat benda kotak bercahaya dengan menggambarkan wajah lawan bicara. Bukan pula dengan handphone telolit di zaman kecilnya dulu. Komunikasi sudah dengan memori canggih yang terpasang di setiap otak. Lautan juga tak terlihat, hanya menderukan kerinduan pada saat ia memamerkan kegagahannya ketika memakan matahari dengan segala semburat merah laksana pedang yang terhunus api. Laut tertutup banguanan tinggi dengan warna senja yang menghias di sepanjang penglihatan. Sukab semakin penasaran mengapa hanya warna senja yang terserap.
Hari berganti malam. Lampu lampu kota memancarkan sinar jingganya di sepannjang penghias jalan. Ada beberapa kunang kunang buatan yang terbang di setiap sudut kota, dengan cahaya kuningnya. Sukab bergumam.
“ Negeri ini menyerupai senja. Akankah sehabis itu ia juga akan menyerupai malam?”
*Penulis merupakan alumnus
SMA Nuris Jember tahun 2023, aktivis literasi santri dan penyuka sastra
[1] Novel ‘Negeri Senja’ karya Senogumira Adjidarma