Mengheningkan Rindu, Mulai

Penulis: Tazyinatul Ilmiah*

Di ruangan ini, wanita itu tumbuh meraup bayang-bayang pada serat daun kaktus dan duri-duri yang sempat layu. Membayangkan sejarah lama, dan remahan kenangan yang pecahannya tersebar bertahun lampau di ketinggian; mengeras, melewati batang-batang arteri lalu membangun rindu melintasi pembuluh nadi.

Entah berapa lama wanita itu menanti. Rintihan masih dapat ia dengar tapi dikosongkan semua sebab hatinya terluka. Ia menampik dingin dengan menggosok-gosok tangannya. Melalui kisi-kisi jendela kamar, wanita itu mendapati diluar masih sama hujan masih saja belum reda.Ia menghitung-hitung berapa kali sudah warga berlalu lalang menegurnya. Namun ia acuh. Dari tempatnya duduk ia menatap ke atas mencari matahari, namun yang didapati hanya degup dadanya.

            Takkan ada lagi rindu…

            Dirasakannya rintik pindah pada mata itu. Ia duka menghambur tangis memeluk dirinya sendiri; hangat. Serupa pelukan abadi. Mencipta sendu yang tak satupun dapat menamainya.Hari-hari terus berlalu, melewati setiap peristiwa. Senja terus berganti meski tak memiliki arti bagi hati yang talah mati. Matahari pagi terus berulang, menyapa hati-hati yang telah mati.

Tak terhitung sudah berapa lama wanita itu berdiam diri dikamarnya menatap kearah luar melalui kisi-kisi jendela, entah sedang apa wanita itu sebenarnya. Tatapannya tak pernah lepas menatap rintik yang jatuh mengenai daun. Ia berpangku tangan menopang dagunya yang terpasang ragu-ragu. Secangkir kopi dinikmati rasa asing oleh orang-orang yang ia cintai, tersisih seorang diri di tepi meja pelarian. Secangkir kopi bekal menempuh perjalan seorang diri mencari cinta yang tak kunjung bersemi. 

            Diruangan yang hanya sepetak ini wanita itu bergulat menumpahkan seluruh rasanya dengan hanya menatap rintikan rindu yang tak kunjung ada temu.

        Tok..tok….tok…

Seakan tak mendengar wanita itu tak beranjak sedikitpun dari tempat duduknya. Disudut ruangan jam dinding yang miring tak kuasa menahan waktu, menunjukkan pukul 06.00 sore sudah terhitung tiga jam wanita itu berdiam diri tanpa sepatah katapun, kopi yang sedari pagi disuguhkan tak kunjung ia seruput sedikitpun.

Di atas nakas pigura kayu yang berdiri ragu-ragu menampakkan seorang perempuan remaja dan seorang lelaki yang sepertinya tidak jauh beda dengan wanita itu.

Sepuluh tahun yang lalu wanita itu, wanita yang sama yang duduk didekat jendela sepanjang senja menyapa hingga mega merah menyelimuti ruangan ini. Pada waktu wanita itu duduk menikmati gerimis yang datang di bulan juni setelah menerima telepon dari seorang lelaki yang mungkin saja kekasihnya

“Hallo, aku akan menunggu di tempat biasa’’

“Sebentar lagi aku sampai, tungggu saja”

“Baiklah aku akan menunggu”

Wanita itu menunggu di dalam terop pedagang asongan dengan menyeruput kopi hitam yang menjadi temannya disetiap gerimis menyapa, ia sudah memikirkan apa-apa yang akan ia ceritakan selama kekasih yang ia cintai itu pergi merantau.

Terhitung hampir satu tahun wanita itu tidak menginjakkan kembali kaki ketempat ini tempat dimana pertama kali ia makan malam dengan kekasihnya itu. Lama sekali; pikirnya senja sudah hampir menyapa tapi ia tak kunjung datang.

“Hallo!”

“Iya hallo!, aku masih diperjalan sebentar lagi mungkin aku sampai”

Mungkin aku terlalu terburu-buru menunggunya, tapi memang ini tak seperti  biasanya, ini lebih lama dari biasanya. Seperti kembali lagi pada runtutan awal perjumpan dan menemukanmu dalam kehilangan. Takkan ada tempat dalam tujuan seperti biasa, seperti habisnya aku dan kau.

            Dari kejauhan aku dapat melihat sosok yang lama tak aku jumpai berkendara menaiki vespa kesayanganya, ya aku ingat itu adalah vespa yang sempat aku tumpangi setiap sehabis dari warung ini.

Lelaki itu menembus hujan hanya berlindung dibalik jaket berwarna hitamnya yang sudah kelihatan lusuh dengan kepala yang terselimuti topi hitam, seperti penyamar;pikirku.

Dadaku berdegup ingin sekali rasanya aku berlari lalu memeluknya tapi tunggu dulu tak seperti biasanya, bukankah ia tak menyukai rambut gondrong? Lantas mengapa rambutnya sekarang gondrong?

Setelah selsesai ia merapikan motornya lalu ia beranjak turun berjalan kearah ku.
“Apakabar?”ucapnya padaku,
Pantaskah aku menjawab kabar baik dengan keadaanku menahan rindu yang meradang, menungu temu yang sempat aku kira hanya sekedar kata halu.

(baca juga: Perempuan Berkalung Senja)

“baik,bagaimana denganmu ?apakah disana menyenangkan?”
“Cukup menyenangkan tapi juga nyesakkan”

Ia dan lelaki itu kini berhadap-hadapan. Tak ada yang berbicara tapi keduanya seolah paham bahwa apa yang sedang mereka rasakan saat ini tak dapat dibicarakan melaui lisan.

“Bolehkah aku bertanya tentang kegundahan hatiku?”
“Boleh, kau ingin bertanya apa padaku?”
“apakah kau masih mencintaiku?”
“Apa yang kau katakan?”
“Aku hanya bertanya saja, jika kau tak bisa menjawabnya sekarang jawablah esok ketika kita berjumpa lagi”
“Bukannya aku tak bisa menjawab hanya saja, apakah kau tidak percaya denganku?”
“Aku percaya padamu tapi terkadang rinduku saja yang menggodaku untuk tak mempercayaimu lagi”
“Begini saja, akan aku titipkan pesan rinduku di setiap penghujung senja menyapa.Akan aku titipkan rinduku kepada rintikan hujan. Jika kau ingin berdialog denganku, cukup dengarkan saja. Setiap rintiknya akan aku selipkan sajak rinduku disana.” Satu hembusan nafas terdengar olehku lalu ia mengacak-ngacak rambutnya gusar .
“Apakah kau masih tetap tidak percaya padaku?”
“Bukannya aku tidak percaya terhadapmu, untuk saat ini aku percaya denganmu tapi semoga saja rinduku tidak nakal menggodaku untuk berpaling mencintaimu”
“Baiklah terimakasih sudah mempercayaiku untuk saat ini.”
“Tunggu dulu bagaimana aku bisa membalas pesanmu? Jika telepon saja jarang kau angkat bahkan hampir tak pernah”
“Aku tidak suka jika menyapamu melalui telepon, apalagi sms karna aku tak bisa mengetahui apa yang sedang kamu rasakan pada saat kau menghubungiku.”
“Lantas aku harus menghubungimu dengan cara bagaimana? Apakah aku harus menaiki pesawat lalu menemuimu di perantauan?”

“Tidak, tidak perlu kau menaiki pesawat hanya untuk menghubungiku. Titipkan saja pesanmu pada angin malam”
“Apakah jika dengan cara seperti itu kau dapat menegetahui perasaanku, bagaimana bisa kita berkomunikasi dengan cara seperti ini?SANGAT MUSTAHIL!”
“Aku bisa mengetahui perasaanmu melalui hembusan angin yang kau titipkan pesan,ketika angin itu berhembus kencang dan suhu terasa dingin maka kau sedang merindukanku, ketika angin itu berhembus pelan dan suhu terasa panas maka kau sedang marah dan kecewa padaku.”
“Bagaimana ketika musim kemarau suhu meningkat dan angin berhembus pelan apakah berarti aku sedang kecewa denganmu?bukankah tidak akurat?”
“Aku yakin aku tetap bisa membedakannya karna tidak ada yang tidak mungkin untuk cinta”
“Lalu bagimana dengan pertanyaanku diawal apakah kau bisa menjawabnya saat ini juga?”
“Apa maumu?apakah kamu mau membuktikan sesuatu?”
“Tidak aku hanya ingin bertanya saja apakah kau benar-benar mencitaiku atau tidak, sudah itu saja. Tinggal jawab ia atau tidak, tidak susah bukan?”
“Bukan seperti itu, tidak semudah itu menjawab ia atau tidak”
“Baiklah terserahmu.”

Kenangan sepuluh tahun lalu itu masih melekat pada ingatan wanita itu, bagaimana ia menikmati gerimis di tengah kota berteduh didalam warung pedagang asongan ditemani kopi hitam yang terasa manis karena ditemani seorang kekasih, dengan lampu kota yang mati hanya mengandalkan pencahayaan lampu damar yang remang-remang. Dengan pembahasan yang menghangatkan perasaan.

            Kini aku menagih janji, menunggu senja yang dulu sempat kau janjikan. Menunggu pesan yang mustahil sekali aku pahami. Menatap setiap ritik hujan yang kian menderas apakah kau sempat menitipkan pesan pada gerimis sebelum ia reda dahulu? Apakah kau sempat berbicara pada gerimis agar ia menyampaikan padaku pesan darimu?.

            Jika menunggu kita bertemu seperti menunggu setangkai bunga imitasi didalam pot layu, apakah meninggalkanmu akan membuat bunga imitasi itu mekar?Sudah berapa senja yang aku lewati tanpa kabar yang pasti darimu, perihal gerimis yang menitipkan pesan sampai saat ini aku masih belum bisa menerimanya. Entah itu karna itu cintaku pudar hingga tak dapat menangkap pesan darimu ataukah kau memang tak menitipkan pesan itu padaku?

            Apakah kau tahu senja pertama semenjak kepergianmu aku menunggu gerimis turun, tapi dihari pertama ini aku gagal menjumpai gerimis untuk menerima pesan darimu. Aku masih tak patah semangat di hari kedua aku tetap menunggu gerimis turun menatap keluar melalui jendela kamarku, aku menunggunya sedari siang siapa tahu kamu tak tahan menahan rindu jadi memesan hujan lebih awal pada Tuhan, tapi nyatanya tidak kau mungkin lupa untuk mengirimkan pesan; sudahlah besok saja.pikirku.

            Tapi sampai sekarang sewindu sudah setiap penghujung senja aku menatap langit, memperhatikan setiap rintik hujan siapa tahu pesanmu ada disalah satu rintik itu. Aku hampir menyerah pada hari terakhir, hari yang menggenapkan sewindu aku menunggumu. Dengan rintik yang berpindah kemataku, aku menundukkan kepala lalu berbisik paling berisik .

Mengheningkan rindu mulai……
Mengheningkan rindu mulai…….

*Penulis adalah lulusan SMA Nuris Jember tahun 2023, kini menlanjutkan studi sarjana di FIB UNEJ

Related Post