penulis: Alya Latifatul F.*
16.30
Kami berdua sedang duduk santai di meja pelanggan yang terletak di seberang, tepat di pinggir jendela kaca yang menghadap ke arah sebentang jalan, sembari menikmati kuningan senja yang akan runtuh untuk beberapa saat, dan tiba-tiba aroma yang begitu memikat keluar dari dapur kafe yang timbul akibat masakan si peracik minuman, yang lambat- lambat ia menyelinap dan mengendap di hidung kami.
Fuhh! Fantastis, lezat pasti….
“Mungkin bukan untuk beberapa saat, atau bahkan untuk selamanya.”
“Memang ya zaman sudah berubah, tentunya sesuatu yang ada di muka bumi ini juga banyak yang berubah.”
“Ahh, mereka suka mengubah.”
“Atau bahkan mereproduksi ulang.”
“Hahaha, mereka mencari banyak keuntungan.”
“Yaps, salah satunya uang.”
“Uang selalu membuat mereka buta.”
“Fuh!, buta juga mengakibatkan mereka lupa.”
“Hingga lupa membuat timbulnya perbedaan.”
“Tapi mereka juga sebagian dari kalanganmu, bukan?”
“Tidak! mereka tercipta dari bungkus, bukan seperti aku yang dari bubuk,”
“Bedakah?”
“Tentu, mereka belum pernah merasakan tinggal di pohon, lalu dipanen oleh orang orang pedesaan, dikupas, dijemur, disangrai bahkan digiling sendiri, ditiriskan lalu di nikmati oleh mereka sendiri.”
“Memang, semuanya butuh proses, ya?”
“Tentu, mereka manja, mereka hanya berdiam diri saja di dalam bungkusnya, tidak merasakan sama sekali nikmatnya proses.”
“Haha, dasar produk-produk lokal yang milenial.”
“Mereka tidak tahu menahu tentang jati dirinya sendiri.”
“Atau bahkan rumah pertamanya mereka, ketika mereka baru saja dilahirkan.”
***
18.00
“Kau mulai dingin rupanya,”
“Ah, iya. Tapi siapa yang peduli? Orang-orang sekitarkah?”
“Ya semisal, kapan terakhir kali kau disentuh?”
“Dua hari yang lalu mungkin.”
“Sungguh, lama sekali.”
“Aku tak seberuntung dirimu.”
“Tidak! Setiap makhluk pasti mempunyai jalan hidup yang berbeda-beda.”
“Jalan untuk diduakan?”
“Kau disajikan begitu nikmat hingga banyak para memikat, mungkin itu yang menyebabkan kalanganmu bervariasi bentuk dan segala macamnya.”
“Tapi dengan cara seperti ini kah?”
“Kau harus bersyukur kau lebih unggul dariku.”
“Tidak, aku lebih ingin sesederhana dirimu, hangat nikmat dan bisa diminum oleh semua kalangan, tercipta dari daun bukan dari biji yang bisa diganti isi.”
“Bahkan seorang pengidap asam lambung bebas meminummu kapan saja.”
Kami berdua terdiam saling menatap, jalanan di luar masih ramai dengan hiruk-pikuk kendaraan dan kerlipan lampu yang remang-remang kurang jelas, tapi cukup tenang!
“Mungkin tugasku untuk menjadi rekan minum pemikatku sudah pensiun, saatnya mereka yang baru-baru menggantikan posisiku.”
“Tidak, kau masih sangat dibutuhkan di muka bumi ini.”
“Aku sudah kuno kolot, sudah jadi barang antik, toh juga banyak dari mereka yang lebih cantik.”
(baca juga: Menghitung 6666 Sajak Langit)
“Tapi, Kau diciptakan lebih lama dari mereka”
Remang-remang mataku mulai memandang, kepingan-kepingan air mataku mulai membanjiri isi gelas bahkan mulai keluar dari garis yang berpola bundar.
“Tidak!!, mereka sudah tidak menghiraukan mana yang sekarang mana yang lama mana yang diciptakan dulu dan mana yang diciptakan baru.”
“ Sungguh Miris”
“Bahkan untuk membeli secangkir saja, mereka rela menguras isi dompetnya yang begitu tebal dan merah.”
“Lalu, aku yang seharga warung pinggiran dan tak kekinian ini sudah tak digubris lagi.”
Aku sudah tak bisa lagi membendung air mataku yang keluar dersas, hingga jatuh ke meja yang kami duduki saat ini, berhamburan meluap dan tak beraturan.
“Aku sudah muak dengan semua ini.”
“Sudah jangan menangis.”
“Aku dikucilkan padahal akulah yang datang pertama kali di muka bumi ini.”
“Sabarr ya, sabar, jangan terus-terusan menangis.”
Pot bunga, taplak meja dan beberapa hiasan yang terletak di meja tempat kami duduk itu lambat-lambat terbesit noda hitam, dan air mataku terus berjatuhan deras sederas air terjun yang hendak terjun ke permukaan lantai, semua yang berada di perut cangkirku itu meluap, tumpah ruah tak habis habisnya terus mengalir hingga keluar menuju ambang pintu melewati celah yang tersemat di bawah pintu, lalu dibawalah aku menuju jalanan yang cukup ramai oleh pengguna kendaraan, dan aku hanya bisa mengendap di gundukan sampah, yang ternyata aku terjebak di salah satu bungkus kopi instan!
Hingga pagi tiba, proses penguapan air itu juga mengajakku untuk naik ke atas langit yang tinggi, setinggi entah siapa gerangan benda yang ada di atas, dan ketika berada di atas aku diputar-putar layaknya komedi putar entah ke arah mana saja, hingga membentuk gumpalan-gumpalan besar yang entah tak kuketahui itu apa.
***
14.15
Hujan deras mengguyur kota ini, sederas rasa sakitku yang masih tersemat dalam hatiku, tubuhku jatuh bersama buliran-buliran air yang mendampingiku untuk turun, kata mereka turun dari langit itu takdir, tapi untuk jatuh di tempat mana saja itu nasib, jadi kita hanya bisa pasrah pada takdir dan nasib dan mungkin gambaran nasibku adalah aku jatuh di sebuah tempat pembuatanku sendiri yang menggunakan mesin. Yaps, sebuah pabrik yang memproduksi kopi instan kekinian, aku jatuh dan masuk melewati atap-atap yang sedikit bocor, lalu mendarat di sebuah kemasan kopi instan yang hendak ditutup kemasannya.
“Tesss”
Aku terjatuh lalu ditutup, tubuhku kini menyatu dengan produk pabrikan yang entah rasanya seperti apa, dijual di pasaran atau di restoran, dinikmati dengan air hangat atau air dingin, mungkin untuk beberapa bulan saja tubuhku terjebak di kemasan sialan ini, disortir kemana saja dan kapan saja aku hanya bisa diam. Hingga seorang pengusaha kedai kecil-kecilan itu membeli sekardus kopi instan yang salah satunya terdapat tubuhku dan memajang rentengan kopi itu di atap atap kedainya.
“Mas kopi satu ya”
Seorang wanita muda yang duduk di kursi kedai itu berteriak memesan pada sang penjual, dan sesegera mungkin si penjual itu melayani respon dari perempuan itu, penjual memotong kemasan yang di dalamnya tersemat tubuh, lalu mencampurkannya pada air hangat dan sedikit gula.
“Ini Neng, silakan diminum.”
Perempuan itu tak merespon, karena sepasang matanya masih terfokus pada layar laptopnya yang masih menyala dan banyak aksara.
Bergesa, perempuan itu mengambil secangkir kopi itu.
*Penulis merupakan alumnus MA Unggulan Nuris tahun 2022, kini sedang melanjutkan studi sarjana di FIB UNEJ